ASRUL MAPPIWALI-FK UNHAS
Pendahuluan
Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional (SPM, sardjito) dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal ( IKA UI).
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. (Yoshida, 2004). Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup (Belknap, 2006), Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Irwan, 2003).
Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Walaupun barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi gold standard penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan untuk membuat anastomosis dengan menyambung rektum bagian distal dengan bagian proksimal usus yang memiliki innervasi yang sehat. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis (Belknap, 2006).
A. Sejarah
Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi. Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan peristaltik usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion dengan gejala klinis yang terjadi (Irwan, 2003).
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen aganglionik dengan preservasi spinkter ani . Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum (Irwan, 2003).
B. Anatomi
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan (Irwan, 2003).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis) (Irwan, 2003).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut (Irwan, 2003).
C. Etiologi
Biasanya, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf (ganglia) mulai terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang panjang. Proses ini dimulai pada bagian atas dan berakhir di usus besar bagian bawah (dubur). Pada anak-anak dengan penyakit Hirschsprung, proses ini tidak selesai dan tidak ada ganglion di sepanjang seluruh panjang dengan dua titik. Kadang-kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa centimeter dari usus besar.
Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa gen mutations. Ini juga dikaitkan dengan beberapa kelenjar endokrin neoplasia, sebuah sindrom yang menyebabkan noncancerous Tumors di lendir membranes dan adrenal glands (terletak di atas ginjal) dan kanker dari thyroid gland (terletak di bagian bawah leher). Hirschsprung's tidak disebabkan oleh sesuatu yang tidak ibu selama kehamilan. Dalam beberapa kasus, penyakit ini mungkin warisan, bahkan jika orang tua tidak memiliki penyakit. Hirschsprung juga 10 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dengan Down syndrome
D. Patofisiologi
Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus Auerbach yang terletak pada lapisan otot dan pleksus Meisneri pada submukosa. serabut syaraf mengalami hipertrofi dan didapatkan kenaikan kadar asetilkolinesterase pada segmen yang aganglionik. ganguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan kegagalan peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus. obstruksi yang terjadi secara kronik akan menyeba
bkan distensi abdomen yang sangat besar yang dapat menyebabkan terjadinya enterokolitis (SPM sardjito). Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang beragam.
A B
Gambar A, memperlihatkan sel-sel syaraf yang normal pada usus, sedangkan Gambar B memperlihatkan sel syaraf yang hilang pada bagian akhir usus
Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik. Komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi. Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.
E. Frekuensi
1) United States, Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari per 5400-7200 kelahiran.
2) Internasional, tidak diketahui frekuensi yang tepat untuk seluruh dunia, walaupun beberapa penelitian internasional melaporkan angka kejadian sekitar 1 kasus dari 1500 hingga 7000 kelahiran.
3) Mortalitas/Morbiditas
a. Sekitar 20% bayi akan memiliki abnormalitas yang melibatkan sistem neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau gastrointestinal.
b. Penyakit Hirschsprung telah diketahui terkait dengan penyakit dibawah ini:
1. Syndrome Down
2. Syndrom Neurocristopathy
3. Waardenburg-Shah syndrome
4. Yemenite deaf-blind syndrome
5. Piebaldisme
6. Goldberg-Shprintzen syndrome
7. Multiple endocrine neoplasia type II
8. Syndrome central hypoventilation congenital
c. Megacolon aganglionik yang tidak diatasi pada masa bayi akan menyebabkan peningkatan mortalitas sebesar 80%. Mortalitas operative pada prosedur intervensi sangat rendah.
d. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi yaitu kebocoran anastomose (5%), striktur anastomose (5-10%), obstruksi intestinal (5%), abses pelvis (5), dan infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang termasuk gejala obstruktif, inkontinensi, konstipasi kronik, dan enterokolitis, komplikasi ini kebanyakan didapatkan pada pasien dengan segmen aganglionik yang panjang. Walaupun kebanyakan pasien akan mendapatkan permasalahan ini setelah operasi, penelitian jangka panjang telah menunjukkan bahwa lebih dari 90% anak akan mengalami perbaikan yang bermakna. Pasien dengan segmen aganglionik yang panjang terbukti memiliki outcome yang lebih buruk.
4) Ras
Penyakit Hirschsprung tidak memiliki predileksi pada ras tertentu.
5) Jenis Kelamin
Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 4:1. Akan tetapi, segmen aganglionik yang panjang sering ditemukan pada pasien perempuan.
6) Umur
Umur dimana pasien didiagnosis memiliki penyakit Hirschsprung semakin menurun sejak satu abad terakhir. Pada awal tahun 1900, usia median yaitu 203 tahun; mulai tahun 1950 hingga 1970, usian median menjadi 206 bulan.
Saat ini, sekitar 90% pasien dengan penyakit hirschsprung telah dapat didiagnosis pada masa perinatal.
F. Klasifikasi
Hirschprung Disease diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen agangliosinosisnya, yaitu:
1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati bagian atas segmen sigmoid.
2. Long segment HD (20%)
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)
Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu:
1. Total intestinal aganglionosis
2. Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan anus (Yoshida, 2004).
G. Gambaran Klinis
Gambaran klinis HD dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita HD ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Irwan, 2003).
2. Anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi (Irwan, 2003).
Klinis
Anamnesis
1. Sekitar 10% pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga. Keadaan ini semakin sering ditemukan pada pasien dengan segmen aganglion yang lebih panjang.
2. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada anak yang mengalami keterlambatan dalam mengeluarkan mekonium atau pada anak dengan riwayat konstipasi kronik sejak kelahiran. Gejala lainnya termasuk obstruksi usus dengan muntah empedu, distensi abdominal, nafsu makan menurun, dan pertumbuhan terhambat.
3. Ultrasound prenatal yang menunjukkan gambaran adanya obstruksi jarang ditemukan, kecuali pada kasus dengan melibatkan seluruh bagian kolon.
4. Anak dengan usia yang lebih tua biasanya memiliki konstipasi kronik sejak kelahiran. Mereka juga dapat menunjukkan adanya penambahan berat badan yang buruk.
5. Sekitar 10% anak yang datang dengan diare yang disebabkan oleh enterocolitis, dimana diperkirakan terkait dengan adanya pertumbuhan bakteri akibat stasis. Keadaan ini dapat berkembang menjadi perforasi kolon, yang menyebabkan sepsis.
6. Pada penelitian yang melibatkan 259 pasien, Menezes et al melaporkan 57% pasien datang dengan gejala obstruksi intestinal, 30% dengan konstipasi, 11% dengan enterocolitis, dan 2% dengan perforasi intestinal
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme anus.
2. Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan memiliki gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang saksama dapat membedakan keduanya.
3. Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan. Differensial Diagnosis dari HD kita harus selalu membandingkan konstipasi, Ileus, Iritable Bowel Syndrome, dan Gangguan Motilitas Usus.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
2. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet preoperatif.
3. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi dengan adanya udara dalam rectum
2. Barium enema
a. Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.
b. Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.
c. Foto segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian.
d. Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami dilatasi merupakan gambara klasik penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali gagal memperlihatkan zona transisi.
e. Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan
Pemeriksaan lainnya
Manometri anorektal
Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internalsphincter setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung. Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960, dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak keterbatasan.
Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting. Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan sebanyak 24% dari kasus. Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat. Karena malformasi kardiak (2-5%) dan trisomy 21 (5-15%) juga terkait dengan aganglionosis kongenital, pemeriksaan kardiologis dan genetik dianjurkan.
Prosedur
Biopsi Rektal
Diagnosa definitif Hirschsprung adalah dengan biopsi rektal, yaitu penemuan ketidakberaadan sel ganglion. Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan biopsi rektal full-thickness. Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut. Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama prosedur in dilakukan.
Simple suction rectal biopsy
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologis. Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus memotong jaringan yang diinginkan. Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas tempat tidur pasien. Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan pada jaringan yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy. Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf yang hypertrophy sepanjang lamina propria dan muscularis propria pada jaringan.
Penemuan Histologis
Baik pleksus myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami hypertrophy yang terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga ditemukan sepanjang lamina propria dan muscularis propria. Sekarang ini telah terdapat pemeriksaan imunohistokimia dengan calretinin yang juga telah digunakan untuk pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan terdapat penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan lebih akurat dibandingkan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.
H. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada HD. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi. Daerah transisi merupakan regio dimana ditandari dengan terjadinya perubahan kaliber dimana kolon yang berdilatasi normal diatas dan kolon aganglionik yang menyempit dibawah (Yoshida, 2004).
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Irwan, 2003).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid
Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.
I. Penatalaksanaan
Seperti kelainan kongenital lainnya, HD memerlukan diagnosis klinik secepat dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil terapi yang sebaik-baiknya (Belknap, 2006).
1. Preoperatif
2. Operatif
Tergantung pada jenis segmen yang terkena. pada hirschprung ultra short dilakukan miektomi rektum, sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi terlebih dahulu. persiapan operasi meliputi dekompresi kolon dengan irigasi rektum, stabilisasi cairan dan elektrolit, asam basa serta temperatur, pemberian antibiotik. Perawatan pasca operasi meliputi dekompresi abdomen dengan tetap memasang pipa rektum,antibiotik injeksi, stabiltasi cairan dan elektrolit serta asam basa (SPM sardjito).
Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
1. Untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,
2. Sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan, dan
3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal. Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik propilaksis telah menjadi prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-operatif.
Penanganan operatif
Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang biasanya membutuhkan biopsi rektal full-thickness. Pada umumnya, penatalaksanaan awal yaitu dengan membuat colostomy dan ketika anak bertum buh dan memiliki berat lebih dari 10 kg, operasi definitif dapat dilakukan.
Standar penatalaksanaan ini dikembangkan pada tahun 1950 setelah laporan tingginya angka kebocoran dan striktur pada prosedur tunggal yang dideskripsikan oleh Swenson. Akan tetapi, dengan kemajuan anastesia yang lebih aman dan monitoring hemodinamika yang lebih maju, prosedur penarikan tanpa membuat colostomy semakin sering digunakan. Kontraindikasi untuk prosedur tunggal ini adalah dilatasi maksimal usus bagian proksimal, entercolitis berat, perforasi, malnutrisi, dan ketidakmampuan menentukan zona transisional secara akurat.
Untuk neonatus yang pertama kali ditangani dengan colostomy, mulanya zona transisi diidentifikasi dan colostomy dilakukan pada bagian proksimal area ini. Keberadaan sel ganglion pada lokasi colostomy harus dikonfirmasi dengan biopsi frozen-section. Baik loop atau end-stoma dapat dikerjakan, biasanya tergantung dari preferensi ahli bedah.
Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik yang dilakukan, pembersihan kolon sebelum operasi definitif sangat penting.
Prosedur Swenson
1. Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan untuk menangani penyakit Hirschsprung
2. Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian distal
Prosedur Duhamel
1. Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur Swenson
2. Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa bagian rektum yang aganglionik dipertahankan
3. Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada rektum yang tersisa
Prosedur Soave
1. Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah ujung muskuler rektum aganglionik.
2. Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer pada anus.
Myomectomy anorectal
1. Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang sangat pendek, membuang sedikit bagian midline posterior rektal merupakan alternatif operasi lainnya
2. Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang bermula sekitar proksimal garis dentate.
3. Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup. Pendekatan laparaskopik sebagai penatalaksanaan penyakit Hirschsprung pertama kali dideskripsikan pada tahun 1999 oleh Georgeson. Zona transisi ditentukan awalnya ditentukan secara laparaskopik, diikuti dengan mobilisasi rektum dibawah peritoneal. Mukosa transanal diseksi dilakukan, diikuti dengan mengeluarkan rektum melalui anus dan anastomosis. Hasil fungsional sepertinya sama dengan teknik terbuka berdasarkan hasil jangka pendek
Diet
Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar dapat mengoptimalkan fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien.
Aktivitas
Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara baik
Medikasi
Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi infeksi, mengurangi morbiditas, dan mengurangi komplikasi.
Antibiotik
Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh patogen terkait dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu oleh tes kultur darah dan sensitivitas.
J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter (Irwan, 2003).
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian (Irwan, 2003).
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat (Irwan, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar