PROTOKOL PENANGANAN ANOMALI ANOREKTAL
M. Amir Thayeb
Divisi Bedah Anak
Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Abstrak
Kelainan Anorektal masih menjadi tantangan bagi ahli bedah anak. Pembedahan untuk memperbaiki anatomi baru merupakan langkah pertama dalam perjalanan panjang mencapai perineum yang kering dan bersih. Ketidaklancaran BAB tidak terbatas pada kelainan yang disebut tinggi. Konstipasi bahkan banyak ditemukan pada kelainan yang disebut rendah seperti fistula rekto-perineal atau fistula vestibuler. Tindakan businase pasca operasi, atau perineum yang kotor akan menimbulkan dampak psikologis dikemudian hari. Rasa nyeri businase dapat menimbulkan rasa benci anak pada orang tua. Perineum yang kotor akan menimbulkan rasa rendah dan tidak percaya diri. Dibicarakan klasifikasi, tindakan diagnostik dan terapi, penanganan pasca operasi berupa toilet training untuk mereka dengan prognosis baik, atau program bowel management bagi mereka dengan prognosis kurang baik, teknik Malone, atau kolostomi permanen.
Pendahuluan
Dalam kepustakaan insidens kelainan anorektal adalah 1/5000 kelahiran hidup. Di Indonesia secara nasional belum ada angkanya, yang dapat dikemukakan adalah angka rumah sakit. Di Divisi Bedah Anak RSCM kelainan anorektal berada di urutan ke-2 dalam golongan kelainan kongenital setelah hernia. Sedang kelainan kongenital menduduki tempat pertama dengan 60% kasus rawat inap, disusul infeksi, trauma, dan neoplasma.
Kelainan anorektal merupakan suatu spektrum defek kongenital yang sering disertai sequele berat seperti inkontinensi feses dan urin. Tujuan pengobatan Anomali anorektal tidak terbatas pada melakukan operasi yang baik dan benar yang dewasa ini dengan teknik PSARP dapat dilakukan. Tujuan utamanya adalah mencapai normal bowel movement yang hanya dapat dicapai bila telah melakukan operasi dengan benar disusul latihan bowel training dan / atau bowel management. Sayangnya walaupun operasi rekonstruksi anatomi dapat dilakukan, tidak semua penderita akan sampai pada tujuan ini. Kelainan awal yang disertai agenesis sakrum, otot displastik, kekuatan spinkter yang rendah, dan tak adanya sensasi anus akan menghambat tercapainya perineum yang bersih dan kering. Oleh karena itu sejak awal sangat penting memberi penjelasan kepada orang tua mengenai penyakit serta prognosis, dan jangan memberi harapan palsu. Pilihan pengobatan harus secepatnya disampaikan pada orang tua agar mereka terlibat dalam menentukan arah dan jenis pengobatan1.
Bagi semua yang terlibat dalam menangani kelainan ini pengetahuan mengenai kelainan anatomi yang diderita dan mengetahui prognosis kontinensi merupakan keharusan. Saat ini diketahui bahwa pembagian dalam klasifikasi tinggi / rendah terlalu luas, tidak menggambarkan seluruh kelainan, dan tidak dapat digunakan untuk menentukan prognosis. Misalnya, klasifikasi yang menggolongkan atresia rekti dan fistula rekto-vesika dalam klasifikasi ‘tinggi’ seolah keduanya merupakan kelainan yang sama dengan prognosis yang sama. Tetapi ternyata prognosis kontinensi atresia rekti sangat baik, sedang fistula rekto-vesika sangat buruk. Sebaliknya pada kelainan yang dahulu dimasukan dalam golongan ‘rendah’ dan dianggap tidak akan ada masalah, ditemu frekuensi konstipasi yang tinggi. Yang saat ini dilakukan adalah memasukan kelainan anatomi yang sama dalam satu golongan dan menentukan prognosis tertentu untuk golongan tersebut.
Oleh karena itu selain melakukan operasi dengan benar, wajib menjelaskan prognosis, dan tahapan perjalanan penyakit yang mungkin harus dilalui sebelum anak dapat mencapai kontinensi yang wajar. Penjelasan harus diberikan se dini mungkin mengenai jenis dan jumlah operasi yang akan dilakukan, tindakan / pengobatan lanjutan yang dapat dipilih serta lama tindakan yang harus dijalani. Karena ada kemungkinan pengobatan akan berlangsung seumur hidup, libatkan keluarga dalam segala keputusan mengenai tindakan yang akan diambil, serta hindari keterangan yang memberikan harapan palsu.
Pemeriksaan
Pada seorang bayi yang lahir dengan anomali anorektal harus dilakukan pemeriksaan lengkap karena seringnya terdapat kelainan bawaan penyerta.
Pemeriksaan klinik perineum ditujukan untuk mencari fistula. Curigai adanya fistula perineal bila terdapat midline groove dan anal dimple yang jelas atau bucket handle. Keadaan ini mengarah ke prognosis kontinensi yang baik. Sebaliknya perineum datar (flat bottom) dimana tidak terdapat midline groove atau anal dimple umumnya mengarah pada prognosis buruk.
Bila tidak terdapat fistula buat foto polos knee-chest lateral untuk menentukan jarak bayangan udara dari kulit perineum. Foto / pencitraan lain dibuat sesuai indikasi (obstruksi usus dan sebagainya). Penting dibuat foto untuk melihat keadaan vertebra termasuk sakrum.
Klasifikasi1
Pengelompokan kelainan anatomi yang sama akan memudahkan monitor perjalanan penyakit.
Laki-laki
Fistula Perineal
Pada laki-laki dan perempuan merupakan jenis paling sederhana. Anoplasti dapat dilakukan saat neonatus tanpa kolostomi. Kontinensi seharusnya dapat dicapai 100% kasus, tetapi cukup banyak mengalami konstipasi. Pada 28% ditemu kelainan genitouriner.
Fistula Rekto-Bulbus Urethrae
Fistula di urethra bagian bawah. Voluntary bowel movement dicapai oleh 81% kasus setelah usia 3 tahun. Pada 46% ditemukan kelainan urologik.
Fistula Rekto-Urethra Prostatika
Fistula di urethra bagian atas. Voluntary bowel movement dicapai oleh 70% kasus, dan kelainan urologik ditemukan pada 60%.
Fistula Rekto-Vesika
Hanya ditemukan pada 10% dari kasus laki-laki. Voluntary bowel movements dapat dicapai hanya pada 30% pada usia 3 tahun. Merupakan satu-satunya kelainan yang memerlukan laparotomi selain PSA. Pada 80% ditemukan kelainan urologik.
Tanpa fistula
Terjadi pada 5% kasus. 50% menderita sindrom Down dan pada sisanya ditemukan berbagai sindrom lain atau gangguan neurologik. Sakrum dan spinkter umumnya baik. Pada 38% ditemukan kelainan genitourioner. 80-90% ada bowel control walau dengan sindrom Down.
Atresia Rekti
Pada laki-laki dan perempuan terjadi pada 1% kasus. Anus dan spinkter selalu normal. Seratus persen kontinen.
Perempuan
Fistula Perineal
Sama
Fistula Vestibular
Paling sering ditemukan pada perempuan dimana rektum terletak tepat di posterior vagina, diluar himen. Pada 93% timbul voluntary bowel movement pada usia 3 tahun, tetapi pada 63% terdapat berbagai derajat konstipasi. Sayangnya jenis ini adalah jenis yang paling banyak ditemu kegagalan tindakan dengan konsekuensi berat. Pada 40% terdapat kelainan urologik.
Tanpa fistula
Sama
Atresia dan Stenosis Rekti
Sama
Kloaka
Merupakan kelainan dengan spektrum tersendiri. Rektum, vagina, dan urethra bersatu membentuk common channel. Pada channel dengan panjang < 3 cm, tindakan dapat dilakukan cukup dengan PSA tanpa laparotomi. Bila > 3cm, perlu pendekatan kombinasi. Panjang channel merupakan tanda prognostik penting. Delapanpuluh persen dengan channel < 3 cm mencapai bowel movement pada usia 3 tahun sedangkan 20% memerlukan kateterisasi intermiten untuk mengosongkan kaandung kemih. Limapuluhlima persen dengan channel panjang mencapai bowel movement pada usia 3 tahun dan 70% memerlukan kateterisasi intermiten.
Fistula Rekto Vagina
Dalam klasifikasi ini tidak dimasukan fistula rekto-vagina karena hanya ditemukan pada < 1 %. Dalam klasifikasi lama dikatakan kelainan ini sering dijumpai, tetapi ternyata banyak disalahkan dengan fistula vestibuler atau kloaka1. Demikian pula dengan seri Rosen yang menemukan kelainan tanpa fistula hanya 3% dan bila digabung dengan fistula rekto vagina insidensnya belum mencapai 4%.
Diagnosis dan Manajemen
Diagnosis dan management saat neonatus dimulai dengan mengajukan pertanyaan :
1. Apakah ada kelainan lain yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan segera. Suatu hal yang perlu diingat adalah jangan melakukan tindakan operatif apapun dalam 24 jam pertama karena ada / tidak fistula belum selalu tampak. Diperlukan waktu antara 16-24 jam agar tekanan intralumen cukup tinggi untuk mendorong mekoneum melalui fistula. Pencitraan yang dilakukan sebelum usus berkembang akan memberi hasil yang tidak tepat. Waktu 24 jam pertama digunakan untuk mencari kelainan lain seperti Atresia esofagus, kelainan jantung, kelainan tulang terutama vertebra dan sakrum1. Walaupun masih kontroversial, beberapa penulis mengemukakan bahwa berat displasi sakrum menetukan prognosis. Panjang sakrum dibandingkan dengan parameter tulang pelvis untuk menghitung ratio. Ratio normal posisi antertolateral adalah 0,77 dan posisi lateral adalah 0,74. Anak dengan malformasi anorektal dengan berbagai berat displasi sakral dapat menujukan rasio antara 0 - 0,773. Adanya hemivertebra juga memberi prognosis buruk.
2. Apakah rekonstruksi dapat dilakukan segera tanpa kolostomi protektif ataukah diperlukan kolostomi dan disusul operasi defenitif dikemudian hari.
Terapi
Terapi standar saat ini mengikuti prosedur yang dianjurkan Pena yaitu penanganan 3 tahap, kecuali kelainan fistula perineal, operasi saat neonatus adalah diverting colostomy, disusul operasi defenitif dengan teknik Postero Sagittal Ano Recto Plasty, dan tahap akhir berupa penutupan kolostomi.
Kolostomi
Dianjurkan untuk membuat divided colostomy di perbatasan kolon desendens dengan sigmoid sebagai prosedur terbaik untuk diversi. Lokasi ini dipilih karena bila terdapat fistula dari saluran kencing, urin yang masuk secara retrograd akan di serap usus sehingga bisa terjadi asidosis hiperkloremik, atau terjadi kontaminsasi feses ke saluran kencing.
Dua minggu setelah kolostomi dibuka, lakukan pemeriksaan (Hallows MR, Lander AD, Corkery JJ. Anterior Resection for Megarectosigmoid in congenital Anorectal Malformations. J Pediatr Surg 2002 ; 37 (10) : 1464-1466), yaitu suatu pemeriksaan penting untuk melokalisir posisi fistula. Tekniknya adalah memasukan kateter Folley ke kolon distal, kembangkan balon, masukan kontras larut air dengan tekanan sampai tampak fistula. Teruskan penyuntikan sampai kantong kencing terisi penuh dan pasien BAK. Dengan ini lokasi tepat fistula dapat terlihat dengan jelas .
Saat ini ada yang menganjurkan untuk melakukan terapi definitif tanpa kolostomi4 atau melakukan terapi definitif melalui laparoskopi5. Tetapi mengganti operasi tiga tahap menjadi satu tahap memerlukan perencanaan yang matang serta melihat statistik keberhasilan tindakan tersebut.
Operasi Definitif
Pena menganjurkan PSARP dilakukan 1 bulan pasca kolostomi. Tidak diperlukan tindakan persiapan usus (bowel preparation) dan cukup dilakukan irigasi kedua stoma satu hari sebelumnya.
Penutupan Kolostomi
Dilakukan bila anus sudah menjalani dilatasi dan mencapai ukuran normal. Alasan dilakukan dilatasi adalah karena anus dan rektum diliputi otot yang dalam keadaan normal akan menutup. Tanpa dilatasi ia akan sembuh dalam posisi tertutup atau sempit. Dilatasi dimulai 2 minggu pasca bedah definitif dengan dilator Hegar 2 kali sehari yang dilakukan orang tua dirumah. Sekali seminggu kontrol ke rumah sakit dan setiap minggu ukuran dinaikan 1 ukuran lebih besar.
Ukuran dilator disesuaikan dengan umur :
1 - 4 bulan 12
4 - 12 bulan 13-14
1 tahun - 3 tahun 15
3 tahun - 12 tahun 16
> 12 tahun 17
Bila ukuran sudah dicapai, kolostomi dapat ditutup tetapi dilatasi dilanjutkan dengan frekuensi menurun sebagai berikut :
- Sekali sehari selama satu bulan.
- Selang 3 hari selama sebulan
- Dua kali seminggu selama sebulan
- Sekali seminggu selama sebulan
- Sekali sebulan selama tiga bulan.
Kesulitan memasukan dilator atau timbul perdarahan merupakan indikasi untuk memulai kembali dilatasi dua kali sehari, dan memulai semuanya dari awal.
Salah satu kesalahan pada dilatasi adalah bila diusahakan untuk tidak menimbulkan nyeri pada anak dengan melakukan dilatasi sekali seminggu dalam narkose. Tindakan ini menyebabkan laserasi setiap minggu yang kemudian menjadi fibrosis. Satu minggu kemudian saat dilatasi kembali akan terjadi kembali laserasi. Proses yang berulang ini akan berakhir dengan timbulnya cincin fibrosis dengan akibat penyempitan. Penyempitan juga dapat terjadi bila menggunakan ukuran dilator yang sama untuk waktu lama. Anus akan sembuh dengan ukuran kecil yang akan sangat sulit untuk di dilatasi6.
Prediksi
Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan kelainan dengan prognosis bowel control yang baik dari yang buruk 7.
Indikator prognosis baik :
- Sakrum normal
- Cekungan garis tengah jelas (midline groove elas berarti struktur otot baik)
- Atresia rekti
- Fistula vestibuler
- Tanpa fistula
- Kloaka rendah
- Fistula perineal
Indikator prognosis buruk :
- Sakrum abnormal (>2 vertebra tak terbentuk)
- perineum datar (midline groove tidak jelas berarti otot lemah)
- Fistula vesika urinaria
- Kloaka tinggi
- Malformasi kompleks
Anak yang lahir dengan malformasi anorektal tak akan toilet trained sebelum usia 2,5 -3 tahun. Tetapi sebelum waktu itu ada tanda prognostik yang dapat mengarah pada kemungkinan dapat mencapai bowel control.
Gejala Prognosis baik :
- Bowel movement baik : 1-3 kali sehari tanpa soiling diantaranya
- kontrol urin baik
- ada sensasi saat BAB (dapat mengedan)
Gejala prognosis buruk :
- inkontinen urin, dribbling
- Soiling terus menerus
- Tidak ada sensasi (tidak ada mengedan)
Hasil
Secara keseluruhan, 75% kasus akan mencapai voluntary bowel movement pada usia 3 tahun, walaupun pada 50% dari kasus diatas masih terjadi soiling. Disini timbulnya soiling berhubungan dengan konstipasi yang bila di tangani dengan benar dapat hilang.
Pada 37,5% terdapat voluntary bowel movement tanpa soiling. Walaupun demikian bila terjadi diare tetap akan kesulitan mengontrol feses.
Pada 25% terjadi inkontinen total.
Pasca operasi penilaian kontinensi / inkontinensi dapat dilakukan menurut berbagai metode8,9 :
1. Numerik :
a. Kelly : Didasarkan leakage dan kekuatan spinkter puborektal.
Staining :
- None 2
- Occasional 1
- Constant 0
Accidental defecation / soiling :
- None 2
- Occasional 1
- Constant 0
Strength of puborectal muscle
- Strong squeeze 2
- Weak 1
- None 0
Good : 5-6
Fair : 3-4
Poor : 2
b. Templeton and Ditesheim
Derajat kesadaran impending stool
- Normal 1
- Occasional 0,5
- None 0
Accidental Defecation
- None 1
- < 3 x / minggu 0,5
- > 3minggu 0
Perlu baju dalam ekstra
- Tidak pernah 1
- Bila diare 0,5
- Selalu 0
Masalah sosial karena bau.
- Tidak ada 1
- Jarang 0,5
- Sering 0
Hambatan aktivitas fisik
- Tidak ada 0,5
- Terbatas 0
Rashes
- Tidak ada 0,5
- Beberapa 0
GOOD : 4-5
FAIR : 2-3,5
POOR : 0-1,5
2. Kualitatif. :
a. Kieseweter dan Chang
- Kontinen kecuali bila terjadi diare atau stres fisik : GOOD
- Kadang soiling / staining dengan konsistensi feses normal : FAIR
- Inkontinen, kadang ada kontrol, kolostomi permanen setelah kegagalan terapi definitif : POOR
Kiesewetter dan Chang mengemukakan bahwa kontinensi akan dicapai pada usia lebih lambat dari anak normal tetapi akan semakin baik dengan perjalanan waktu. Berbagai pendapat dikemukan mengenai hal ini dari ‘ kemampuan adaptasi anus yang tidak sempurna’ sampai ‘maturasi rektum’ karena perkembangan neuromuskuler. Ong dan Beasley berpendapat bahwa onset lambat kontrol feses terjadi akibat aktivitas berbagai faktor seperti bertambahnya massa otot, kontrol otot dasar panggul, regulasi diet, pendidikan, dan motivasi sosial. Perbaikan kontrol terjadi antara usia 7-15 tahun9.
b. Wingspread10
c. - Clean
GOOD
- Smearing
- Intermittent fecal soiling FAIR
- Constant soiling POOR
Molenaar berpendapat bahwa berdasarkan pengetahuan anatomi, embriologi, fungsi anorektum sebagian penderita post-operative PSA tidak akan kontinen yang berat-ringannya akan menetap seumur hidup9.
Pasien dan keluarga harus dapat menerima kehidupan dengan inkontinen karena merupakan tahap pertama yang mengarah pada terapi yang benar11.
Pena mendapat hasil sebagai berikut :
Voluntary Bowel Movement
Fistula perineal 100%
Atresia / Stenosis Rekti 100%
Fistula Vestibuler 92%
Tanpa Fistula 89%
Fistula Bulbus Urethrae 81%
Kloaka Pendek 79%
Fistula Urethra Prostatica 73%
Kloaka Panjang 55%
Fistula Vesica 35%
Rata rata 77%
Kontinensi (Voluntary Bowel Movement tanpa Soiling)
Fistula perineal 100%
Atresia / Stenosis Rekti 88%
Fistula Vestibuler 55%
Tanpa Fistula 52%
Fistula Bulbus Urethrae 31%
Kloaka Pendek 28%
Fistula Urethra Prostatica 20%
Kloaka Panjang 17%
Fistula Vesica 0%
Rata rata 39%
Konstipasi
Fistula Perineal 50%
Atresia / Stenosis Rekti 57%
Fistula Vestibuler 61%
Tanpa Fistula 55%
Fistula Bulbus Urethrae 59%
Kloaka Pendek 39%
Fistula Urethra Prostatica 45%
Kloaka Panjang 48%
Fistula Vesica 15%
Rata rata 48%
Komplikasi
1. Konstipasi merupakan kelainan yang paling sering ditemukan juga pada golongan dengan prognosis baik. Hal ini sangat tidak menguntungkan dan merupakan auto aggravating condition yaitu bila tidak ditangani dengan benar, kolon akan semakin dilatasi dan tidak mampu mengosongkan diri sehingga akan memperburuk konstipasi. Proses akan berjalan terus sampai terjadi ‘megarectosigmoid’. Konstipasi berat ini menimbulkan impaksi feses kronik sampai terjadi overflow pseudo incontinence. Hal ini dapat terjadi baik pada anak normal maupun anak dengan prognosis baik yang menjalani operasi dengan baik tetapi tidak mendapat pengobatan konstipasi dengan benar. Pada konstipasi berat yang tidak ditangani dengan baik akan berakhir dengan terjadinya megarektosigmoid. Kelainan yang terjadi pada 5% kasus ini tidak disebabkan stenosis ani12. Tujuan utama manajemen anorektal adalah bowel control. Apapun operasinya 10-30% akan menderita total fecal incontinence9.
2. Inkontinensi urin banyak ditemukan pada kloaka walaupun bladder neck baik. Inkontinensi ini terjadi akibat ketidak mampuan mengosongkan vesika sampai terjadi dribbling akibat overflow. (Keadaan ini ditangani dengan CIC, dengan jarak waktu sesuai kapasitas buli-buli.) Beberapa penderita tidak mempunyai bladder neck seperti yang terdapat pada kloaka dengan os pubis yang terpisah. Keadaan ini disebut covered cloacal extrophy. Bila ditemu, sebaiknya tutup bladder neck tanpa melakukan rekonstruksi dan buat diversi yang dapat di CIC (prosedur Mitrofanoff). Grup kloaka lain adalah mereka yang disertai kelainan berat lain dimana hemivagina dan rektum berhubungan dengan saluran kencing di daerah bladder neck. Bila dilakukan rekonstruksi dan semua dipisah, tetap tidak akan ada bladder neck, oleh karena itu lebih baik tutup bladder neck dan lakukan Mitrofanoff.
3. Trauma operasi. Pada > 80% anak laki dengan malformasi anorektal ditemukan fistula antara rektum dengan saluran kencing. Operasi definitif mengharuskan dipisahkannya hubungan abnormal tersebut. Hal ini potensial menimbulkan kerusakan strtuktur penting seperti urethra, vesika urinaria, ureter, vas deferens, vesika seminalis, prostat, dan syaraf yang mengontrol urin dan fungsi seksual. Dalam kepustakaan pernah dilaporkan terjadinya trauma urethra berupa transeksi lengkap, divertikel urethra akibat sebagian rektum masih tersisa, fistula rekto-urethra pasca operasi persisten karena keberadaan fistula tersebut tidak terdeteksi pre-operatif dan operasi dilakukan dengan anoplasti, timbul fistula baru, dan fistula rekuren. Komplikasi lambat dapat berupa striktura urethra. Kerusakan juga dapat terjadi pada alat reproduksi seperti veskca seminalis, vas deferens, dengan timbulnya di kemudian hari berupa impotensi, dan tak dapat ejakulasi13. Gangguan diatas terjadi karena beberapa tindakan penting yang harus dilakukan tidak dilakukan atau dilakukan dengan kurang benar. Tanpa melakukan pressure augmented distal colostogram berakibat tidak diketahuinya posisi ujung rektum sehingga memerlukan eksplorasi luas untuk menemukannya. Saat eksplorasi luas ini dapat terjadi trauma syaraf dan organ disebut diatas. Kecuali pada fistula rekto perineal, semua repair harus didahului kolostogram distal pre-operatif. Demikan pula harus disadari pentingnya pemasangan kateter urethra saat operasi. Banyak terjadi trauma urethra pada anoplasti hanyan karena lupa memasang kateter.
4. Neurogenic Bladder. Harus dibedakan neurogenic bladder kongenital yang bersifat hyperreflexic karena defisiensi upper motor neuron, dari akibat trauma operasi yang berbentuk atoni.
5. Jenis operasi yang tidak dapat melakukan identifikasi struktur akan lebih banyak menimbulkan kerusakan. Boemers dengan penelitian urodinamik yang dilakukan pre- dan post-operative PSA tidak menemukan gangguan fungsi saluran kencing bawah kecuali disertai operasi transabdominal. Mereka juga menemukan bahwa sakrum normal berhubungan dengan fungsi saluran kencing bawah normal, sedang agenesis sacrum berhubungan dengan fungsi yang tidak normal. Tetapi walaupun demikian, pada displasi berat sacrum bila ditangani dengan benar masih dapat mencapai kontrol urin14.
6. Efek Psikososial. Pada 58% kasus terdapat gangguan psikiatrik dan pada 73% terdapat ganguan fungsi psikososial. Soiling, staining dan ketakutan pada flatus menimbulkan kecemasan dan masalah psikososial. Bouginage anus (tindakan intrusif di daerah sensitif) sampai usia 2-4 tahun dapat menimbulkan protes dan kemudian kebencian terhadap orang tua yang melakukannya. Sebelum mencapai usia pubertas, masalah inkontinensi tidak perlu terlalu dirisaukan, karena masih ada kemungkinan untuk menjadi kontinen walaupun saat berusia 5-6 tahun mereka inkontinen10.
Penanganan Sequele
Hal terpenting dalam menangani sequele jangka panjang adalah menerangkan sejujurnya kelainan yang diderita dan tidak memberi harapan palsu pada orangtua1.
• Pada grup prognosis fungsional buruk (Kloaka, fistula prostatika) anak tetap dengan popok sampai usia 3 tahun untuk kemudian dimulai bowel management program. Diharapkan anak dapat sekolah dengan pakaian dalam normal.
• Pada grup dengan prognosis baik, toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Bila pada usia 3 tahun masih ada yang belum terlatih untuk toilet, dianjur untuk mengikuti bowel management program sebelum masuk sekolah.
Anak dengan indikator dan gejala baik dimasukan dalam bowel training program seperti anak normal. Latihan ini dimulai pada usia minimal 2 tahun. Tekniknya adalah meletakan anak untuk duduk di pispot setiap habis makan (memanfaatkan refleks gastrokolik) dengan suasana bermain, bukan sebagai hukuman. Bila tidak berhasil lanjutkan dengan Bowel management program.
Anak dengan indikator buruk langsung dianjurkan mengikuti bowel management program. Program ini dimulai sebelum mulai sekolah karena tidak dianjurkan untuk mengirim anak ke sekolah dengan popok. Tujuan latihan ini adalah membuat anak diterima baik di lingkungan sekolah maupun diluar.
Tujuan program ini adalah untuk mengajarkan orangtua untuk membersihkan kolon anak setiap hari dengan enema atau irigasi kolon. Enema sebaiknya diberi setelah makan utama untuk memanfaatkan refleks gastrokolik. Enema yang mudah digunakan adalah fleet enema (fosfat) karena sudah tersedia dalam botol. Tetapi mungkin lebih mudah dan murah untuk memberi saline. Fleet enema maksimal diberi 1 kali sehari karena dapat menimbulkan kolik dan hipokalsemia. Awasi pemberian fleet pada gangguan ginjal. Setelah pemberian enema cari mekanisme untuk menenangkan kolon selama 24 jam saat dilakukan enema berikutnya. Untuk melakukan tindakan ini anak perlu dirawat minimal 1 minggu.
• Hari 1 : Enema kontras untuk melihat anatomi dan motilitas kolon. Derajat Beratnya megasigmoid memberi petunjuk berat konstipasi dan jenis enema yang akan digunakan untuk membersihkan kolon.
• Volume dan kadar tertentu enema diberi setiap hari.
• Mengawasi pasien setiap hari untuk mengadakan koreksi secara trial and error.
• Membuat foto polos abdomen untuk melihat sisa feses dalam kolon.
• Prosedur diteruskan sampai kolon bersih dan pasien melapor bahwa ia bersih selama 24 jam.
• Pada pasien yang dilakukan reseksi kolon saat operasi defenitif sering terjadi diare. Foto enema menujukan kolon yang tidak dilatasi, lurus dari fleksura lienalis ke perineum dengan haustrae yang berjalan sampai ke pelvis. Tujuan pengobatan golongan ini adalah menurunkan motilitas kolon diantara 2 enema. Pembersihan kolon umumnya mudah dilakukan dengan sedikit enema. Tantangan utama adalah memberi diet atau obat yang menimbulkan konstipasi.
• Dalam 1 minggu umumnya 95% kasus dapat menjadi bersih sempurna. Pada 5% yang tidak berhasil disarankan untuk dibuat kolostomi permanen7. Saat pemberian enema posisi anak harus sedemikian agar memudahkan masuknya cairan setinggi mungkin dalam kolon. Anak yang masih kecil dapat diletakan di pangku dengan kepala rendah atau knee-chest position. Anak besar yang ingin memasukan sendiri enema, dapat dilakukan dalam posisi knee-chest dengan posisi miring. Pertahankan cairan selama mungkin. Kemudian duduk di toilet selama diperlukan (biasanya 20 menit). untuk mengosongkan kolon. Bila anak tidak dapat menahan cairan atau enema yang diberi tidak dapat mengosongkan kolon, gunakan kateter Folley untuk memasukan cairan lebih tinggi.
Program ini sangat individual dan setelah berjalan beberapa waktu orangtua dapat mengetahui konsistensi dan jumlah feses yang biasa keluar, kapan enema yang diberi efektif dan kapan harus diulang.
Setelah waktu tertentu (6 bulan–2 tahun) cairan enema dapat dikurangi.
Diare
Terjadi bila kolon hiperaktif dan tidak mempunyai reservoir. Langkah penanganan pertama adalah mengusahakan untuk mencegahnya dengan diet (cegah gorengan dan produk susu) atau obat (immodium) yang menimbulkan konstipasi.
Kombinasi Imodium®, enema, dan diet sangat membantu. Untuk menentukan kombinasi yang tepat, mulai dengan diet yang ketat, enema, dan Imodium® dosis tinggi. Dalam 24 jam biasanya ada respons. Kemudian secara bertahap beri makanan yang diinginkan anak sambil monitor efek pada kolon sampai ditemu diet terbaik. Bila diet berhasil, turunkan dosis pengobatan secara trial and error. Setelah 2 bulan coba beri makanan yang sebelumnya dimasukan dalam daftar hitam. Bila kembali timbul diare maka jenis makanan ini harus dilarang selamanya. Penambahan makanan hanya boleh dicoba 1 jenis makanan baru dalam 1 minggu.
Bila program ini berhasil, akan timbul pertanyaan berapa lama program ini harus diikuti. Bila pasien termasuk dalam golongan dengan prognosis buruk ia harus menguikutinya seumur hidup.
Pada usia lebih lanjut dengan disiplin diet, enema mungkin dapat dihentikan. Dengan demikian pasien yang menujukan potensiel bowel movement baik dapat mencoba untuk melihat apakah dapat mengontrol tanpa enema. Lakukan ini dalam masa liburan panjang, jangan banyak bepergian, dengan diet tetap. Duduk di toilet setiap habis makan dan mencoba mengeluarkan feses. Setiap saat perhatikan datangnya peristaltik7.
Pada anak besar yang ingin melakukan sendiri tetapi tidak senang dengan rute rektum dapat dibuat Continent Appendicostomy modifikasi teknik Malone. Pada teknik ini apendiks disambung ke umbilikus dan difiksasi. Maksud tindakan ini hanya membuat rute baru untuk memasukan enema yang sama selain rektum. Apendiks difiksasi ke umbilikus untuk memasukan obat dan cairan15.
Teknik ini tidak diindikasikan bila rectal bowel management telah gagal. Cara ini hanya digunakan untuk mengubah rute enema agar pemberiannya lebih mudah. Ia bukan terapi khusus untukn inkontinen, tetapi cara agar anak dapat hidup dengan kualitas lebih baik16.
Megarektosigmoid
Penderita ini kan datang dengan gejala inkontinen. Tetapi pada pemeriksaan lebih lanjut akan ditemu dilatasi rekto-sigmoid dengan banyak massa feses didalamnya. Didapat pula keterangan bahwa kelainan ini dimulai dengan konstipasi hebat. Inkontinensi yang terlihat ternyata adalah overflow incontinence akibat konstipasi17. Pemeriksaan radiologi akan menujukan dilatasi hebat rektosigmoid tetapi terdapat batas jelas antara bagian dilatasi dengan bagian sehat. Dalam menangani kondisi ini sebaiknya jangan melakukan reseksi sejauh mungkin, tetapi melakukan reseksi rektum-sigmoid diatas peritoneum untuk meninggalkan sebagian rektum sebagai reservoir18. Tujuan terapi megarektosigmoid adalah hanya membuang bagian sigmoid intraperitoneal yang aperistaltik dan serta mengadakan preservasi rektum. Reseksi sampai mencakup seluruh rektum akan menghilangkan fungsi reservoir sehingga akan mengubah masalah dari overflow incontinence akibat konstipasi menjadi inkontinensi sebenarnya. Membuang seluruh rektum dan melakukan pull through akan membuat kolostomi perineal yang sangat sulit ditangani.
Ringkasan
1. Penanganan anomali anorektal masih 3 tahap
2. Kecuali fistula perineal, kolostomi harus dibuat.
3. 2 minggu pasca kolostomi lakukan pressure augmented distal colostogram
4. Operasi definitif dapat dilakukan usia 3 bulan
5. Penutupan kolostomi dilakukan bila ukuran dilator sesuai ukuran usia anak.
6. Lanjutklan terapi dengan toilet training atau bowel management.
Kepustakaan
1. Pena A, Hong A. Advances in the management of Aborectal Malformations. Am. J Surg 2000, 180 (5): 370-376.)
2. Rosen NG, Hong AR, Soffer SZ, Rodroguez G, Pena A. Rectovaginal Fistula : A common Diagnostic Error with Significant Consequences in girls with Anorectal Malformations. J Pediatr Surg 2002; 37 :961-965
3. Macedo M, Martins JL, Filho LG. Sacral ratio and fecal continence in children with anorectal malformatiobns. BJU Int 2004; 94 : 893-894
4. Moore TC. Advantages of Performing ther Sagittal Anoplasty Operation for Imperforate anus at birth. J Pediatr Surg 1990; 25 (2) :276-277.
5. Georgeson KE, Inge TH, Albanese CT. Laparoscopically Assisted Anorectal Pull Through for High Imperforate Anus – A new Technique. J Pediatr Surg 2000; 35 (6) : 927-931.
6. Chapter 7 Postop Care, Complications, and Results. Atlas of Surgical Management of Anorectal Malformations. Alberto Pena. Springer Verlag 1990.
7. Guardino K. Bowel Management for children with anorectal malformations. www. schneiderchildrenhospital.org/sch_surgery-guardino.pdf
8. Ong NT, Beasley SW. Long term continence in patients with high and Intermediate anorectal anomalies treated by sacroperineal Rectopalsty. J Pediatr Surg 1991; 26 (1) : 44-48.)
9. Bhat NA, Grover VO, Bhatnagar V. Manometric evaluation of post operative patients with anorectal anomalies. Indian J Gastroenterol 2004; 23 : 206-208
10. Diseth TH, Emblem R. Somatic Function, Mebntal Health, and Psychosocial Adjustment of Adolescents with Anorectal Anomalies. J Pediatr Surg 1996 ; 31 (5) : 638-643
11. Langemeijer RATM, Molenaar JC. Continence after Posterior Sagittal Anorectoplasty. J Pediatr Surg 1991; 26 (5) : 587-590
12. Hallows MR, Lander AD, Corkery JJ. Anterior Resection for Megarectosigmoid in congenital Anorectal Malformations. J Pediatr Surg 2002 ; 37 (10) : 1464-1466.
13. Hong AR, Acuna MF, Pena A, Chaves L, Rodriguez G. Urologic Injuries Associated with repair of Anorectal Malformations in male patients. J Pediatr Surg 2002; 37:339-344.
14. (Hong AR, Acuna MF, Pena A, Chaves L, Rodriguez G. Urologic Injuries Associated with repair of Anorectal Malformations in male patients. J Pediatr Surg 2002; 37:339-344.
15. Levitt MA, Soffer Sz, Pena A. Continent Appendicostomy in the Bowel Management of Fecally Incontinent Children. Surg 1997; 32 (11) : 1630-1633
16. Lee SL, Rowell S, Greenholz SK. Therapeutic Cecostomy in Infants with Imperforate anus, and caudal agenesis. J Pediatr Surg 2002; 37 (3) : 345-347
17. Pena A, El Behery M. Megasigmoid: A Source of Pseudoincontinence in children with repaired Anorectal Functions. J Pediatr Surg 1993; 28 (2) : 199-203.
18. Hallows MR, Lander AD, Corkery JJ. Anterior Resection for Megarectosigmoid in congenital Anorectal Malformations. J Pediatr Surg 2002 ; 37 (10) : 1464-1466
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar