Rabu, 01 April 2009

TATALAKSANA ATRESIA BILIER

Sastiono

Divisi Bedah Anak
Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo
Jakarta

Abstrak


Etiologi dan patogenesis atresia bilier belum sepenuhnya dimengerti dengan baik, sehingga penatalaksanaan tidak banyak mengalami perubahan dalam beberapa dekade terakhir ini.
Bila tindakan operatif tidak dikerjakan pada pasien atresia bilier maka 50% - 80 % meninggal pada usia 1 tahun. Mortalitas akan menurun secara bermakna bila dioperasi kurang dari 3 bulan .
Keterlambatan tindakan operatif biasanya karena pada awal penatalaksanaan pasien ikterus hepatitis neonatorum dan penyakit lain yang merupakan diagnosis banding atresia bilier lebih diutamakan. Hal ini dimengerti karena diagnosis atresia bilier sukar dan baru dapat ditegakkan setelah operasi ( kolangiografi intraoperatif).

Pendahuluan

Atresia bilier merupakan penyakit yang ditandai oleh obliterasi fibrotik sebagian atau seluruh lumen extrahepatic biliary tree yang terjadi pada 3 bulan pertama dari kehidupan1. Proses obliterasi fibrotik yang terjadi ekstrahepatik dapat meluas mengenai duktus biliaris intrahepatik sehingga penggunaan istilah atresia bilier ekstrahepatik sudah mulai ditinggalkan. Penyakit ini digolongkan kedalam kelompok kelainan kolestatik neonatus, yaitu kelainan yang diakibatkan oleh hambatan aliran empedu sehingga dijumpai peningkatan kadar bilirubin direk, feses akholik dan hepatomegali.
Dijumpai banyak penyakit yang dimasukan dalam kelompok kelainan kolestatik neonatus (lampiran 1) sehingga dapat dimengerti kesulitan dalam menentukan diagnosa atresia bilier , yang pada akhirnya mengakibatkan keterlambatan tindakan operatif . Bila operasi portoenterostomi dikerjakan sebelum usia 8 minggu, angka bebas ikterus dapat mencapai 80%. Bila operasi dikerjakan setelah usia 12 minggu angka bebas ikterus turun menjadi sekitar 20%, karena umumya sudah terjadi sirosis bilier yang permanen2,3. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen pasien pasca portoenterostomi akhirnya memerlukan tranplantasi hati yang saat ini belum dapat dikerjakan di Indonesia.

Etiologi

Sampai saat ini atresia bilier dianggap sebagai sebagai respon fenotipik umum duktus biliaris dan hati terhadap berbagai keadaan prenatal dan perinatal yang berakibat terganggunya pertumbuhan dan maturasi biliary tree yang terjadi pada masa tertentu (prenatal sampai usia 3 bulan)4. Secara umum faktor yang mengganggu pertumbuhan duktus bilier adalah infeksi virus, faktor genetik, kelainan autoimun, defek vaskuler dan defek morfogenesis . Dari berbagai penelitian mengenai kemungkinan virus penyebab atresia bilier hanya reovirus dan rotavirus saja yang dianggap dapat menyebabkan terjadinya atresia bilier. Pemeriksaan dengan reaksi rantai polimerase dapat membuktikan RNA reovirus pada ductus biliaris dari pasien atresia bilier diatas rata rata dibandingkan RNA reovirus pasien kolestasis karena sebab yang lain5. Dijumpainya infiltrat inflamasi pada ductus biliaris menimbulkan asumsi berperannya faktor imunologi pada proses terjadinya atresia bilier. Silveira et al.6 membuktikan prevalensi yang lebih tinggi pada human leukocyte antigen (HLA)-B12 dan haplotype A9-B5 dan haplotype A28-B35 pada bayi atresia bilier dibandingkan kontrol. Berbagai penelitian menunjukan bahwa atresia bilier ada kaitannya dengan penyakit autoimmune, seperti penelitian yang menunjukan bahwa IgG-ANCA (anti neutrophyl cytoplasmic antibodies) dan IgM-ANCA yang lebih tinggi pada pasien atresia bilier7.

Gambaran klinis

Dikenal 2 bentuk atresia bilier, tipe embrional/fetal dan tipe perinatal/acquired. Tipe embrional dijumpai pada 20% dari seluruh kasus atresia bilier, sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus. Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan,dan intraoperatif sering tidak dijumpai bile duct remnants . Sedangkan pada tipe perinatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 kehidupan. Umumnya intra operatif dijumpai bile duct remnant8,9.
Perlu diingat gambaran ikterus, feses akholik dan urin berwarna gelap bukan hanya ditemukan pada pasien atresia bilier tetapi juga pada penyakit lain yang merupakan diagnosa banding penyakit atresia bilier. Dari seluruh diagnosa banding yang ada, yang paling menyerupai atresia bilier adalah hepatitis neonatus. Beberapa hal yang membedakannya adalah, hepatitis neonatus lebih sering dialami oleh bayi laki laki dengan berat badan lahir rendah dan mengalami failure to thrive. Sedangkan atresia bilier lebih sering dialami oleh bayi perempuan dengan gizi bai . Status gizi baik ini pula yang sering membuat keterlambatan diagnosa. Pada pemeriksaan laboratorium akan dijumpai peningkatan bilirubin direk, AST (aspartate amino transferase), ALT (alanin aminotransferase) dan GGT (gamma-glutamyltranspeptidase). Walaupun obstruksi duktus biliaris telah terjadi kadang kadar bilirubin total hanya mencapai 12mg/dl dengan kadar bilirubin direk tidak melebihi dari 8mg/dl, hal ini sangat berbeda dengan hepatitis neonatus dimana kadar bilirubin dapat melebihi 20mg/dl. Mengingat hal tersebut maka gejala awal atresia bilier dapat hanya berupa ikterus pada sklera tanpa jelas adanya ikterus pada kulit apalagi bila kulit pasien berwarna gelap4,10.

DIAGNOSIS

Anamnesa , selain mendapatkan tanda klasik seperti riwayat kuning, feses akholik, urin berwarna gelap, perlu diperhatikan pula untuk mencari kemungkinan etiologi dengan menanyakan riwayat infeksi ibu pada saat hamil/melahirkan, berat badan lahir rendah dan resiko hepatitis virus (transfusi darah, operasi) , serta paparan terhadap obat-obatan / toksin.
Pemeriksaan fisik, pertumbuhan bayi dinilai dengan mengukur berat badan dan lingkar kepala , sedangkan ikterus dicari pada kulit dan sklera. Jika pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan hepatosplenomegali ataupun asites maka keadaan ini akan memperburuk prognosa .
Pemeriksaan penunjang rutin, darah tepi lengkap, gambaran darah tepi, urin rutin, tinja 3 porsi dan biokimia darah. Secara kasar dapat dibedakan gambaran laboratorium kolestasis ekstrahepatis dan kolestasis intrahepatis


Kolestasis kolestasis
Intrahepatis ekstrahepatis

AST(SGOT)/ALT(SGPT) +++ +
GGT + ++++
Bilirubin serum +++ ++

Pemeriksaan Penunjang Khusus

- Aspirasi cairan duodenum, dilakukan pemeriksaan bilirubin dan bile acid terhadap aspirat duodenum11
- USG, pada awalnya kemampuan diagnostik USG pada kasus atresia bilier sangat diragukan, tetapi setelah Choi12 menemukan “triangular cord” sign , dan terlebih lagi setelah digunakannya transducer frekwensi tinggi (13MHz)13; maka USG hampir rutin digunakan sebelum tindakan operasi.
- Skintigrafi hepatobilier, sulitnya ekskresi isotop pada usus halus membuat spesifisitas pemeriksaan ini hanya 50%-70% , sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan14.
- MRCP(Magnetic Resonance Cholangiopancreaticography), pada awal ditemukannya pemeriksaan noninvasif ini, sangat dianjurkan untuk dikerjakan15, namun pada akhirnya diketahui bahwa dengan pemeriksaan ini sulit dibedakan antara kelainan kolestasis intrahepatik berat dengan atresia bilier16.
- ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreaticography), walaupun mempunyai akurasi yang cukup baik namun tidak secara luas digunakan karena :
* dibutuhkan keakhlian khusus untuk mengerjakannya
* memerlukan anestesi umum
* memerlukan alat endoskopi dengan side viewing probe yang khusus17.
- Biopsi Hati Perkutan , bila ditangani oleh ahli patologi yang berpengalaman, ketepatan diagnosis dapat mencapai 90%-95%18.
Pada Perjan RS Cipto Mangunkusumo, pemeriksaan penunjang diagnosis khusus yang dikerjakan adalah USG abdomen dan biopsi hati perkutan, jika dari kedua pemeriksaan ini dijumpai indikasi kuat adanya atresia bilier maka intraoperatif kholangiografi dikerjakan bersamaan dengan portoenterostomi .

Terapi

Pada awal perjalanan penyakit atresia bilier, operasi yang perlu dikerjakan adalah portoenterostomi, pada tahap selanjutnya, bila duktus biliaris intrahepatik juga mengalami obliterasi, maka tindakan operasi lanjutannya adalah operasi transplantasi hati (yang sampai saat ini belum dapat dikerjakan di Indonesia). Bila operasi portoenterostomi tidak dikerjakan sampai usia 1 tahun maka 50%-80% pasien akan meninggal, dan seluruh pasien akan meninggal bila operasi tidak dikerjakan sampai usia 3 tahun19. Bila operasi portoenterostomi dikerjakan sebelum usia 2 bulan maka 80% pasien akan bebas ikterus20, bila dikerjakan pada usia 2-3 bulan maka 40% sampai 50% pasien bebas ikterus, bila dioperasi antara usia 3-4 bulan maka angka bebas ikterus hanya 25%, dan bila operasi dikerjakan setelah usia 4 bulan maka hanya < 20% pasien yang bebas ikterus3. Umumnya tindakan portoenterostomi tidak dikerjakan lagi setelah pasien berusia 4 bulan. Dari seluruh pasien pasca portoenterostomi 70%-80% akhirnya membutuhkan tindakan transplantasi hati. Operasi portoenterostomi (lebih dikenal sebagai operasi Kasai) yang telah dikerjakan selama bertahun tahun tidak banyak mengalami perubahan, yang disarankan adalah kaki dari Roux en Y dibuat sepanjang 40 cm-50 cm, dan diseksi jaringan fibrotis pada daerah porta hepatis dibuat lebih kelateral lagi sampai ditepi medial vena porta kanan dan vena porta kiri21. Untuk mendapatkan lapang pandang yang lebih baik disarankan untuk memotong ligamentum venosum22.
Komplikasi awal (3 bulan pasca operasi) yang ditemukan umumnya adalah ascending cholangitis, yang dapat disebabkan karena infeksi vena porta, rusaknya drainase limfe pada porta hepatis, ataupun karena infeksi langsung fistulasi bilier. Cholangitis juga disebabkan oleh hal apapun yang membuat aliran empedu tehambat , sehingga asam ursodeoksikolat sering digunakan untuk mencegah terjadinya cholangitis. Sedangkan pemakaian antibiotika dan kortikosteroid untuk pencegahan cholangitis masih belum terdapat keseragaman .
Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah hipertensi portal, perdarahan varises esofagus, hipersplenisme asites dan gagal hati. Pada akhirnya pasien dengan komplikasi lanjut ini memerlukan transplantasi hati.

KEPUSTAKAAN

1. Balistreri WF, Gand R, Hoofnagle JH, et al. Biliary atresia: current concept and research direction. Summery of a syposium. Hepatology 1996; 23:1682-92.

2. Karrer FM, Bensard DD. Neonatal cholestasis. Semin Peditr Surg 2000;9;166-9

3. Chardot C, Carton M, Spire-Bedelac N, et al. Epidemiology of biliary atresia in France : a national study 1986-96. J Hepatol 1999;31:1006-13

4. Sokol RJ, Mack C, Narkewicz MR, Karrer FM. Pathogenesis and Outcome of Biliary Atresia: Current Concept. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003;37:4-21

5. Tyler KL, Sokol RJ, Oberhaus SM, et al. Detection of reovirus RNA in hepatobiliary tissues from patients with extrahepatic biliary atresia and choledochal cyst. Hepatology 1998,27:1475-82

6. Silveira TR, Salzano FM, Donaldson PT et al. Association between HLA and extrahepatic biliary atresia. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1993:16:114-117.

