MEKANISME FISIOLOGI DAN MODALITAS FARMAKOLOGI ANALGESI PRE-EMPTIF
OLEH: LA ODE MUH. AWALUDDIN AKRAM
Tujuan: Tinjauan literatur dibagi menjadi dua bagian yang merangkum mekanisme fisiologi dan modalitas atau sifat-sifat farmakologi serta perbedaan pendapat di seputar penggunaan analgesi pre-emptif.
Sumber: Artikel mulai dari tahun 1966 sampai sekarang diperoleh dari database MEDLINE. Istilah-istilah yang digunakan dalam penelusuran adalah analgesia, preemptive; neurotransmitter; nyeri, postoperative; hyperalgesia; sensitizatiocn; central nervous system; pathways, nociception; anesthetic techniques; analgesics, agents;
Temuan yang penting: Mekanisme fisiologi analgesi cukup kompleks dan mencakup modifikasi jalur-jalur nyeri. Sifat-sifat farmakologinya dapat mengubah respon fisiologi pada berbagai tingkat. Teknik analgesi pre-emptif yang efektif memerlukan hubungan banyak modalitas input nosiseptor, peningkatan ambang nosiseptor, dan penghambatan atau penurunan aktivitas nosiseptor. Walaupun literatur masih berbeda pendapat mengenai efektifitas analgesi pre-emptif, akan tetapi beberapa anjuran secara garis besar dapat dijadikan pedoman pada penerapannya di rumah sakit. Induksi analgesi regional yang dilakukan sebelum pembedahan dan diteruskan sampai setelah operasi cukup efektif mengurangi nyeri perifer dan nyeri sentral. Obat-obat farmakologi misalnya NSAID/AINS (Anti inflamasi non-steroid), opioid dan NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan antagonis reseptor alfa 2 terutama jika digunakan dalam bentuk kombinasi akan bekerja sinergis mengurangi nyeri postoperasi.
Kesimpulan: Karakteristik pasien yang berbeda-beda dan waktu pelaksanaan analgesi pre-emptif untuk mengatasi input rangsang nyeri akibat pembedahan memerlukan individualisasi teknik yang dipilih. Teknik kombinasi analgetik tampaknya lebih efektif.
I. PENDAHULUAN
Sensasi nyeri sangat mengganggu pada seorang pasien. Sensasi nyeri berdiri sendiri di antara sensasi lainnya karena disertai oleh unsur psikologis dan emosional. Hal ini diketahui oleh International Association for the Study of Pain (IASP) yang mendefinisikan nyeri sebagai “sensasi atau rasa yang tidak nyaman dan pengalaman emosional yang disebabkan oleh kerusakan jaringan atau kemungkinan kerusakan jaringan atau istilah-istilah lainnya yang digunakan untuk menjelaskan kerusakan tersebut.”
Pada awal abad yang lalu, Chile pertama kali memperkenalkan konsep pencegahan nyeri sebelum terjadi yang disebutnya analgesi pre-emptif. Beliau menemukan bahwa apabila hantaran nyeri dihambat sebelum dilakukan pembedahan, maka kematian pasca operasi akan berkurang. Teknik analgesi ini pertama kali diusulkan sebagai cara untuk mencegah syok postoperasi. Akan tetapi perkembangan teknik ini yang kemudian disebut analgesi pre-emptif juga terlihat dapat sangat mengurangi intensitas (dan durasi) nyeri postoperasi. Pada dua puluh tahun terakhir telah terlihat kemajuan ilmu pengetahuan dalam memahami fisiologi, patofisiologi dan farmakologi nyeri. Bersama-sama dengan pengetahuan tersebut maka konsep analgesia pre-emptif juga semakin maju dan telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki manfaat utama dari teknik ini pada pasien bedah. Tinjauan literatur ini merangkum pengetahuan tentang jalur-jalur, mekanisme dan neurotransmitter sensasi nyeri serta akan membahas pendekatan baru yang lebih maju dalam penanganan nyeri akut dalam konteks analgesi preemptif.
II. JALUR-JALUR FISIOLOGI
Reseptor tertentu memberikan informasi kepada sistem saraf pusat (SSP) tentang keadaan lingkungan di sekitar organisme. Setiap reseptor dikhususkan untuk mendeteksi stimulus tertentu (misalnya raba, suhu, nyeri, dll). Reseptor-reseptor pada kulit dan pada jaringan lainnya yang menangkap sensasi nyeri adalah free nerve ending (ujung saraf bebas) sedangkan reseptor untuk stimulus suhu bisa free nerve ending, badan Krouse atau badan Ruffini. Reseptor-reseptor tersebar dengan kepadatan yang berbeda-beda pada berbagai jaringan. Reseptor nyeri dapat dirangsang oleh stimulasi mekanik, suhu panas, atau oleh zat kimia yang mengiritasi. Reseptor nyeri tertentu hanya dapat mendeteksi satu stimulus, tetapi sebagian besar reseptor nyeri dapat terangsang oleh dua atau lebih stimulus. Ketika reseptor nyeri pada jaringan perifer dirangsang (misalnya pada kulit) maka impuls nosiseptif (nyeri) dihantarkan ke SSP oleh dua tipe neuron yang berbeda yaitu serabut saraf A-delta dan serabut saraf C. Serabut A-delta berdiameter besar, bermielin dan hantarannya cepat, yang menghantarkan nyeri “pertama” yaitu rangsang benda tajam, tusukan dan trauma/cedera/luka. Serabut C diameternya kecil, tidak bermielin dan hantarannya lambat, yang bertanggungjawab untuk hantaran nyeri “kedua” yaitu tumpul, sakit dan nyeri visera. Neuron sensoris aferen primer kemudian masuk ke medulla spinalis dan bersinap pada neuron-neuron di kornu dorsalis. Neuron-neuron tingkat kedua yang berasal dari kornu dorsalis mempunyai akson panjang yang menyilang kommissura anterior dan berjalan ke atas pada jalur anterolateral kontralateral (dan disebut traktus spinotalamik). Beberapa dari akson-akson panjang yang bersinap dengan neuron tipe C tidak menyilang tetapi berjalan ke kranial melalui jalur spinal anterolateral ipsilateral. Serabut-serabut jalur spinal anterolateral berakhir di talamus, dimana pada talamus ini keluar proyeksi ke pusat-pusat SSP lainnya dan ke korteks sensoris. Pusat-pusat yang lebih tinggi ini bertanggungjawab untuk persepsi nyeri serta komponen emosional yang menyertainya.
Terdapat empat proses pada jalur sensoris, yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi (perhatikan gambar 1). Masing-masing proses tersebut merupakan sasaran dari terapi analgetik. Oleh karena itu fisiologinya akan dijelaskan secara terinci berikut ini.
1. Transduksi
Nosiseptor, yaitu reseptor-reseptor nyeri memberikan respon yang selektif terhadap stimulus nyeri dan mengubah energi kimia, mekanik, dan energi termal pada tempat perangsangan menjadi impuls saraf, dimana proses ini disebut transduksi. (perhatikan gambar 2). Nosiseptor aferen primer adalah cabang-cabang terminal (ujung-ujung)) serabut A-delta dan serabut C yang badan sel sarafnya terletak pada ganglion radiks dorsal. Mendel telah membuat klasifikasi fungsi serabut saraf nosiseptor. Neuron-neuron dengan lingkup dinamika luas (neuron WDR) adalah neuron-neuron yang menerima input dari rangsang nyeri dan rangsang non-nyeri dan memberikan respon yang bertingkat (yaitu dapat meningkatkan level eksitasinya ketika level rangsangan meningkat). Neuron-neuron ambang tinggi (neuron HT) yaitu neuron-neuron yang hanya teraktivasi oleh stimulus nyeri (stimulus HT), dan neuron-neuron ambang rendah (neuron LT) yang hanya teraktivasi oleh rangsang non-nyeri (stimulus LT).
Apabila serabut A-delta dan serabu C diaktivasi dengan stimulus kuat yang singkat yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan, maka nyeri sementara yang terasa berperan sebagai peringatan fisiologis. Akan tetapi apabila nosiseptor diaktivasi dengan stimuli nyeri akibat luka cedera jaringan atau infeksi, maka terjadi respon cedera regional di perifer. Zat-zat kimia dan enzim akan dilepaskan dari jaringan yang rusak; meningkatkan transduksi stimuli nyeri. Prostanoid (prostaglandin, leukotrin dan asam hidroksida) adalah produk jalur reaksi asam arakidonat dan merupakan mediator-mediator utama hiperalgesia yang menyertai peradangan. Prostaglandin (PG) dan leukotrin menyebabkan sensitisasi reseptor perifer, menurunkan ambang rangsangnya, dan meningkatkan respon terhadap stimuli. Kinin, misalnya bradikinin dan kailidin lainnya mempunyai banyak fungsi pro-inflamasi, seperti pelepasan PG, sitokinin, dan radikal-radikal bebas dari berbagai sel; degranulasi sel mast dan pelepasan histamin; dan stimulasi neuron simpatis untuk mengubah kaliber/ukuran pembuluh darah. Kinin juga berkontribusi pada ekstravasasi plasma dengan cara menimbulkan kontraksi sel endotel pembuluh darah. Bradikinin dan PG terutama PGE2 merangsang neuron secara langsung, memulai hantaran impuls nyeri di sepanjang jalur nosiseptif. Dilatasi pembuluh darah perifer dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah disebabkan oleh pelepasan substansi P akibat refleks akson saraf yang cedera. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah tersebut yang diikuti oleh pelepasan mediator-mediator vasoaktif dari sel mast akan menimbulkan peradangan (udem neurogenik). Peningkatan permeabilitas pembuluh darah juga mengakibatkan ekstravasasi zat-zat algogenik (zat yang menimbulkan nyeri) misalnya histamin dan serotonin. Histamin juga dapat dilepaskan dari sel mast ketika mengalami degranulasi, dimana degranulasi sel mast dipicu oleh substansi P, kinin, interleukin 1 dan nerve growth factor (NGF). Histamin bekerja pada neuron sensoris untuk menghasilkan nyeri dan rasa gatal. Stimulasi neuron sensoris oleh histamin dapat menyebabkan pelepasan neuropeptida dan PG yang kemudian akan semakin memperberat peradangan dan hiperalgesia. Serotonin (5-HT) adalah mediator inflamasi utama khususnya pada fase awal respon inflamasi. Setelah dilepaskan dari sel mast dan platelet pada saat terjadi cedera/luka atau peradangan, 4 HT akan mengaktivasi langsung neuron sensoris melalui aktivasi reseptor 5 HT tipe 3 (5=HT3). Impuls nosiseptif yang mengaktivasi sistem saraf simpatis akan memicu pelepasan norepinefrin yang kemudian pada gilirannya akan meningkatkan aktivasi nosiseptor sehingga menciptakan lingkaran setan. Spesies oksigen reaktif (SOR) seperti misalnya hidrogen peroksida, spesies superoksida, dan spesies hidroksil dihasilkan oleh jaringan selama peradangan. Zat-zat ini juga terbukti dapat meningkatkan efek bradikinin, PGE2 dan mediator inflamasi, serupa dengan sinergi zat–zat algogenik lainnya seperti PG, bradikinin dan 5-HT .
GAMBAR 1. Gambar diagram empat proses yang terlibat dalam jalur-jalur sensoris yaitu: transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Neuron-neuron afferen primer menghantarkan informasi dari perifer ke kornu dorsal medulla spinal. Informasi afferen kemudian dihantarkan melalui traktus spinotalamik oleh neuron-neuron tingkat dua ke talamus dan ke korteks sensorik. Serabut-serabut inhibitoris desenden (garis terputus-putus) memodulasi input afferen pada kornu dorsal. Juga terlihat obat-obatan yang bisa memodifikasi input sensoris pada keempat proses tersebut.
GAMBAR 2. Skema proses transduksi dan proses pelepasan mediator-mediator inflamasi yang mengakibatkan sensitisasi nosiseptor di perifer.
GAMBAR 3. Skema proses transmisi oleh serabut-serabut afferen primer (serabut A delta dan serabut C) dari perfer ke kornu dorsal medulla spinal. Keseimbangan antara pelepasan neurotransmitter eksitatoris dengan neurotransmitter inhibitoris akan menentukan intensitas informasi afferen dan keadaan sensitisasi yang terjadi setelah cedera perifer.
Secara singkat, aktivitas dan sensitivitas neuron sensoris akan diubah oleh mediator-mediator yang dilepaskan akibat cedera atau luka jaringan dan peradangan. (Perhatikan Gambar 2). Mediator-mediator inflamasi tersebut akan meningkatkan sensitivitas atau kepekaan nosiseptor, udem neurorogenik dan hiperalgesia jaringan di sekitar cedera atau luka. Perubahan yang kompleks pada pemprosesan signal perifer ini akan mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri, perubahan kualitas dan durasi nyeri, dan akan mengakibatkan perubahan pemprosesan nyeri sentral sehingga terjadi keadaan nyeri kronik.
2. Transmisi di kornu dorsal
Ketika transduksi signal sudah terjadi maka impuls dihantarkan melalui serabut A-delta dan serabut C kornu dorsal medulla spinal (Perhatikan Gambar 3). Serabut saraf tersebut bersinap pada lapisan superfisial lamina Reksa: sinaps serabut A-delta pada lamina I, II dan V; sinaps serabut C pada lamina I dan II. Batas lamina-lamina tersebut tidak jelas. Selain itu juga terdapat banyak overlapping tipe sel neuon antara lamina sehingga setiap lamina mengandung lebih dari satu tipe neuron. Berbagai neurotransmitter dilepaskan oleh neuron co-nosiseptif tingkat satu diantaranya adalah substansi P yaitu suatu neurokinin yang dilepaskan oleh serabut-serabut HT. Peptida gen kalsitonin (GRT) juga dilepaskan bersama-sama dengan substansi P dan akan memperluas zona pelepasan substansi P pada medulla spinal yang berkontribusi terhadap peningkatan eksitabilitas. Kemudian substansi P memicu pelepasan asam amino eksitatoris misalnya aspartat dan glutamat yang bekerja pada reseptor AMP (2–amino-3-hidroksi-5-metil-isoksazol propionat) dan reseptor-reseptor NMDA (N- metil-D-aspartat). Peningkatan transmisi sinap yang disebabkan oleh asam amino eksitatoris setelah pelepasan substansi P akan memicu peningkatan yang terus menerus pelepasan glutamat atau NMDA oleh neuron kornu dorsal. Peningkatan depolarisasi ini akan menyebabkan peningkatan pelepasan neurokin ke dalam postsinaptik yang akan memicu perubahan yang persisten pada eksitabilitas sel. Istilah “wind-up” telah digunakan untuk menjelaskan peningkatan eksitabilitas dan sensitisasi sel-sel kornu dorsal yang dipicu oleh mekanisme tersebut di atas. (Perhatikan Gambar 3). Selain menyebabkan “wind-up,” stimulasi nyeri berulang pada kornu dorsal dapat mengakibatkan peningkatan jumlah neuron pada lamina I dan lamina II yang mempunyai inti yang mengekspresikan protein C-fos yaitu sebuah protein yang diduga terlibat pada ingatan tentang nyeri. Pemberian morfin sebelumnya akan mengurangi jumlah sel-sel yang mengekspresikan C-fos. Ini menunjukkan bahwa dengan mencegah jalan masuk signal-signal pemicu ke sistem saraf pusat dapat mengatenuasi atau mengurangi peningkatan sensitifitas terhadap stimuli nyeri dan mengurangi hiperalgesia dan produksi nyeri oleh stimuli non-nyeri (yaitu allodinia) yang menyertai cedera/luka jaringan.
3. Persepsi
Serabut afferen nosiseptik tingkat dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medulla spinal yang memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang bertanggung-jawab untuk pengolahan informasi nosiseptik. Seperti dijelaskan sebelumnya, sebagian besar serabut-serabut asenden akan menyilang di dalam traktus spinotalamik sebelum berjalan ke kranial. Sebagian besar neuron yang terdapat pada traktus spinotalamik adalah neuron-neuron WDR atau neuron-neuron HT yang akan berjalan melalui pons, medulla oblongata dan otak tengah untuk berakhir pada area tertentu di talamus. Dari talamus, informasi aferen akan di bawa ke korteks somatosensoris. Trakrus spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini bertanggungjawab untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi nyeri dan respon-respon emosional yang menyertainya. Formasio retikularis kemungkinan bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi dan peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. Aktivasi struktur supraspinal diperantarai oleh asam amino eksitatoris tetapi neurotransmiter yang terlibat pada pengolahan informai nosiseptif di sentral belum diketahui dengan jelas.
Terapi analgetik konvensional ditujukan pada komponen persepsi nyeri pada jalur-jalur analgesi. Area tertentu, misalnya nukleus giganto-selularis retikularis yaitu suatu nukleus tempat neuron-neuron tingkat dua nosiseptif berakhir akan tertekan oleh anastesi umum dan analgesi opioid. Terlepas dari fakta ini, terapi konvensional dengan opioid keberhasilannya bervariasi karena kurangnya spesifisitas ikatan opioid parenteral dan opioid oral. Dengan semakin meniungkatnya pemahaman tentang jalur-jalur nyeri dan proses-proses yang terlibat di dalamnya, sekarang telah diketahui bahwa cara yang paling baik untuk mengatasi nyeri adalah dengan menggunakan beberapa obat analgetik di mana setiap obat akan bekerja pada lokasi spesifik di sepanjang jalur-jalur nyeri. Pendekatan seperti ini akan mengurangi pemilihan obat tunggal sehingga efek sinergi obat-obat kombinasi dapat mengurangi efek samping yang dapat ditumbulkan oleh obat analgetik tunggal dosis tinggi.
4. Jalur-jalur efferen dan modulasi nyeri
Pada awal abad kedua puluh, Sherrington menekankan pentingnya interaksi antara sistem eksitatoris dan sistem inhibitoris saraf pada pengolahan informasi sensoris yang masuk oleh otak. Sekarang ini diketahui bahwa jalur-jalur efferen membantu untuk memodifikasi informasi nosiseptik afferen. Jalur saraf efferen yang terlibat dalam modulasi nyeri adalah: traktus kortikospinal yang berasal dari korteks motorik dan bersinap pada lamina Reksa III-IV; efferen hipotalamik yang muncul dari hipotalamus dan bersinap pada otak tengah, pons, medulla oblongata dan lamina Reksa I; serabut-serabut efferen yang luas yang berasal dari substansi grisea periakueduktal di otak tengah dan nukleus raphe magnus di medulla yang menuju ke kornu dorsal. Stimulasi eferen ini (serabut desenden) dapat memodulasi hantaran nosiseptik di perifer, di medulla spinal dengan mengubah pelepasan neurotransmiter, atau di supraspinal dengan mengaktivasi jalur-jalur inhibitoris (perhatikan Gambar 1). Telah diketahui bahwa norepiefrin, serotonin dan opiat-like substance (endorfin) terlibat dalam jalur-jalur inhibitoris batang ortak yang memodulasi nyeri pada medulla spinal.
Gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin adalah dua neurotransmitter yang terpenting bekerja pada kornu dorsal Blokade GABA atau glisin medulla spinal akan mengakibatkan allodinia dengan membuang inhibitor yang mengontrol reseptor NMDA. Oleh karena itu kegagalan inhibisi spinal berperan penting dalam etiologi nyeri nuropati. Selain itu, apabila terdapat peradangan perifer maka akan terlihat efek yang sebaliknya: Up-regulasi (peningkatan) reseptor GABA spinal akan memicu penghambatan impuls nosiseptik afferen dan menurunkan sensasi.rasa nyeri. Oleh karena itu sensitivitas reseptor GABA spinal dapat bervariasi pada keadaan yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan modulasi informasi nosiseptik.
Neurotransmiter lainnya yaitu somatostatin ditemukan dalam sel-sel ganglion radiks dorsal dan pada terminal atau ujung aferen kornu dorsal medulla spinal. Tampaknya neurotransmiter ini dilepaskan sebagai respon terhadap stimuli nyeri, yaitu mengakibatkan hiperpolarisasi dan penurunan level eksitasi neuron kornu dorsal. Akan tetapi walaupun tampaknya mempunyai sifat-sifat analgetik yang bermanfaat, pemberian somatostatin intratekal juga dapat mengakibatkan kelemahan motorik dan paralisis pada dosis yang melebihi dosis analgetik. Oleh karena itu diperlukan studi berikutnya untuk mengevaluasi peran peptida ini sebagai antinosiseptik.
Galanin banyak ditemukan pada serabut-serabut afferen nosiseptik primer dan diduga sebagai peptida inhibitor. Seringkali galanin berlokasi bersama-sama dengan substansi P dan CGRP. Akan tetapi sebelum dapat dibuat antagonisnya maka peran pasti galanin pada transmisi nosiseptik sulit untuk dipastikan.
III. Mekanisme hipersensitivitas
Transmisi nyeri dari jaringan perifer melalui medulla spinal ke otak bukan proses yang sederhana dengan jalur khususnya masing-masing, tetapi tegantung pada keseimbangan antara sistem saraf eksitatoris denga sistem inhibitoris.
Cedera/luka jaringan perifer dapat memodifikasi respons sistem saraf pada dua lokasi yaitu; sensitisasi perifer yang akan mengakibatkan penurunan ambang rangsang ujung aferen perifer nosiseptik, dan sensitisasi sentral yaitu peningkatam eksitabilitas neuron spinal. Setiap proses ini berkontribusi terhadap keadaan hipersensitifitas pasca trauma yang terjadi setelah operasi. Keadaan ini bermanifestasi sebagai peningkatan respon terhadap stimuli nyeri dan penurunan ambang nyeri. Sekarang telah terbukti bahwa medan reseptor sel-sel kornu dorsal tidak tetap, dan dapat mengalami sejumlah perubahan. Perubahan ini meliputi perubahan ukuran dan lokasi reseptor perifer (komponen spatial), perubahan sensitifitas terhadap stimuli yang berbeda (komponen ambang), perubahan selektifitas reseptor terhadap stimuli mekanik, stimuli termal atau stimuli kimia (Komponen sensitivitas modalitas), atau perubahan aktifitas reseptor terhadap timing stimulus (komponen temporal). Hiperalgesia primer berarti perubahan medan reseptor dalam area cedera sedangkan hiperalgesi sekunder berarti perubahan jaringan yang tidak rusak di sekitar jaringan yang rusak. Selain itu terdapat perubahan yang bertanggung-jawab untuk mispersepsi (kesalahan persepsi) nyeri sebagai respon terhadap stimuli non-nyeri (yaitu allodinia). Hiperalgesi primer terjadi karena sensitisasi nosiseptor perifer sedangkan hiperalgesi sekunder disebabkan oleh perubahan pengolahan input nosiseptor oleh SSP yang berasal dari jaringan perifer.
Nyeri klinik bisa dibagi atas dua karakter yaitru: nyeri inflamasi/radang akibat trauma jaringan perifer (misalnya akibat insisi bedah, disseksi/pemotongan, luka bakar dll), dan nyeri neuropati yang disebabkan oleh cedera langsung pada jaringan saraf (misalnya transeksi atau pemotongan saraf). Kedua jenis cedera ini akan mengakibatkan perubahan jangka panjang pada sensitifitas sistem saraf, sehingga intensitas stimuli berikutnya yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri berkurang.
IV. Modalitas sifat-sifat farmakologi
Analgesi pre-emptif adalah terapi antinosiseptif yang ditujukan untuk mencegah sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral sehingga mengatenuasi atau mengurangi (idealnya mencegah) amplifikasi atau peningkatan rasa nyeri postoperatif. Pengobatan dapat ditujukan pada lokasi perifer, pada input-input di sepanjang akson sensoris, atau pada sistem saraf pusat dengan menggunakan analgetik tunggal atau analgetik kombinasi yang diberikan baik secara kontinyu maupun secara intermitten.
V. Anestesi regional
Blok afferen semua impuls khususnya impuls nosiseptik sebelum dilakukan insisi bedah penting pada konsep analgesia pre-emptif. Ini dapat diperoleh melalui infiltrasi lokal untuk prosedur superfisial, anestesi saraf perifer atau anestesi pleksus, atau blok neuraksial sentral. Yang penting adalah fakta bahwa analgesi yang efektif bukan hanya diberikan sebelum insisi bedah tetapi harus diteruskan sampai ke periode postoperasi. Waktu pemberhentian pemberian obat anestetik lokal harus dinilai berdasarkan penyembuhan luka atau derajat tendernes yang diharapkan. Penghentian blok regional ketika input aferen masih ada akan memperlambat atau menunda onset nyeri bedah sampai setelah efek farmakologi anestetik lokal berkurang. Pada pasien-pasien degan sensitisasi sentral yang telah ada sebelumnya, maka dilakukan blok regional agar dapat bekerja lebih lama untuk memperoleh level input nosipseptik yang lebih rendah. Seringkali anestesi regional dikombinasi dengan terapi adjuvan pada periode pasca bedah.
VI. Obat-obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID/AINS)
Sensitisasi perifer yaitu terjadinya peningkatan sensititivitas neuron-neuron sensoris perifer HT disebabkan oleh pajanan/paparan ujung-ujung saraf sensoris oleh zat-zat algogenik dan mediator-mediator yang dilepaskan secara lokal pada lokasi cedera. Tujuan dari pengobatan adalah untuk mencegah pelepasan (atau untuk menginaktifkan) berbagai neurotransmitter dan mediator-mediator inflamasi, yang mensensitisasi nosiseptor perifer. Dengan mengurangi sintesis prostaglandin atau PG, maka inhibitor-inhibitor siklooksigenase akan menghambat respon pelepasan mediator-mediator inflamasi endogen, dengan efek yang lebih besar pada jaringan yang telah mengalami cedera atau trauma. NSAID mempunyai sifat-sifat kimia yang berbeda-beda tetapi mekanisme kerjanya adalah penghambatan sensitisasi nosiseptor yang diperantarai oleh PG oleh iritan-iritan kimia dan iritan-iritan mekanik. Selain itu stabilisasi membran oleh NSAID dapat menyebabkan penurunan pelepasan prostaglandin pada konsentrasi yang cukup untuk penghambatan yang efektif terhadap siklooksigenase. Glkuokortikoid, antidepresan trisiklik, anti aritmia dan anestetik lokal berkerja dengan mekanisme yang serupa, dimana semua ini juga mempunyui efek stabilisasi membran (mempunyai sifat MSA atau Membrane-Stabilizing Activity). Jaringan saraf sentral juga mensintesis prostaglandin dan NSAID yang diberikan secara spinal menunjukkan pengurangan hiperalgesia. Sejauh mana kerja NSAID di sentral yang berkontribusi terhadap efek analgesik ketika diberikan NSAID sistemik belum diketahui. Tampakya selain efeknya pada sintesis prostaglandin, NSAID tertentu juga mempengarushi aktivitas zat-zat neuroaktif lainnya misalnya 5-HT, asam kinurenik dan poliamin yang diduga berperan penting dalam pengolahan input nosiseptor di kornu dorsal.
VII. Opioid
Pada medulla spinalis, modulasi input aferen dapat dilakukan melalui penurunan pelepasan neurotransmitter, penghambatan reseptor postsinaptik (karena memblok efek neurotransmiter), atau dengan mengaktifkan jalur-jalur inhibitoris. Reseptor opioid adalah lokasi utama produksi efek analgesi dan studi-studi dewasa ini menunjukkan bahwa opioid spinal dapat dikurangi atau ditingkatkan pada berbagai keadaan. Lamina I dan substansi gelatinosa pada kornu dorsal yaitu Zona dimana serabut-serabut C berakhir, mempunyai konsentrasi reseptor opioid yang tertinggi pada medulla spinal. Sekitar 70% dari seluruh reseptor opioid pada medulla spinal adalah reseptor subtipe mu, sekitar 24 % adalah reseptor delta dan sekitar 6% adalah reseptor tipe kappa. Reseptor-reseptor ini pada manusia belum pernah diteliti tetapi studi biologi molekuler memperlihatkan kesamaan reseptor opioid pada manusia dengan reseptor opioid pada binatang coba di laboratorium. Sebagian besar reseptor mu pada medulla spinal ditemukan di presinaptik pada terminal nosiseptik afferen. Opioid yang bersifat agonis mu atau agonis delta menyebabkan penurunan pelepasan neurotransmitter afferen primer dari serabut C (substansi P dan glutamat). Opioid juga menghambat pelepasan CGRP. Tingginya konsentrasi reseptor opioid pada presinatik serabut C yang berkebalikan dengan konsentrasi reseptor opioid pada ujung seerabut A delta mengakibatkan efek selektif opioid spinal ketika muncul impuls nyeri. Lapisan medulla spinal yang lebih dalam mengandung relatif lebih sedikit reseptor opioid. Reseptor opioid yang ada diduga berlokasi pada sirkuit nosiseptif. Apabila distimulasi maka reseptor opioid presinaptik ini mengalami hiperpolarisasi membran neuron kornu dorsal sehingga mengurangi aktivitas pada jalur-jalur nosiseptik. Penelitian terhadap agonis reseptor opioid delta terutama menyelidiki potensinya sebagai analgetik dengan efek samping yang sedikit, tidak seperti efek samping yang ditimbulkan oleh morfin (efek samping morfin cukup berat). Akan tetapi pengalaman dengan agonis reseptor kappa sampai sekarang ini masih mengecewakan.
Injeksi supraspinal agonis mu dan agonis delta akan menghasilkan analgesi yang sensitif terhadap nalokson walaupun mekanisme tepatnya bagaimana aktivasi reseptor mu secara supraspinal masih belum diketahui. Peran pasti dari reseptor kappa untuk memproduksi analgesi supraspinal, masih menjadi subjek perbedaan pendapat, dengan banyaknya pendapat yang bertentangan dalam literatur-literatur.
Opioid juga bekerja di perifer sebagai analgetik Agonis reseptor mu dapat mencegah sensitisasi nosiseptor yang dapat dipicu oleh mediator-mediator inflamasi misalnya prostaglandin E2 (PGE2). Reseptor delta dan reseptor kappa diduga berlokasi pada saraf simpatis yang memperantarai analgesi perifer dengan cara menghambat pelepasan zat-zat yang mensensitisasi nosiseptor yang dirangsang oleh bradikinin pada nerve ending (ujug dsaraf). Oleh karena itu opioid bekerja di supra spinal, di spinal dan di perifer untuk menghasilkan efek analgesi sehingga dapat mengurangi sensitisasi sentral dan sensitisasi perifer.
VIII. Antagonis Reseptor NMDA
Terdapat banyak reseptor NMDA pada medulla spinal manusia sehingga kondisi yang diperlukan untuk stimulasi cukup kompleks yang hanya dapat diperoleh melalui aktivasi serabut C berulang-ulang. Apabila stimulus serabut C dipertahankan atau frekuensenya dan intensitasnya cukup, maka reseptor NMDA akan teraktivasi dan hasilnya adalah amplifikasi atau peningkatan atau perpanjangan respon. Hal inilah yang mendasari mekanisme hiperalgesia sentral. Nyeri radang yang berkepanjangan, tidak seperti dengan nyeri akut, sensitif terhadap antagonis NMDA. Karena reseptor NMDA telah digunakan (dijadikan sasaran terapi) dalam penanganan nyeri patologis kronik, maka antagonis NMDA misalnya ketamin atau dekstrometorfan telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropati yang sensitif terhadap opioid dan nyeri kanker. Antagonis NMDA tidak mempunyai efek pada input afferen pada kornu dorsal tetapi dapat menghilangkan fenomena “wind-up” sehingga dapat mengubah respon nosiseptik yang berlebihan menjadi respon yang normal. Opioid dan antagonis NMDA dapat digunakan secara sinergis dan kombinasinya menunjukkan respon inhibisi nosiseptif yang cukup nyata. Ketamin adalah antagonis NMDA pada dosis subanestetik oleh karena itu mempunyai kemampuan untuk mencegah hipersensitivitas sentral pada dosis yang tidak menimbulkan efek analgetik secara langsung. Anastetik lokal yang diberikan secara spinal juga bekerja sinergis denga morfin dalam memodulasi nosiseptik dengan cara menghambat serabut afferen dan mengurangi eksitabilitas neuron sehingga mengurangi aktivitas yang diperantarai oleh NMDA.
IX. Anatagonis reseptor alfa 2
Analgesi juga dapat dihasilkan melalui perangsangan reseptor adrenergik alfa 2 di medulla spinal dan pada pusat-pusat yang lebih tinggi. Reseptor-reseptor ini dapat diaktivasi oleh jalur–jalur noradrenergik desenden atau oleh senyawa-senyawa eksogen misalnya epinefrin, klonidin atau deksmedetomidin. Studi-studi menunjukkan bahwa agonis alfa 2 mempunyai respon analgetik yang poten, dan potensinya dapat ditingkatkan dengan pemberian bersama opioid. Agonis alfa 2 dan opioid mempunyai kerja analgetik pada reseptor tersendiri. Toleransi silang bisa terjadi antara kedua kelompok obat tersebut. Agonis alfa 2 juga terbukti dapat mengurangi efek fisiologis dan psikologis dari penghentian penggunaan opioid (opioid withdrawal). Mekanisme pasti bagaimana agonis alfa 2 menghasilkan analgesi masih belum diketahui, walaupun diduga bahwa pelepasan asetilkolin turut berperan dalam hal ini.
X. Obat-obat lainnya
Berbagai obat lainnya menunjukkan sifat-sifat analgetik dan dapat digunakan untuk menghasilkan analgesi pre-emptif baik secara tunggal atau dalam bentuk kombinasi.
Kolesistokinin (CCK) secara selektif dapat mengurangi efek analgetik morfin pada lokasi spinal dan supraspinal. Tampaknya CCK bekerja sebagai kontrol endogen pada level analgesi mu. Up regulasi (peningkatan) reseptor-reseptornya akan mengakibatkan berkurangnya efek analgesi pada beberapa model nyeri neuropati, dan jika konsentrasi CCK diturunkan maka inflamasi akan mengakibatkan peningkatan efek pada reseptor mu. Oleh karena itu antagonis reseptore CCK dapat meningkatkan efek analgetik opioid.
Telah dibuktikan bahwa aktivasi reseptor NMDA akan mengakibatkan pembentukan nitrat oksida (NO). Penghambatan enzim yang bertanggung-jawab untuk sintesis NO bersifat antinosiseptif dan memberikan harapan dimasa mendatang untuk penanganan nyeri. Akan tetapi masih perlu ditentukan apakah reseptor GABA dapat dijadikan sasaran terapi analgetik pada masa yang akan datang.
Pemberian antagonis bradikinin, antagonis histamin dan antagoinis serotonin dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya udem neurogenik akibat sensitisasi reseptor. Akan tetapi mekanisme aktivitas saraf perifer yang menyebabkan hiperalgesia masih belum dimengerti sepenuhnya. Peran dari mediator -mediator yang baru ditemukan dan mediator-mediator perifer yang bekerja lebih lama misalnya nerve growth factor (NGF), sitokin dan katekolamin yang dihasilkan oleh ujung saraf simpatis serta bradikinin, serotonin, dan prostanoid masih menunggu penelitian.
Sehubungan dengan hal tersebut, perhatian difokuskan pada sistem saraf pusat untuk mencari alternatif proses-proses yang dapat dimodifikasi secara farmakologi digabung dengan sifat-sifat kerja di perifer untuk mengoptimalkan analgesi. Monoamin re-uptake inhibitor dapat meningkatkan efek antinosiseptik yang ditimbulkan oleh opioid sistemik. Pemberian kolinesterase intratekal misalnya neostigmin dapat menghasilkan efek analgesi poten dan dapat secara sinergis meningkatkan efek antinosiseptik morfin dan klonidin. Asetilkolinesterase tampaknya mempunyai aksi analgetik karena aksi muskariniknya, yang berlawanan dengan aksi nikotinik (agonis muskuranik, tetapi bukan agonis nikotinik), berfungsi sebagai analgetik jika diinjeksikan intratekal. Amitriptilin, antidepresan trisiklik, dapat meningkatkan efek antinosiseptik opioid sistemik dan neostigmin intratekal. Zat –zat pembuka kanal kalium misalnya minoksidil juga terbukti menghasilkan antinosiseptik jika diberikan intratekal. Pemberian analog adenosin intratekal menghasilkan efek antinosiseptik. Efek ini dapat dihambat dengan pemberian penghambat reseptor adenosin, misalnya metilxantin. Apa peran obat-obat ini dalam mengatas nyeri masih memerlukan uji klinik dan kemungkinan akan menjadi fokus utama penelitian pada bidang ini.
cukup menarik n lengkap .... ;)
BalasHapusthnx buat infonya...
tp refrnsi'a dari mna aj y.... biar lebih trjamin k' valid-an nya... _^