7. Vasiliauskas E, Targan S, Cobb L, et al. Biliary atresia- an autoimmune disorder ? Hepatology 1995;22(4 Pt2):87

8. Sokol RJ, Mack C. Ethiopathogenesis of biliary atresia. Semin Liver Dis 2001;21:517-24

9. Narkewicz MR. Biliary atresia:an update on our understanding of the disorder. Curr Opin Pediatr 2001;13:435-40.

10. SetchellK, O’Connell N. Disorder of bile acids synthesis and metabolism : a metabolic basis for liver diseases. In : Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,eds. Liver Diseases in Children. Philadephia:Lippincott,Williams & Wilkins 2001:701-34.

11. Meisheri IV, Kasat LS, Kumar A, et al. Duodenal intubation and test for bile- a reliable method to rule out biliary atresia. Pediatr Surg Int 2002;18:392-5

12. Choi SO, Park Wh, LeeHJ, et al. “Triangular cord”: a sonographic finding applicable in the diagnosis of biliary atresia. J Peditr Surg 1996;31:363-6.

13. Farrant P, Meire HB, Mieli-Vergani G. Improved diagnosis of extrahepatic biliary atresia by high frequency utrasound of the gall bladder.Br J Radiol 2001;74:952-4

14. Gilmour SM, Hershkop M, Reifen R, et al. Outcome of hepatobiliary scanning in neonatal hepatitis syndrome. J Nucl Med 1997;38:1279-82

15. Guibaud L, Lachaud A, Touraine R, et al. MR cholangiography in neonates and infants : feasibility and preliminary applications. AJR Am J Roentgenol 1998; 170:27-31.

16. Norton KI, Glass RB, Kogan D, et al. MR cholangiography in the evaluation of neonatal cholestasis: initial results. Radiology 2002 ; 222: 687-91.

17. Linuma Y, Narisawa R, Iwafuchi M, et al. The role of endoscopic retrogade cholangiopancreatography in infants with cholestasis. J Pediatr Surg 2000; 35:545-9.

18. Zerbini MC, Gallucci SD, Maezono R, et al. Liver biopsy in neonatal cholestasis: a review on statistical grounds. Mod Pathol 1997; 10:793-9.

19. Chardot C, Carton M, Spire-Bendelac N, et al. Is the Kasai Operation still indicated in childen older than 3 months diagnosed with biliary atresia? J Pediatr Surg 2001; 138: 224-8.

20. Ohi R. Biliary atresia. A surgical perspective. Clin Liver Dis 2000;4:779-804.

21. Toyosaka A, Okamoto E, Okasora T, et al. Extensive dissection at the portahepatis for biliary atresia. J Pediatr Surg 1994; 29: 896-9.

22. Ando H, Seo T, Ito T, et al. A new hepatic portoenterostomy with division of the ligamentum venosum for treatment of biliary atresia. J Pediatr Surg 1997; 32: 1552-4.



LAMPIRAN

Kausa Intrahepatik

Congenital Infections - viral, protozoan, spirochetal, bacterial sepsis
Metabolic disorders – galactosemia, tyrosinemia, hereditary fructose intolerance, alpha-1-antityripsin deficiency, cystic fibrosis, hypopituitarism, bile acid synthesis defects, citrin deficiency, respiratory chain disorders.
Storage Diseases – neonatal iron storage disease, Nieman-Pick type C, Gaucher’s disease, Wolman’s disease, glycogen storage disease type 4.
Genetic syndromes – Alagille syndrome, Turner syndrome, Down syndrome, Aagenaes syndrome, Zellweger syndrome, arthrogryposis/cholestasis syndrome.
Progressive familial intrahepatic cholestasis – FICI deficiency, BSEP deficiency, MDR3 deficiency, Byler syndrome.
Idiopathic disorders – idiopathic neonatal hepatitis, non-syndromic paucity of interlobular bile ducts.
Toxins and drugs – endotoxemia, total parenteral nutrition-associated cholestasis, chloal hydrate, antibiotics, other drug.
Miscellaneous – ischemia-reperfusion injury, neonatal lupus, congenital hepatc fibrosis, Caroli’s syndrome, inspissated bile syndrome, histiocystosis X.

Kausa Ekstrahepatik

- Biliary atresia
- Cholechochal cyst
- Spontaneous perforation of the common bile duct
- Choledocholithiasis
- Neonatal sclerosing cholangitis
- Bile duct stenosis
- Compression by tumors or masses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar