Rabu, 25 Maret 2009

Ectopic Pregnancy (Kehamilan Ektopik Terganggu)

CASE REPORT - dr. Junaidi Malik

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 35 tahun
RM : 000000
Rumah Sakit : RSUD Labuang Baji
Status : Menikah
Alamat : Jln. ………
Suku : Bugis
Agama : Islam
Pendidikan : -
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tgl MRS : 8 Novenber 2008
Tgl KRS : 13 November 2008

II. ANAMNESIS
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut
Anamnesis Terpimpin: Ibu Masuk Rumah Sakit dengan keluhan nyeri perut menyeluruh sejak kemarin malam. Nyeri perut muncul secara tiba-tiba. Riwayat perdarahan pervaginam (+) sejak sore pukul 16.00. jumlahnya tidak diketahui dengan jelas. Riwayat keputihan (+). Riwayat tes kencing belum pernah. Riwayat diurut-urut di dukun disangkal, Riwayat trauma (-), Riwayat minum obat pelancar haid (-), , Riwayat Koitus (-). Riwayat HT (-), DM(-), Asma (-), Alergi (-)

Riwayat haid
• HPHT : 7/ September / 2008
• Menarke : 14 Tahun
• Siklus Haid : 29-30 Hari
• Lama Haid : 5-6 hari
• Dismenore : +
Riwayat Obstetri
• GPA : GIIPIA0
I. 1991, ♀, 2900 gr, Di rumah, dukun, PPN
• Riwayat penyakit sebelumnya : -
• Riwayat operasi sebelumnya : -
• Riwayat KB : -

III. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis : Lemah, sadar
Status vitalis
• Tekanan darah : 100/70 mmHg
• Nadi : 60x/i
• Pernafasan : 20x/i
• Suhu : 37,80C
Status regional
Kepala : mesosefal, konjunctiva anemis(+), sclera Ikterus(-)
Leher : Deviasi trakea (-), massa tumor (-), nyeri tekan (-), pemebesaran kelenjar (-)
Thorak
• Inspeksi : simetris kiri =kanan
• Palpasi : Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
• Perkusi : Sonor kiri=kanan, batas paru hepar ICS IV kanan
depan
• Auscultasi : bunyi pernafasan vesikuler, bunyi tambahan (-)

Jantung
• Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : Batas jantung kesan normal
• Auscultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising jantung (-)

Abdomen : Status obstetri
Genitalia : Status Obstetri

IV. STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan luar
TFU : sulit dinilai
Massa tumor : (-)
Nyeri Tekan : (+) seluruh perut terutama bagian bawah
Fluksus : (+) darah

Pemeriksaan Dalam
Vulva : tidak ada kelainan
Vagina : tidak ada kelainan
Portio : Lunak, Tebal, nyeri goyang portio (+)
OUE/OUI : terbuka / tertutup
Uterus : Anteflexi, Kesan membesar
Adnexa : tak ada kelainan
Cavum douglasi : Bombans
Pelepasan : darah (+)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin 8 November 2008
Leukosit : 17900/ul
Eritrosit : 333000 /ul
HCT : 28,33 %
Trombosit : 303.000 /mm3
Haemoglobin : 8,3 g/dl

Kuldosintesis 8 November 2008
Hasil : (+)

Plano tes 8 November 2008
Hasil : (+)

USG Obstetri 8 November 2008
- Uterus ukuran dalam batas Normal
- Terdapat massa kompleks di axial uterus dan tampak gestational sac dengan fetal pole
Kesan : Kehamilan Ektopik Terganggu

VI. DIAGNOSIS KERJA
Kehamilan Ektopik Terganggu

VII. PERJALANAN PENYAKIT DAN INSTRUKSI DOKTER
TANGGAL / JAM PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER
8/11/ 2008

08.30



















































18.50

















22.45 GIIPIA0 HPHT: 7/9/2008

Ibu Masuk Rumah Sakit dengan keluhan nyeri perut menyeluruh sejak kemarin malam. Nyeri perut muncul secara tiba-tiba. Riwayat perdarahan pervaginam (+) sejak sore pukul 16.00. jumlahnya tidak diketahui dengan jelas. Riwayat keputihan (+). Riwayat tes kencing belum pernah. Riwayat diurut-urut di dukun disangkal , Riwayat trauma (-), Riwayat minum obat pelancar haid (-), , Riwayat Koitus (-). Riwayat HT (-), DM(-), Asma (-), Alergi (-)
Status generalis : Lemah, sadar
Status vitalis
• Tekanan darah : 100/70 mmHg
• Nadi : 60x/i
• Pernafasan : 20x/i
• Suhu : 37,80C
Pemeriksaan luar
TFU : sulit dinilai
Massa tumor : (-)
Nyeri Tekan : (+) seluruh perut terutama bagian bawah
Fluksus : (+) darah

Pemeriksaan Dalam
Vulva vagina : tidak ada kelainan
Portio : Lunak, Tebal
Nyeri goyang portio : (+)
OUE/OUI : terbuka / tertutup
Uterus : Anteflexi, Kesan membesar
Adnexa : tak ada kelainan
Cavum douglasi : Bombans
Pelepasan : darah (+)


Hasil Laboratorium
Leukosit : 17900/ul
Eritrosit : 333000 /ul
HCT : 28,33 %
Trombosit : 303.000 /mm3
Haemoglobin : 8,3 g/dl

USG Obstetri :
- Uterus ukuran dalam batas Normal
- Terdapat massa kompleks di axial uterus dan tampak gestational sac dengan fetal pole
Kesan : Kehamilan Ektopik Terganggu

Kuldosintesis (+)





Pre Operasi Visite Anestesi
T : 100/60 mmHg
N : 96 x/menit
P : 24x/menit
S : afebris
Lab : HB : 8,3 gr/dl
HCT : 28,3 %
WBC :17900
Kesimpulan :
Pasien termasuk PS ASA IIE
Rencana Anestesi SA II

Laporan Operasi
Nama ahli bedah: dr.Nursanty, Sp.OG(K)
Asisten I : dr. Edy A
Asisten II : dr. Ferry
Assisten III : dr. Liliani
D/ Pre Op : KET
D/ Post Op : Ruptur tuba kiri pars ampularis
Tindakan : Salpingoooforektomi Kiri

1. Pasien terbaring terlentang dengan infus di tangan kiri dengan pengaruh spinal anastesi
2. Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan daerah sekitarnya
3. Pasang doek steril, tutup seluruh tubuh dengan doek steril kecuali lapangn operasi dan muka
4. Insisi pfannenstiel ± 12 cm perdalam secara tajam dan tumpul hingga mencapai peritonium
5. Buka peritonium tampak darah dan stoolsel ± 1000 cc, tampak ruptur tuba kiri pars ampullaris
6. Lakukan salpingektomi tuba kiri
7. Kontrol perdarahan, perdarahan (-)
8. Tuba kanan dan ovarium kanan dalam batas normal, ovarium kiri dalam batas normal
9. Cuci cavum peritoneum dengan NaCl 0,9 % sampai bersih
10. Kontrol pendarahan, perdarahan (-)
11. Jahit abdomen lapis demi lapis
12. Jahit kulit subkutikuler
13. Operasi selesai

Instruksi Post Operasi
1. Awasi tanda vital dan KU pasien tiap 15 menit sampai pasien sadar betul
2. IVFD RL:D5% = 2:1  28 tpm
3. Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IVskin test
4. Drips Metronidazole 0,5 gr/8jam/IV
5. Inj. Ketorolac 30 mg ampul/8 jam/IV
6. Inj. Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV
7. Inj. Transamin 1 ampul/8 jam/IV
8. Takar urin dan hitung balance cairan sampai 24 jam post operasi
9. Cfek Hb 2 jam post operasi, bila Hb<8 transfusi WB 2 bag - Anjuran Lab
Darah rutin, GDS, CT, BT, Plano Test
- IVFD RL 28 tpm
- Inj Cefotaxime 2gr/12jam/IV
- USG Obstetri
- Kuldosintesis















































Dx : KET
Lapor Konsulen Obgin RSLB Advis : Laparotomi



R/
- Stop intake oral
- Bawa obat anestesi ke OK
- Siap darah 500 WB di OK
- Inform consent
9/11/2008
T : 100/70
N :88x/i
P : 20x/i
S : 36,9 C





Post Operasi Hari I
KU : Baik
Kel : Nyeri perut
MT/NT : (-) /(-)
Fluksus (-)
BAK : perkateter
BAB : belum
Peristaltik (+), kesan Normal
Flatus (+)
Balance Cairan : I : 2000
O : 1700
IWL: 300 R/
- IVFD RL:D5% = 2:1 28 tpm
- Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IVskin test
- Drips Metronidazole 0,5 gr/8jam/IV
- Inj. Ketorolac 30 mg/ampul/8 jam/IV
- Inj. Ranitidine 1 ampul/8jam/IV
- Inj. Transamin 1 ampul/8jam/IV
- Usul : Dulcolax supp II
10/11/ 2008
T : 100/70
N :88x/i
P : 20x/i
S : 36,9 C
Post operasi hari II
KU : baik
Keluhan : -
Luka Operasi : Verban Kering
Flatus : (+)
Fluksus : (-)
BAB : sudah pagi ini
BAK : Perkateter

Hb : 10 gr/dl
R/
- IVFD RL 28 tetes/menit
- Inj Cefotaxime 1 gr/12 jam/ IV
- Drips Metronidazole 0,5 gr/8jam/IV
- Asam Mefenamat 3 x 500 mg
- SF 2x1
- Pindah ruang perawatan
11/11/ 2008
T : 100/70
N :84x/i
P : 20x/i
S : 36,7 C Post Operasi Hari III
KU : baik, Sadar
Keluhan : sakit kepala
Luka Operasi : Verban Kering
Fluksus : (-)
BAB : Sudah
BAK : Perkateter R/
- Ganti Oral
- Cefadroxil 3x1
- Asam Mefenamat 3x1
- SF 2x1
- Aff infus
- Aff Kateter

12/11/2008
T : 100/70
N :80x/i
P : 20x/i
S : 36,6 C Post Operasi Hari IV
KU : baik, Sadar
Keluhan : Nyeri Luka operasi
Luka Operasi : Verban Kering
Peristaltik : (+) Kesan Normal
Flatus : (-)
Fluksus : (-)
BAB : Sudah
BAK : Lancar R/
- Cefadroxil 3x1
- Asam Mefenamat 3x1
- SF 2x1
- GV Opsite
13/11/2008
T : 100/70
N :80x/i
P : 20x/i
S : 36,6 C
Post Operasi Hari V
KU : baik, Sadar
Keluhan : -
Luka Operasi : Kering
Peristaltik : (+) Kesan N
Flatus : (+)
Fluksus : (-)
BAB : Sudah
BAK : Lancar
R/
- Cefadroxil 3x1
- Asam Mefenamat 3x1
- SF 2x1
- Boleh pulang

VIII. RESUME
Ibu Masuk Rumah Sakit dengan keluhan nyeri perut menyeluruh sejak kemarin malam. Nyeri perut muncul secara tiba-tiba. Riwayat perdarahan pervaginam (+) sejak sore pukul 16.00. jumlahnya tidak diketahui dengan jelas. Riwayat keputihan (+). Riwayat tes kencing belum pernah. Riwayat diurut-urut di dukun disangkal, Riwayat trauma (-), Riwayat minum obat pelancar haid (-), Riwayat Koitus (-), Riwayat HT (-), DM(-), Asma (-), Alergi (-)
Riwayat obstetri GIIPIA0. Pada pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum lemah, sadar, Tekanan darah 100/70 mmHg, Nadi 60x/I, Pernafasan 20x/I, Suhu 37,80C, serta konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan dalam vagina didapatkan portio lunak, tebal, nyeri goyang portio (+), OUE/OUI terbuka / tertutup, Uterus anteflexi, kesan membesar, adnexa tak ada kelainan, Cavum douglasi Bombans, pelepasan darah (+)
Hasil pemeriksaan darah rutin saat masuk rumah sakit diperoleh kadar Hb 8,3 g/dl. USG obstetri memberikan kesan KET. Hasil kuldosintesis (+). Diagnosa kerja pasien ini adalah KET dan direncanakan cito laparatomi. Intra operatif ditemukan ruptur tuba kiri pars ampularis maka dilakukan salpingoooforektomi kiri. Pada perawatan hari V luka operasi kering dan tidak ada keluhan, maka pasien di pulangkan.

IX. DISKUSI
Pada kasus tesebut di atas pasien datang dengan gejala nyeri perut menyeluruh sejak kemarin malam secara tiba-tiba. Kemudian adanya riwayat perdarahan pervaginam (+) yang jumlahnya tidak diketahui dengan jelas. Riwayat keputihan (+). Riwayat tes kencing belum pernah, akan tetapi didapatkan plano tesnya (+) yang berarti pasien ini hamil dan yang berarti juga amenore. Ketiga gejala tersebut merupakan trias klasik kehamilan ektopik terganggu.
Menurut tempat nidasinya ada beberapa kehamilan ektopik diantaranya adalah kehamilan ampula (dalam ampula tuba), kehamilan istmus (dalam itsmus tuba), kehamilan interstitial (dalam pars interstitial tuba). Akan tetapi yang kehamilan yang paling banyak adalah kehamilan ampula sekitar 55%. Pada pasien ini didapatkan adanya ruptur pada ampula kiri yang menandakan bahwa telah terjadi robekan pada ampula tuba fallopi.
Usia kehamilan pasien ini adalah sekitar 8 minggu. Seseui dengan teori bahwa kehamilan tuba tidak dapat mencapai cukup bulan, biasanya berakhir pada minggu ke6-12, yang paling sering antara minggu 6-8. Ruptur biasanya terjadi secara spontan, tetapi dapat disebabkan oleh taruma koitus atau pemeriksaan bimanual.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda nyeri tekan pada perut bagian bawah, serta keadaan anemi. Hal ini mengindikasikan adanya perdarahan intrabdomen yang dapat berasal dai kehamilan ektopik yang telah ruptur. Pada pemeriksaan dalamj didapatkan nyeri goyang portio dan cavum douglassi tampak bombans. Untuk mendukung diagnosis tersebut maka dilakukan kuldosintesis, yaitu suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya darah dalam cavum douglasi. Hasil yang didapatkan adalah (+). Pada pasien ini dilakukan cito laparotomi untuk mengehentikan atau mengangkat sumber perdarahan. Dengan laparotomi , lapangan operasi dapat dilihat dengan baik, apalagi jika perdarahan dalam rongga pertitoneum cukup banyak. Dari laparotomi didapatkanruptur tuba kiri pars ampularis, yang menyebabkan terjadinya robekan tuba dan darah masuk dalam cavum peritoneum.

















KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

I. PENDAHULUAN
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan yang gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu.1 Kehamilan ektopik adalah salah satu komplikasi kehamilan di mana ovum yang sudah dibuahi menempel di jaringan yang bukan dinding rahim. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama.2 Blastokista normalnya berimplantasi di lapisan endometrium rongga uterus. Implantasi di tempat lain disebut kehamilan ektopik. Risiko kematian akibat kehamilan ekstrauteri lebih besar daripada angka kelahiran pervaginam atau induksi aborsi. Selain itu, prognosis keberhasilan kehamilan berikutnya juga menurun.3 Insiden terjadinya kehamilan ektopik sekitar 2% dari seluruh kehamilan. Pengukuran kuantitatif -HCG, kuldosintesis, laparoscopy dan USG transvaginal adalah standar mendiagnosis dan mendeteksi lebih awal suatu kehamilan ektopik.4

II. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak jelas, sehingga sulit terdiagnosa. Tidak semua kehamilan ektopik berakhir dengan abortus dalam tuba atau ruptur tuba. Di rumah sakit Dr.Cipto Mangunkusomo pada tahun 1987 terdapat 153 kehamilan ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 di antara 26 persalinan. Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6%.1 Di Amerika Serikat, insiden kehamilan ektopik pada tahun 1992 yaitu 19,7 tiap 1000 persalinan.5 Kehamilan ektopik merupakan penyebab tersering kematian ibu hamil pada trimester pertama kehamilan, yaitu sekitar 10% dari angka kematian maternal.5
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian kehamilan ektopik, antara lain :7
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, maka akan memiliki risiko 10 kali lipat untuk mengalami kehamilan ektopik kembali.
2. Riwayat operasi tuba atau operasi dalam rongga panggul. Jika ligasi tuba falopii bilateral yang diikuti dengan kehamilan yang tidak diharapkan akibat kegagalan ligasi atau adanya rekontruksi kembali pada tuba khususnya apabila dilakukan pada wanita usia di bawah 30 tahun, maka dapat meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik. Begitu pula, jika ada riwayat operasi dalam rongga panggul, seperti miomektomi.
3. Riwayat infeksi pelvis. Pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat merusak tuba falopii. Chlamydia dan Gonorrhea adalah kuman yang mampu tumbuh dalam tuba falopii dan mengakibatkan kerusakan berat pada endosalping, aglutinasi lipatan mukosa tuba dan adhesi perituba akibat pembentukan jaringan parut.
4. Riwayat menggunakan AKDR. Penggunaan AKDR adalah salah satu faktor risiko untuk terjadinya kehamilan ektopik. Sebenarnya, semua AKDR, kecuali AKDR yang mengandung progesteron, cukup protektif mencegah kehamilan ektopik, selama AKDR terpasang dengan benar. AKDR progestasert melepaskan sekitar 65 ng progesteron tiap hari. Penggunaan AKDR jenis ini dapat meningkatkan risiko 2 kali lipat untuk terjadinya kehamilan ektopik. Pergerakan otot-otot pada tuba falopii di pengaruhi oleh aktivitas mioelektrik, aktivitas mioelektrik ini menyebabkan gerakan zigot menuju cavum uterus. Keseimbangan estrogen dan progeteron adalah faktor utama yang mempengaruhi aktivitas mioelektrik. Estrogen dapat meningkatkan aktivitas tonus sebaliknya progesteron menurunkan aktivitas tonus otot-otot pada tuba falopii. Sehingga AKDR yang mengandung progesteron dapat meningkatkan implantasi pada tuba karena hasil konsepsi tidak dapat mencapai cavum uterus.. Selain itu, penggunaan AKDR juga dapat dikaitkan dengan kejadian infeksi dalam kavum uteri dan tuba falopi.
5. Riwayat uterus terpapar DES (diethylstilbestrol) misalnya pada pengobatan endometriosis dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik, mekanisme ini belum jelas. Namun suatu studi kasus melaporkan bahwa lebih dari 327 wanita yang terpapar DES lebih dari 2 kali akan mengalami abnormalitas pada cavum abnormal. Hal ini menyebabkan wanita wanita tersebut 13% lebih rentan mengalami kehamilan ektopik dibandingkan wanita dengan uterus normal. Kerusakan kavum uterus akan membatasi kemampuan hasil konsepsi untuk berimplantasi.7
6. Riwayat inflamasi pelvis (akibat endometriosis, benda asing). Inflamasi pada struktur tuba dapat mengakibatkan adhesi akibat jaringan parut, sehingga resiko terjadinya kehamilan ektopik meningkat.

III. DEFINISI
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot atau hasil konsepsi terimplantasi di lokasi-lokasi selain kavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Kehamilan ektopik disebut juga ectopic pregnancy, ectopic gestation dan eccecyesis.6 Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.2 Lokasi yang umum untuk terjadinya suatu kehamilan ektopik yaitu : ampulla tuba falopii (95%), daerah cornual (diantara otot uterus) (2.5%), abdomen (1-2%), ovarium (sekitar 1%), atau servik (kurang dari 1%).7












Gbr. 1. Lokasi Kehamilan Ektopik8
Kehamilan intrauterin dapat ditemukan bersamaan dengan kehamilan ekstrauterin. Dalam hal ini dibedakan dua jenis, yaitu combined ectopic pregnancy atau kehamilan ektopik kombinasi dimana kehamilan intrauterin terdapat pada waktu yang sama dengan kehamilan ekstrauterin dan compound ectopic pregnancy atau kehamilan ektopik rangkap yang merupakan kehamilan intrauterin pada wanita dengan kehamilan ekstrauterin lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion.1 Kehamilan heterotropik adalah kehamilan intrauterin yang terjadi dalam waktu yang berdekatan dengan kehamilan ektopik.6
IV. ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan pembuahan telur di bagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus teluryang telah dibuahi mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba atau nidasinya di tuba dipermudah.1 Seperti diketahui, sebagian besar kehamilan ektopik terjadi pada tuba falopii. Setiap gangguan transportasi hasil konsepsi mengakibatkan implantasi pada tuba falopii yang merupakan penyebab utama kehamilan ektopik, antara lain :9
1. Infeksi alat genitalia interna, khususnya tuba falopii
a. Infeksi Sexual Transmitted Disease (STD) akibat makin bebasnya hubungan seksual pranikah.
b. Infeksi asenden akibat pemakaian IUD.
c. Bakteri khusus yang menyebabkan gangguan tuba falopii adalah Chlamydia trachomatis yang menimbulkan penyempitan lumen tuba.
2. Terdapat desakan dari luar tuba
a. Kista ovarium atau mioma subserosa sehingga pada bagian tertentu, lumen tuba falopii menyempit, akibatnya hasil konsepsi tidak dapat lewat sehingga tumbuh dan berkembang setempat.
b. Endometriosis, menimbulkan perlekatan dengan sekitarnya sehingga terjadi penyempitan lumen tuba falopi.


3. Operasi pada tuba falopii
a. Operasi rekontruksi tuba falopii, tetapi lumennya tidak selebar semula sehingga hasil konsepsi tersangkut dan tumbuh kembang di dalamnya.
b. Rekanalisasi spontan dari sterilisasi tuba, dengan pembukaan lumen yang tidak sempurna dan terjadi penyempitan. Akibatnya, hasil konsepsi tersangkut dan terjadi kehamilan ektopik.
4. Kelainan kogenital alat reproduksi interna
a. Tuba falopii memanjang sehingga dalam perjalanan blastula terpaksa melakukan implantasi dan menimbulkan kehamilan ektopik.
b. Terdapat divertikulum dalam tuba falopii sehingga hasil konsepsi dapat melakukan implantasi dan menimbulkan kehamilan ektopik.
5. Terjadi migrasi intraperitonel spermatozoa atau ovum
a. Terjadi kehamilan ektopik pada uterus rudimenter.
b. Terjadi kehamilan pada ovarium.
6. Kelambatan implantasi
Keterlambatan implantasi hasil konsepsi menyebabkan implantasi terjadi di bagian bawah kavum uteri dalam bentuk plasenta previa dan kehamilan servikalis.

V. PATOLOGI
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Ovum yang telah dibuahi di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada yang pertama hasil konsepsi berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan hasil konsepsi selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya hasil konsepsi mati secara dini dan kemudian direabsorbsi. Pada nidasi secara interkolumner hasil konsepsi bernidasi antar 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka hasil konsepsi dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.1,10
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatum dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah pula menjadi desidua. Dapat pula ditemukan perubahan pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella, dimana sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang, dan kadang-kadang ditemukan mitosis. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dikeluarkan secara utuh. Perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua degeneratif.1,2,10
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.1
Berakhirnya kehamilan tuba ada 2 cara, yaitu abortus tuba dan ruptur tuba.10
Abortus Tuba
Terjadi karena hasil konsepsi bertambah besar menembus endosalping (selaput lendir tuba), masuk ke lumen tuba dan dikeluarkan ke arah infundibulum. Hal ini terutama terjadi kalau hasil konsepsi berimplantasi di daerah ampula tuba. Di sini biasanya hasil konsepsi tertanam kolumner karena lipatan-lipatan selaput lendir tinggi dan banyak. Lagipula disini, rongga tuba agak besar sehingga hasil konsepsi mudah tumbuh ke arah rongga tuba dan lebih mudah menembus desidua kapsularis yang tipis dari lapisan otot tuba. Abortus terjadi kira-kira antara minggu ke 6-12. Peradarahan yang timbul karena abortus keluar dari ujung tuba dan mengisi kavum douglasi, terjadilah hematokel retrouterin. Ada kalanya ujung tuba tertutup karena perlekatan-perlekatan hingga darah terkumpul di dalam tuba dan mengembungkan tuba, yang disebut hematosalping.10
Ruptur Tuba
Hasil konsepsi menembus lapisan otot tuba ke arah kavum peritoneum. Hal ini terutama terjadi kalau implantasi hasil konsepsi dalam isthmus tuba. Pada peristiwa ini, lipatan-lipatan selaput lendir tidak seberapa, jadi besar kemungkinan implantasi interkolumner. Trofoblas cepat sampai ke lapisan otot tuba dan kemungkinan pertumbuhan ke arah rongga tuba kecil karena rongga tuba sempit. Oleh karena itu, hasil konsepsi menembus dinding tuba ke arah rongga perut atau peritoneum. Ruptur pada isthmus tuba terjadi sebelum minggu ke-12 karena dinding tuba disini tipis, tetapi ruptur pada pars interstisialis terjadi lambat kadang-kadang baru pada bulan ke-4 karena disini otot tebal. Ruptur bisa terjadi spontan ataupun karena trauma, misalnya karena periksa dalam, defekasi, koitus. Pada ruptur tuba, seluruh telur dapat melalui robekan dan masuk ke dalam kavum peritoneum, hasil konsepsi yang keluar dari tuba itu sudah mati. Bila hanya janin yang melalui robekan dan plasenta tetap melekat pada dasarnya, kehamilan dapat berlangsung terus dan berkembang sebagai kehamilan abdominal.10

VI. GAMBARAN KLINIK
Kehamilan ektopik biasanya baru memberikan gejala-gejala yang jelas dan khas kalau sudah terganggu dan kehamilan ektopik yang masih utuh, gejala-gejalanya sama dengan kehamilan muda intrauterin. Kisah yang khas dari kehamilan ektopik terganggu adalah seorang wanita yang sudah terlambat haidnya, sekonyong-konyong nyeri perut kadang-kadang jelas lebih nyeri sebelah kiri atau sebelah kanan. Pada ruptur, nyeri dapat terjadi di daerah abdomen mana pun. Nyeri dada pleuritik dapat terjadi akibat iritasi diafragmatik yang disebabkan oleh perdarahan. Selanjutnya pasien pusing dan kadang-kadang pingsan, sering keluar sedikit darah pervaginam. Pada pemeriksaan didapatkan seorang wanita yang pucat dan gejala-gejala syok. Sebelum ruptur, tanda-tanda vital umumnya normal. Tekanan darah akan turun dan denyut nadi meningkat hanya jika perdarahan berlanjut dan hipovoleminya menjadi nyata. Pada palpasi perut terasa tegang dan pemeriksaan dalam sangat nyeri, terutama kalau serviks digerakkan (slinger pain) atau pada perabaan kavum douglasi (forniks posterior) teraba lunak dan kenyal. Nyeri tekan seperti itu mungkin tidak terasa sebelum ruptur. 3,10
Gambaran klinis klinis kehamilan ektopik tergantung dari dua bentuk, yaitu :
• Apakah kehamilan ektopik masih utuh
• Apakah kehamilan ektopik sudah ruptur sehingga terdapat timbunan darah intraabdominal yang menimbulkan gejala klinis.


Tabel 1. Perbedaan kehamilan ektopik Intak dan Ruptur
Kehamilan ektopik intak Kehamilan ektopik dengan ruptur
- Amenore
- Rasa tidak nyaman di abdomen bawah
- Mungkin terdapat perdarahan pervaginam
- Pemeriksaan vaginal :
- Nyeri gerak serviks
- Adneksa tegang atau teraba massa
- Massa adneksa terasa nyeri saat palpasi
- Tanda perdarahan intraabdominal negatif
- Kesimpulan diagnosis sulit - Terdapat trias ruptur kehamilan ektopik:
- amenore
- Nyeri abdomen mendadak
- Terdapat perdarahan
- Perdarahan pervaginam akibat :
- Deskuamasi endometrium
- Aliran darah melalui tuba fallopi
- Tanda perdarahan intraabdominal positif
- Tanda cairan intraabdomen
- Palpasi abdomen nyeri akibat iritasi peritoneum
- Pemeriksaan dalam :
- Terdapat nyeri goyang serviks
- Kavum douglasi menonjol dan nyeri
- Perdarahan pervaginam
- Konfirmasi diagnosis :
Kuldosintesis akan terdapat darah

VII. DIAGNOSIS
Diagnosa kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi dan pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian bawah.1
2. Pemeriksaan umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan.1
3. Pemeriksaan ginekologi
Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum douglasi menonjol dan nyeri raba menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang naik, sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik. 1
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Hemoglobin, hematokrit dan hitung leukosit
Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan jumlah sel darah merah berguna menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Perlu diingat, bahwa turunnya Hb disebabkan darah diencerkan oleh air dari jaringan untuk mempertahankan volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Mungkin pada pemeriksaan Hb yang pertama-tama kadar Hb belum seberapa turunnya maka kesimpulan adanya perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan Hb berturut-turut. Derajat leukositosis sangat bervariasi pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur, nilainya bisa normal hingga sampai 30.000/L.3,6
b. Gonadotropin korionik (hCG urin)
Tes urin paling sering menggunakan tes slide inhibisi aglutinasi dengan sensitivitas untuk gonadotropin korionik dalam kisaran 500 sampai 800 mIU/ml. Kemungkinan bernilai positif pada kehamilan ektopik hanya sampai 50-60%. Kalaupun digunakan tes jenis tabung, dengan gonadotropin korionik berkisar antara 150-250 mIU/ml, dan tes ini positif pada 80-85% kehamilan ektopik. Tes yang menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunoabsorbent Assays) sensitif untuk kadar 10-50 mIU/ml, dan positif pada 95% kehamilan ektopik.3
c. -hCG serum
Pengukuran kadar -hCGsecara kuantitatif adalah standar diagnostik untuk mendiagnosa kehamilan ektopik. Pada kehamilan normal intrauterin, kadar -hCG serum naik 2 kali lipat tiap 2 hari selama kehamilan. Peningkatan kadar -hCG serum kurang dari 66% menandakan suatu kehamilan intaruterin abnormal atau kehamilan ektopik. Pemeriksaan -hCG serum secara berkala perlu dilakukan untuk membedakan suatu kehamilan normal atau tidak, atau memantau resolusi kehamilan ektopik setelah terapi.5


5. Kuldosentesis
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya darah dalam kavum douglasi atau mengidentifikasi suatu hematoperitoneum. Serviks ditarik ke depan ke arah simfisis dengan tenakulum, dan jarum ukuran 16 atau 18 dimasukkan melalui forniks posterior ke dalam kavum douglasi. Bila ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan darah yang dikeluarkan merupakan : 3
a. Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
b. Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil, darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.

Gbr. 2. Kuldosentesis1
Untuk mengatakan bahwa punksi kavum douglasi positif, artinya adanya perdarahan dalam rongga perut dan darah yang diisap mempunyai sifat berwarna merah tua, tidak membeku setelah diisap, dan biasanya di dalam terdapat gumpalan-gumpalan darah yang kecil. Banyaknya biasa sekitar ½-5 cc.6,9
6. Ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen berguna dalam diagnostik kehamilan ektopik. Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi di luar uterus yang didalamnya terdapat denyut jantung janin.1 Pada kehamilan ektopik terganggu dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum terutama dalam kavum douglasi.11 Ultrasonogarfi vagina dapat menghasilkan diagnosis kehamilan ektopik dengan sensitivitas dan spesifitas 96%. Kriterianya antara lain adalah identifikasi kantong gestasi berukuran 1-3 mm atau lebih besar, terletak eksentrik di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion.3
7. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum douglasi dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan, akan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi. 1
8. Laparotomi
Tindakan ini lebih disukai jika wanita tersebut secara hemodinamik tidak stabil, atau tidak mungkin dilakukan laparoskopi.3


Skema 1. Diagnosis Dini Kehamilan Ektopik9

VIII. DIAGNOSIS BANDING
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu. Keadaan-keadaan patologik tersebut, antara lain: 1,6
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah mengalami amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 C atau demam, selain itu, leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik dan tes kehamilan negatif. Biasanya ada riwayat serangan nyeri perut sebelumnya.
2. Abortus imminens atau insipiens
Perdarahan lebih banyak dan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang berlokasi di sekitar median dan bersifat mules lebih menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus, dan gerakan serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri. Pada abortus, umumnya perdarahan lebih banyak dan sering ada pembukaan portio serta uterus biasanya besar dan lunak.
3. Ruptur korpus luteum
Peristiwa ini biasanya terjadi di pertengahan siklus haid. Perdarahan pervaginam tidak ada dan tes kehamilan negatif.
4. Torsi kista ovariun
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat daripada kehamilan ektopik.
5. Apendisitis
Tidak ditemukan tumor dan nyeri tekan pada gerakan serviks tidak seberapa nyata seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri perut bagian bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney.






IX. PENATALAKSANAAN
Fernandez (1991) mengemukakan kriteria untuk menetapkan terapi kehamilan ektopik dengan cara non-operatif atau dengan tindakan operasi, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2. Kriteria Skoring Terapi Kehamilan Ektopik
Skor 1 2 3
Umur gestasi/minggu
Konsentrasi hCG
Progesteron
Nyeri perut
Hematosalping
Perdarahan intraperitonel
Lebih 8
Kurang 1000
Kurang 5
Tak ada
Kurang 1 cm
0 7-8
5000
5-10
Induksi
1-3 cm
1-100 cc 6
Lebih 5000mIU/ml
Lebih 10
Spontan
Lebih 3
Lebih 100 cc

Jika jumlah skornya di atas 6, dilakukan tindakan operasi laparoskopi/laparotomi.9
Terapi kehamilan ektopik dengan medikamentosa mematikan villi korialis sehingga tidak menimbulkan destruksi sekitarnya, dengan harapan akan diresorpsi tanpa menimbulkan jaringan ikat dan lumen tuba falopii tetap terbuka dengan fungsi utama masih normal. Metotreksat dianggap kemoterapi paling tepat oleh karena sensitif terhadap sel trofoblas. Mekanisma kerja metotreksat adalah :
i. Menghalangi kerja dihydrofolic acid reductase untuk mengubah asam folik menjadi dihidrofolat dan tetrafolat, selanjutnya membentuk purin dan timidilat.
ii. Menggagalkan pembentukan DNA dan replikasi sel trofoblas. 9
Syarat pemberian metotreksat adalah : 1,9
a. Kehamilan ektopik intak, gestational sac kurang dari 3 cm
b. Tidak terdapat perdarahan aktif atau darah pada kavum douglasi kurang dari 100cc
c. Kadar hCG kurang dari 1500 mIU/ml







Tabel 3. Terapi Metotreksat sebagai Terapi Primer Kehamilan Ektopik 3
Regimen Tindak Lanjut
Dosis Tunggal
Metotreksat 50 mg/m2 IM










Dosis Variabel
Metotreksat 1 mg/kg IM, hari ke-1,3,5,7 plus
Leukovorin 0,1 mg/kg IM, hari ke-2,4,6,8 Ukur -hCG hari ke-4 dan ke-7
Jika perbedaan 15%, ulangi tiap minggu sampai <15 mIU/ml
Jika perbedaan <15%, ulangi dosis metotreksat dan mulai dari hari pertama lagi
Jika terlihat aktivitas jantung janin pada hari ke-7, ulangi dosis metotreksat, mulai dari hari pertama lagi
Terapi bedah jika kadar -hCG tidak turun atau aktivitas jantung janin menetap setelah tiga dosis metotreksat

Lanjutkan injeksi selang-hari sampai kadar -hCG turun > 15% dalam 48 jam atau setelah diberikan empat dosis metotreksat
Kemudian, setiap minggu sampai -hCG <5 mIU/ml

Perdarahan intraabdomen aktif merupakan kontraindikasi kemoterapi. Ukuran massa ektopik juga penting, direkomendasikan bahwa metotreksat hendaknya tidak digunakan jika ukuran kantung kehamilan lebih dari 4 cm. Keberhasilannya paling besar bila usia gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba berdiameter tidak lebih dari 3,5 cm, janin mati dan kadar -hcG kurang dari 1500 mIU. Kontraindikasi lainnya adalah menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau ginjal, diskrasia darah, penyakit paru aktif dan ulkus peptikum.3
Penentuan -hcG serum serial adalah indikator penting mengevaluasi kesuksesan perawatan pasien dengan protokol pengobatan menggunakan metotreksat dosis tunggal.11 Setelah pemberian metotreksat, -hcG biasanya menghilang dari plasma antara hari ke-14 sampai 21. Pada metotreksat dosis variabel, konsentrasi dalam serum diukur dengan interval 48 hari sampai kadarnya turun lebih dari 15%. Setelah terapi berhasil, dilakukan pemeriksaan -hcG serum mingguan sampai kadarnya kurang dari 5 mIU/ml. 3
Penatalaksanaan bedah atau tindakan operatif dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk mengakhiri kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, dengan salpingostomi, dimana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, dengan salpingektomi. 2
a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Insisi dapat dilakukan dengan pisau atau kauter. Hasil konsepsi dikeluarkan dengan menggunakan klem penjepit (grasping forceps). Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Luka insisi dapat dijahit atau dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. 2 Yang menganjurkan penjahitan memberikan alasan, bahwa hal ini untuk hemostasis dan mencegah adhesi pascabedah. Yang membiarkan tetap terbuka memberi alasan, bahwa hal ini mengurangi iskemia jaringan dan dengan demikian mengurangi kemungkinan adhesi.11 Prosedur ini cepat dan mudah dilakukan dengan laparoskopik dan merupakan metode bedah “standar emas” untuk kehamilan ektopik yang tidak ruptur.3
b. Salpingektomi
Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping. 2 Salpingektomi dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu :11
• Kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok.
• Kondisi tuba buruk, terdapat jaringan parut yang tinggi resikonya akan kehamilan ektopik berulang.
• Penderita tidak ingin punya anak lagi.
Penatalaksanaan menunggu (expectant management) yaitu dilakukan observasi pada kehamilan tuba yang sangat dini yang disertai kadar -hcG serum yang stabil atau menurun. Sebanyak sepertiga wanita dengan kehamilan ektopik akan menunjukkan penurunan kadar -hcG serum. Expectant management biasanya dilakukan pada pasien dengan :3

• Kadar -hcG serial menurun
• Tidak ada bukti perdarahan intraabdomen atau ruptur dengan menggunakan ultrasonografi vagina
• Diameter massa ektopik tidak lebih dari 3,5 cm

X. PROGNOSIS
Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu (ruptur) mempunyai prognosis yang baik, artinya tindakan pertolongan berhasil baik dan tidak terlalu banyak terjadi kematian. Keadaan ini disebabkan oleh timbulnya nyeri mendadak sehingga keluarga secepatnya melakukan pertolongan dan selanjutnya dirujuk ke tempat dengan fasilitas tindakan operasi. Kematian di Amerika Serikat akibat kehamilan ektopik terjadi sekitar 2-3% oleh karena pertolongan terlambat diberikan dan pada umumnya kehamilan ektopik yang terganggu berlokasi di interstisium tuba sehingga terjadi perdarahan banyak dan mendadak sehingga berakhir dengan syok. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6%.1

BONE METASTASIS

METASTASE TULANG-ASRUL MAPPIWALI
I.PENDAHULUAN
Metastase tulang merupakan penyebaran sel – sel kanker dari kanker primernya ke tulang. Jarak antara tumor primer dan dan munculnya metastase bervariasi dan tidak menentu, misalnya pada Carsinoma (Ca) mammae dan tiroid yang mengalami pembedahan (reseksi jaringan) 20 – 35 tahun kemudian bermetastasis dan menimbulkan lesi tulang. (1, 2)
Metastase adalah tumor tulang maligna yang paling sering ditemukan. Metastase bisa berbentuk sklerotik, litik atau gabungan dari keduanya. Distribusi ini sesuai dengan daerah sumsum tulang merah, terutama kolumna vertebra, tengkorak, iga, pelvis, humerus dan femur bagian proksimal. Metastasis jarang dijumpai pada tulang distal dari sendi siku dan sendi lutut.(3, 4)
Metastase bisa terjadi pada setiap tulang dan dimana saja. Biasanya (tidak selalu) menimbulkan nyeri lokal. Tumor metastatik biasanya destruktif (litik) dan bisa terjadi fraktur bila tulang menjadi rapuh. Kadang – kadang terlihat blastik (terutama bila tumor primernya prostat atau payudara). Jarang terlihat pembentukan tulang baru secara periosteal (bila dibandingkan dengan tumor primer). Yang paling penting hampir selalu multipel, terjadi pada tulang yang berbeda. Jarang dapat dikenali tumor primer dari mana metastase berasal. Karena tampak sama.(5)
Karena metastase mungkin tidak memberikan gejala dalam jangka waktu yang lama. Umumnya gejala yang muncul adalah nyeri dan lemah dan sering ditemukan adanya fraktur patologis. Yang perlu diketahui adalah pemeriksaan radiologis kadang – kadang tidak dapat mendeteksi suatu tumor primer / sekunder tulang. Pemeriksaan radiologis terutama bermakna bila tumor menyebabkan adanya osteolitik, sklerotik atau reaksi tulang.(2)
II.INSIDENS
Insiden metastase tulang tidak dapat diketahui secara pasti, hal ini berdasarkan pada asal tumornya dan bagaimana prevalensi suatu tumor tertentu di dalam suatu komunitas. 80 % penyebarannya ke tulang disebabkan oleh keganasan primer payudara, paru, prostat dan ginjal. Penyebaran ini ditemukan lebih banyak di tulang skelet daripada ekstremitas.(6, 7, 8)
Pada wanita, 70 % metastase tumor tulang disebabkan oleh Ca. mammae dimana hasil autopsi menunjukkan 66 % dari penderita Ca. mammae disertai adanya metastase tulang. Pada pria tumor metastase tulang terutama disebabkan Ca. prostat dan paru (70 % - 80 %) dimana 20 % dari paru dan 60 % dari prostat.(2)
Menurut Beschan, distribusi metastase pada tulang di antaranya adalah sebagai berikut : (7)
o Tulang belakang 80 %
o Femur 40 %
o Iga dan sternum 25 %
o Tengkorak dan pelvis 20 %
o Kaput humeri 7 %
o Tulang ekstremitas 1 – 2 %
Metastase tulang pada pria sama dengan wanita. Dan lebih banyak pada usia lebih tua atau setengah umur dibandingkan pada anak – anak.(6)

III.ETIOLOGI
Beberapa tumor ganas yang sering bermetastasis ke tulang antara lain : (4)
 Ca. prostat : ( paling sering bagi pria ) hampir semua jenis osteblastik
 Ca. Mammae : ( paling sering bagi wanita ) kira - kira 2/3 kasus menunjukkan metastasis ke tulang. Hampir semuanya jenis osteolitik, kira-kira 10% osteoblastik, 10% campuran.
 Ca. Paru : 1/3 dari kasus, hampir semua jenis osteolitik
 Ca. ginjal sering soliter sehingga sulit dibedakan dari tumor primer, jenisnya adalah osteolitik.

IV.ANATOMI
Tulang adalah suatu jaringan yang terstruktur dengan baik serta mempunyai 5 fungsi utama yaitu membentuk rangka badan, sebagai tempat melekatnya otot, sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam (misalnya otak, sumsum tulang belakang, buli-buli, jantung dan paru-paru), sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, garam dan dapat berfungsi sebagai cadangan mineral tubuh, serta ikut membantu dalam regulasi komposisi mineral pada tubulus ginjal, khususnya konsentrasi ion kalsium plasma dan cairan ekstraseluler, serta mempunyai fungsi tambahan lainnya yaitu sebagai jaringan hemopoetik untuk memproduksi sel - sel darah merah, sel - sel darah putih dan trombosit.(2)
Struktur tulang ada dua yaitu tulang imatur dan tulang matur. Tulang imatur (woven bone) adalah tulang dengan serat-serat kolagen yang tidak teratur baik dan sel - selnya tidak mempunyai orientasi khusus. Tulang matur (lamellar bone) adalah tulang dengan struktur kolagen yang teratur, tersusun secara paralel membentuk lapisan yang multiple disebut lamelar dengan sel osteosit di antara lapisan - lapisan tersebut. Tulang matur terdiri dari dua struktur yang berbeda bentuknya yaitu tulang kortikal yang bersifat kompakta dan tulang trabekular yang bersifat spongiosa. Lapisan superfisialis tulang disebut periosteum dan lapisan profunda disebut endosteum. Dari aspek pertumbuhan, bagian tengah tulang disebut diafisis, ujung tulang disebut epifisis, dan bagian di antara keduanya disebut metafisis. (2, 9)
Perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel, jaringan kolagen dan mukopolisakarida. Tulang matur ditandai dengan sistem Haversion atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi darah melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi semen dan mineral dibanding dengan tulang imatur. (2)










Gambar 1 : Struktur tulang normal (10)

Osteoblas merupakan salah satu jenis sel hasil diferensiasi sel masenkim yang sangat penting dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel, osteoblas dapat memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi di kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblas dikelilingi oleh substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana keadaan ini terjadi dalam lakuna. Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan tulang dengan sifat dan fungsi resorpsi serta mengeluarkan tulang yang disebut osteoklas. Kalsium hanya dapat dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang menghilangkan matriks organik dan kalsium secara bersamaan dan disebut deosifikasi. (2, 10)















Gambar 2 : Tulang kompakta dan tulang trabekular (9)

V.PATOFISIOLOGI
Penyebaran sel kanker primer terjadi melalui tiga mekanisme yaitu : penyebaran langsung ekspansi, melalui aliran vena, emboli tumor yang menyebar melalui sirkulasi darah. (1)
Metastasis suatu kanker atau karsinoma adalah penyebaran sel - sel kanker keluar dari tempat asalnya ( primary site ) ke tempat lain atau bagian tubuh yang lain. Sel - sel kanker dapat keluar dari suatu tumor primer menjadi ganas, dan kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui peredaran darah ataupun aliran limfe. Metastasis juga dapat terjadi melalui penyebaran langsung. Apabila sel kanker melalui aliran limfe, maka sel - sel tersebut dapat terperangkap di dalam kelenjar limfe, biasanya yang terdekat dengan lokasi primernya. Apabila sel berjalan melalui peredaran darah, maka sel - sel tersebut dapat menyebar ke seluruh tubuh, mulai tumbuh, dan membentuk tumor baru. (11)


VI. DIAGNOSIS
 Gambaran Klinis (12)
• Nyeri tulang.
Nyeri tulang adalah gejala yang paling sering dijumpai pada proses metastasis ke tulang dan biasanya merupakan gejala awal yang disadari oleh pasien. Nyeri timbul akibat peregangan periosteum dan stimulasi saraf pada endosteum oleh tumor. Nyeri dapat hilang-timbul dan lebih terasa pada malam hari atau waktu beristirahat.
• Fraktur
Adanya metastasis ke tulang dapat menyebabkan struktur tulang menjadi lebih rapuh dan beresiko untuk mengalami fraktur. Kadang -kadang fraktur timbul sebelum gejala - gejala lainnya. Daerah yang sering mengalami fraktur yaitu tulang - tulang panjang di ekstremitas atas dan bawah serta vertebra.
• Penekanan medula spinalis
Ketika terjadi proses metastasis ke vertebra, maka medula spinalis menjadi terdesak. Pendesakan medula spinalis tidak hanya menimbulkan nyeri tetapi juga parese atau mati rasa pada ekstremitas, gangguan miksi, atau mati rasa disekitar abdomen.
• Peninggian kadar kalsium dalam darah
Hal ini disebabkan karena tingginya pelepasan cadangan kalsium dari tulang. Peninggian kalsium dapat menyebabkan kurang nafsu makan, mual, haus, konstipasi, kelelahan, dan bahkan gangguan kesadaran.
• Gejala lainnya
Apabila metastasis sampai ke sumsum tulang, gejala yang timbul sesuai dengan tipe sel darah yang terkena. Anemia dapat terjadi apabila mengenai sel darah merah. Apabila sel darah putih yang terkena, maka pasien dapat dengan mudah terjangkit infeksi. Sedangkan gangguan pada platelet, dapat menyebabkan perdarahan.
Gambaran Radiologik
Gambaran radiologik dari metastase tulang ada tiga, yakni :(1,3,13)
Osteolitik
Dimana terjadi penghancuran yang tak terkendali, dan osteoblast tidak mampu mengimbangi dengan pembentukan jaringan baru, sehingga menyebabkan tulang tidak padat dan rapuh.
Metastase litik memberikan gambaran destruksi tulang dengan radiolusensi yang berbatas tegas tanpa pinggir yang sklerotik, bentuk bervariasi, ukuran beberapa mm sampai beberapa cm, jumlah bervariasi. Pada tulang panjang, metastase biasanya timbul pada medula dan pada saat membesar adan menghancurkan korteks.
Gambaran litik ini memberikan bayangan radiolusen pada tulang.
Osteoblastik ( sklerotik )
Pembentukan sel - sel tulang tak terkendali dan tidak diimbangi dengan proses penghancuran oleh osteoklast. Sehingga tulang menjadi rapuh. Metastase sklerotik gambarannya radioopak berbatas tidak tegas (irreguler) yang mengalami peningkatan densitas dengan ukuran yang berbeda – beda, jumlahnya multipel. Biasanya ditemukan pada metastase dari tumor primer prostat, payudara dan jarang pada Ca kolon, paru dan pankreas.
Osteolitik – Osteoblastik
Pada tipe ini tampak gambaran kedua – duanya.

Pemeriksaan Radiologik
1. Foto Tulang
Foto tulang atau pemeriksaan skeletal, memberikan informasi tentang penyebaran tumor pada tulang seperti ukuran dan bentuknya secara umum (pada umumnya jika sudah metastase ditemukan lebih dari satu lesi). Pada foto tulang biasanya muncul gambaran berupa bintik hitam. Tetapi pada foto tulang biasanya tidak muncul kecuali jika telah terjadi kerusakan pada separuh jaringan pada tulang tersebut.(12)














Gambar 3 : Foto tulang posisi AP menunjukkan lesi osteolitik
pada femur distal
seorang wanita 51 tahun dengan karsinoma payudara. (6)























Gambar 4 : Foto tulang posisi AP, tampak fraktur patologik
lesi osteolitik pada femur bagian distal
seorang wanita 53 tahun dengan karsinoma paru. (6)

















Gambar 5 : Penekanan medula spinalis pada seorang pria 70 tahun dengan keluhan
parese tungkai bawah. Foto lumbal lateral + myelografi memperlihatkan
adanya lesi osteolitik yang destruktif pada L3. (6)



















Gambar 6 : Foto lumbal posisi lateral menunjukkan lesi osteoblastik
pada vertebra L2
pada seorang pria 54 tahun dengan karsinoma prostat. (6)




Gambar 7 : Foto kepala posisi lateral memperlihat gambaran
osteolitik - osteosklerotik metastase tulang dari tengkorak (6)


2. Bone survey (foto polos seluruh tubuh)
Bone Survey atau pemeriksaan tulang - tulang secara radiografik konvensional adalah pemeriksaan semua tulang - tulang yang paling sering dikenai lesi - lesi metastatik yaitu skelet, ekstremitas bagian proksimal. Sangat jarang mengenai distal siku atau lutut. Apabila dicurigai adanya tumor yang bersifat metastasis atau tumor primer yang dapat mengenai beberapa bagian tulang. (2, 7)
Foto bone survey dapat memberikan gambaran klinik yaitu : (2)
- Lokasi lesi lebih akurat apakah daerah epifisis, metafisis, dan diafisis atau pada organ - organ tertentu.
- Apakah tumor bersifat soliter atau multiple.
- Jenis tulang yang terkena.
- Dapat memberikan gambaran sifat - sifat tumor

3. Computed Tomography (CT)
CT menghasilkan gambaran jaringan dan kontras yang sempurna. Destruksi tulang dan deposit sklerotik dapat terlihat, dan setiap perluasan metastase tulang pada jaringan juga dapat ditunjukkan. CT merupakan cara yang sesuai untuk mendiagnosis metastase tulang belakang, namun tidak semua gambaran dari tulang belakang dapat terlihat. CT sangat berguna untuk penilaian lanjut pada pasien yang tidak didapati kelainan melalui foto polos tulang tetapi menunjukkan gejala - gejala adanya metastasis. Pada CT – Scan dapat terlihat osteolitik, osteoblastik dan campuran. (6, 14)















Gambar 8 : CT-scan axial menunjukkan lesi osteolitik-osteoblastik
pada corpus vertebra thoracalis
seorang wanita 44 tahun dengan karsinoma paru. (6)














Gambar 9 : CT-scan axial menunjukkan lesi osteolitik
pada acetabulum seorang wanita dengan karsinoma vulva.(6)


4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mempunyai kelebihan dari CT dalam menghasilkan gambar. MRI dapat memberikan informasi adanya tumor dalam tulang, tumor berekspansi ke dalam sendi atau ke jaringan lunak. Deteksi metastase tulang oleh MRI tergantung dari intensitas MR pada jaringan dan sumsum tulang normal. (2, 6, 14)























Gambar 10 : MRI menunjukkan penekanan yang hebat pada vertebra L1
seorang pria 68 tahun dengan karsinoma tiroid.
Metastasis sepanjang vertebra T11-L2, tampak lesi hiperintens,
dan rongga medulla spinalis menyempit. (6)








5. Scintigraphy ( nuclear medicine )

Skintigrafi adalah metode yang efektif sebagai skrining pada seluruh tubuh untuk menilai metastasis ke tulang. Edelstyn, mendapatkan bahwa lesi metastase tulang baru akan tampak pada pemeriksaan radiodiagnostik apabila telah terjadi demineralisasi sebanyak 50 - 70%. Pemeriksaan ini berbeda dengan pemeriksaan radiografi, sehingga adanya proses metastase pada tulang yang dini sekalipun dapat cepat terdeteksi. (7)













Gambar 11 : Skintigrafi pada seorang pria 60 tahun
dengan karsinoma nasofaring yang bermetastasis ke tulang.
Skintiscan menunjukkan distribusi lesi fokal di berbagai tulang,
khususnya vertebra, costa, dan pelvis. (6)
























Gambar 12 : Skintiscan posterior menunjukkan upatake
yang diffuse dan intens pada hampir semua bagian tulang
seorang pria 79 tahun dengan karsinoma prostate. (6)

VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Fibrous Dysplasia
Kelainan ini jarang terjadi dan hanya 4 – 6 % dari seluruh tumor jinak tulang, terutama ditemukan pada usia anak – anak dan dewasa muda dan lebih sering pada wanita dengan perbandingan 3 : 1. Fibrous dysplasia monostotik lebih sering ditemukan daripada poliostotik. (2)
Lokasi lesi monostotik lebih sering pada femur, tibia, iga, tulang rahang. Bentuk ini kemungkinan hadir bersama dengan nyeri maupun fraktur patologik pada pasien yang berumur 10 – 70 tahun, namun bentuk ini lebih sering terjadi pada mereka yang berumur 10 – 30 tahun. Tingkat kelainan bentuk tulang pada bentuk monostotik relatif lebih ringan dibandingkan dengan pada tipe poliostotik. Tidak terdapat bukti yang terdokumentasi secara jelas yang bisa mendukung konversi dari bentuk monostotik menjadi bentuk poliostotik. (2, 19)
Lokasi dari poliostotik terutama terjadi pada anggota gerak bawah. Dsyplasia bisa bersifat unilateral ataupun bilateral, dan dapat mempengaruhi beberapa tulang pada tungkai dan lengan dengan atau tanpa keterlibatan skeleton aksial. Meskipun berbagai poliostotik cenderung terjadi pada distribusi unilateral, keterlibatan bersifat asimetrik dan digeneralisasi ketika penyakit bersifat bilateral. (2, 19)
Lesi - lesi individual dapat tampak seperti sebuah area yang lusen (berkilau) dengan sebuah sklerotik rim. Lesi - lesi medullary kemungkinan memiliki tampilan “milky” atau “ground glass” dengan ketidakhadiran trabekulasi normal. Tulang yang terpengaruh dapat meluas secara lokal. Lesi tulang rusuk biasanya expansile dengan tampilan “ground glass”. Lesi calvarial biasanya litik dan multilokular dengan garis - garis sklerotik. Pada dasar tengkorak dan tulang wajah, fibrous dysplasia menjelma sebagai marked sclerosis dan bony thickening. Sinus - sinus tersebut kemungkinan mengalami kerusakan. Penyakit yang sudah berlangsung lama dapat mengakibatkan tulang -tulang membungkuk dan mengalami deformasi. Proximal femur mengalami bentuk yang khusus yang dikenal sebagai deformitas “shepherd’s crook” yang berhubungan dengan coxa vara dan pembungkukan anterolateral pada diaphysis. Fraktur - fraktur patologik terlihat.(3, 16, 17, 18, 19)

Gambar 13 : Foto tulang humerus posisi AP
tampak gambaran “ground glass”
dengan trabekulasi tulang yang berkurang.(19)

2. Multipel Mieloma (2)
Multipel mieloma merupakan tumor ganas tulang yang sering ditemukan. Ditemukan terutama pada umur 40 – 70 tahun, jarang di bawah 30 tahun dan lebih sering ditemukan pada laki – laki daripada wanita dengan perbandingan 2 : 1.
Gejala yang sering ditemukan adalah nyeri yang menetap, sakit pinggang yang kadang – kadang disertai nyeri radikuler serta kelemahan anggota gerak. Penderita sering datang dengan fraktur patologis terutama pada vertebra oleh karena proses destruksi yang hebat.
Tumor ini berasal dari sumsum tulang dan menyebar ke tulang yang lain. Lokasi yang paling sering terkena adalah tulang belakang, panggul, iga, sternum dan tengkorak.
Pada foto rontgen tulang terlihat berkurang akibat osteoporosis dengan daerah – daerah osteolitik yang bulat dan rarefaksi pada sumsum tulang. Gambaran ini bisa berbentuk lubang – lubang pukulan yang kecil (punched out) yang bentuknya bervariasi serta daerah radiolusen yang berbatas tegas. Mungkin dapat ditemukan adanya penipisan korteks tulang.

Gambar 14 : Foto kepala posisi lateral yang menunjukkan suatu lesi litik
pada multipel mieloma. (22)

3. Histiocytosis X
Histiocytosis X atau disebut pula dengan granuloma eosinofilik, merupakan merupakan tumor jinak yang terutama mengenai sistem retikulo-endotelial seperti tulang, limfonodus, limpa, dan ginjal. Kelainan ini terutama mengenai remaja (90 %) usia 10 – 12 tahun, lebih sering pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 2 : 1. Namun kelainan ini juga jarang terjadi. Kurang lebih 70 % dari lesi terjadi pada tulang pipih seperti tulang tengkorak, rahang bawah, tulang belakang, iga dan sisanya terjadi pada tulang panjang.(2)
Gambaran radiologik yang dapat ditemukan umumnya berupa destruksi tulang. Batas tumor dapat terlihat jelas dan dapat pula tidak jelas dan pada bagian tepi tumor dapat terlihat reaksi sklerosis tulang setempat. Pada foto tulang didapatkan gambaran destruksi tulang dengan lesi litik. Pada bone scan menunjukkan “hot spots” (bintik panas) dimana kerusakan tulang terjadi dan mencoba mengalami perbaikan.(2,20)


Gambar 15 : Foto kepala posisi lateral, terdapat lesi litik
pada daerah frontoparietal. (21)

VIII. PENATALAKSANAAN (15)
1. Bisfosfonat
Bisfosfonat berfungsi untuk menekan laju destruksi dan pembentukan tulang yang berlebihan akibat metastasis. Bisfosfonat mengurangi resiko fraktur, mengurangi rasa sakit, menurunkan kadar kalsium dalam darah, dan menurunkan laju kerusakan tulang.
2. Kemoterapi dan terapi hormonal
Obat-obat kemoterapi digunakan untuk membunuh sel-sel kanker didalam tubuh. Kemoterapi dapat diberikan per-oral maupun intravena.
Terapi hormon digunakan untuk menghambat aktivitas hormon dalam mendukung pertumbuhan kanker. Sebagai contoh, hormon seperti esterogen dapat meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis kanker seperti kanker payudara. Tujuan kemoterapi dan terapi hormonal adalah untuk mengontrol pertumbuhan tumor, mengurangi nyeri, dan mengurangi resiko terjadinya fraktur.
3. Radioterapi
Radioterapi berguna untuk menghilangkan nyeri dan mengontrol pertumbuhan tumor di area metastasis. Radioterapi juga dapat dapat digunakan untuk mencegah fraktur atau sebagai terapi pada kompresi medula spinalis.
4. Pembedahan
Pembedahan dilakukan untuk mencegah atau untuk terapi fraktur. Biasanya pembedahan juga dilakukan untuk mengangkat tumor. Dalam pembedahan mungkin ditambahkan beberapa ornament untuk mendukung struktur tulang yang telah rusak oleh metastasis.
5. Terapi lainnya
Terapi lain yang bisa digunakan yaitu terapi simptomatik baik medikamentosa maupun nonmedikamentosa untuk mengurangi nyeri. Beberapa kombinasi obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri pada metastasis tulang antara lain tipe NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen, Naproxen yang menghambat prostaglandin. Pendekatan non medikamentosa seperti terapi panas dan dingin, terapi relaksasi, dan terapi matras.

IX. KOMPLIKASI (13)
Metastase tulang dapat merusak dan memperlemah tulang, dan dapat pula mengganggu fungsi normal dari tulang tersebut. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang serius, kejadian ini disebut sebagai skeletal – related events (SREs). Adapun komplikasi pada tulang yang dapat menyebabkan nyeri dan kelumpuhan, antara lain :
o Fraktur tulang
Fraktur dan kerusakan tulang yang diakibatkan oleh metastase, penyembuhannya lebih lama daripada fraktur tulang yang normal.
o Kerusakan jaringan saraf pada tulang belakang
Metastase tulang dapat merusak kolumna vertebra (tulang - tulang dari tulang belakang) dan dapat menyebabkan kompresi pada jaringan saraf dalam tulang belakang. Tekanan tersebut dapat menyebabkan nyeri dan paralysis.
Masalah ini disebabkan oleh metastase tulang dimana terjadi terlalu banyak pelepasan kalsium dari tulang ke dalam darah. Hal ini disebut sebagai hiperkalsemia maligna. Dan apabila tidak diobati, hiperkalsemia ini dapat menjadi serius dan berakhir dengan koma.

X. PROGNOSIS
Grabstald melaporkan bahwa metastasis daripada tumor ganas ginjal (hypernephroma) pada umumnya adalah soliter, sehingga kasus - kasus ini mempunyai prognosis terbaik di antara metastasis tulang tumor-tumor lain dan mempunyai ‘5 year survival rate’ sebanyak 25 – 35%











Tumor primer tulang sulit dibedakan dengan tumor sekunder terutama bila metastasis bersifat soliter. Beberapa hal yang dapat menjadi pegangan dalam membedakan kedua kelainan ini adalah : (2)
Kelainan Tumor metastasis Tumor primer
Jumlah lesi Biasanya multipel Biasanya tunggal
Ukuran lesi Biasanya kecil Biasanya besar
Penyebaran kista oseus Jarang Sering
Reaksi osteoblas Terutama endosteal Terutama periosteal

Beberapa tumor tulang diantaranya adalah osteochondroma dan osteosarkoma.
 Osteochondroma
Osteochondroma merupakan tumor yang bersifat jinak, berasal dari komponen tulang (osteosit) dan komponen tulang rawan (kondrosit). Tumor ini sering mengenai tulang pangjang di daerah metafisis terutama di daerah sekitar lutut. Tumor ini terutama ditemukan pada remaja yang pertumbuhannya aktif dan pada dewasa muda. Gejala nyeri terjadi bila terdapat penekanan pada bursa atau jaringan lunak sekitarnya. Benjolan yang keras dapat ditemukan pada daerah disekitar lesi. (1, 2)
Lokasi osteochondroma biasanya pada daerah metafisis tulang panjang terutama disekitas sendi lutut (articulatio genu), khususnya femur distal, tibia proksimal dan humerus proksimal. Juga dapat ditemukan pada tulang scapula dan ilium. (1, 2)
Pada foto polos genu tampak penonjolan tulang yang menjauhi sendi dengan korteks dan spongiosa masih normal. Penonjolan tulang ini berbentuk seperti bunga kol (couliflower) dengan komponen osteosit (tulang keras) sebagai tangkai dan komponen kondrosit (kartilago) sebagai bunganya. Densitas penonjolan tulang inhomogen (opak pada tangkai dan lusen pada bunga). Terkadang tampak adanya kalsifikasi berupa bercak opak akibat komponen kondral yang mengalami kalsifikasi. Tumor dapat bersifat tunggal atau multipel tergantung dari jenisnya. (1, 2)










 Osteosarkoma
Osteosarkoma merupakan tumor ganas primer asal sel mesenkim tulang, berupa pertumbuhan tak terkendali dari osteoclast dan osteoblast. Kebanyakan terjadi pada usia muda (10 – 25 tahun), pada ujung metafisis tulang panjang. Tupor ganas ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Nyeri merupakan gejala utama yang pertama muncul yang bersifat konstan dan bertambah hebat pada malam hari. Penderita biasanya datang dengan tumor yang besar atau oleh karena terdapat gejala fraktur patologis. Gejala – gejala umum lain yang dapat ditemukan adalah anemia, penurunan berat badan serta nafsu makan yang berkurang.(1, 2)
Tumor ini sering ditemukan di daerah metafisis tulang panjang terutama pada femur distal dan tibia proksimal dan dapat pula ditemukan pada radius distal dan humerus proksimal. (1)
Gambaran radiologik yang dapat ditemukan tergantung dari kelainan yang terjadi : (1, 2)
1. Bentuk osteolitik (osteoklastic) : proses destruksi yang lebih menonjol. Tumor tumbuh dari ujung metafisis ke arah diafisis dan sedikit reaksi periosteal dan terjadi destruksi korteks. Bentuk ini memiliki batas tidak tegas dengan gambaran spikula dan segitiga Codmann (Codmann triangle). Pada Codmann triangle terjadi kalsifikasi dan pembengkakan.
2. Bentuk Osteogenik (osteoblastik) : pembentukan yang lebih menonjol. Gambaran tumor tampak lebih putih dengan batas ireguler, pada bentuk seperti ini terjadi kalsifikasi jaringan lunak sehingga densitas meningkat, terdapat pula reaksi periosteal berupa sunray dan sunburst. Sunray terjadi sebelum metastase tumor. Sunray appearance berupa garis – garis tipis (seperti sinar) yang tegak lurus aksis tulang. Korteks menuju jaringan lunak dan mengakibatkan jaringan lunak bengkak. Sunburst merupakan gambaran seperti ledakan matahari.
3. Bentuk campuran terdapat proses osteolitik dan osteoblastik yang seimbang.

GOUT DISEASE

LA ODE MUH AWALUDDIN AKRAM BONE
GOUT DISEASE
GOUT adalah penyakit di mana terjadi penumpukan asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang menurun, maupun akibat tingginya asupan makanan kaya purin. Gout disebabkan kondisi cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat berkadar tinggi. Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi) yang akut, kadang-kadang disertai pembentukan kristal natrium urat besar yang dinamakan tophus, deformitas (kerusakan) sendi secara kronis, dan cedera pada ginjal.1
Etiologi
Penyebab timbulnya gejala artritis akut adalah reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosium urat monohidrat. Sehingga dari penyebabnya, penyakit ini digolongan sebagai kelainan metabolik. Kelainan ini berhubungan dengan gangguan kinetik asam urat yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia pada penyakit ini terjadi karena 2:

1. Pembentukan asam urat yang berlebihan.
a. Gout primer metabolik, disebabkan sintesis langsung yang bertambah.
b. Gout sekunder metabolik, disebabkan oleh pembentukan asam urat yang berlebihan karena penyakit lain seperti leukemia, terutama bila diobati dengan sitostatika, psoriasis,polisitemia vera, dan mielofibrosis.

2. Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal.
c. Gout primer renal, terjadi karena gangguan ekskresi asam urat di tubuli distal ginjal yang sehat.
d. Gout sekunder renal, disebabkan oleh kerusakan ginjal, misalnya gagal ginjal kronik.
3. Perombakan dalam usus yang berkurang, namun secara klinis hal ini tidak begitu penting.

Manifestasi Klinis

Secara klinis, gout ditandai dengan timbulnya arthritis, tofi, dan batu ginjal yang disebabkan karena terbentuk dan mengendapnya kristal monosodium urat. Pengendapan dipengaruhi oleh suhu dan tekanan. Tofi seringkali terbentuk pada daerah telinga, siku, lutut, dorsum pedis, dekat tendo Achilles pada metatasofalangeal digiti I, dan sebagainya. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Biasanya sehari sebelumnya, pasien masih tampak sehat tanpa keluhan apapun. Tiba-tiba pada tengah malam terbangun oleh rasa sakit yang sangat hebat. 1, 3)
Daerah khas yang paling sering mendapat serangan adalah pangkal ibu jari kaki sebelah dalam, disebut podagra. Bagian ini tampak membengkak, kemerahan, dan nyeri sekali bila disentuh. Rasa nyeri berlangsung beberapa hari sampai satu minggu namun kemudian menghilang. Kejadian itu dilukiskan oleh Sysenham sebagai “ sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu bia tidak diobati, rekuren yang multiple, interval antar serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi”. Sedangkan tofi itu sendiri tidak sakit tapi dapat merusak tulang. Sendi lutut sendiri juga merupakan predileksi kedua untuk serangan ini. 1,3)
Manifestasi klinik selanjutnya adalah tofi, tofi merupakan penimbunan asam urat yang dikelilingi reaksi radang pada sinovia, tulang rawan, bursa, dan jaringan lunak. Sering timbul di tulang rawan telinga sebagai benjolan keras. Tofi ini merupakan manifestasi lanjut dari gout yang timbul 5-10 tahun setelah serangan arthritis pertama. Tofi ini sering pecah dan agak sulit disembuhkan dengan obat sehingga dapat menyebabkan infeksi sekunder. 1, 3)

Diagnosis
Penetapan diagnosis gout
Subkomite The American Rheumatism Association menetapkan bahwa kriteria diagnostik untuk gout adalah 1:
A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi.
B. Tofi terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan mikroskopik dengan sinar terpolarisasi.
C. Diagnosis lain, seperti :
a) Lebih dari sekali mengalami serangan arthritis akut
b) Terjadi peradangan secara maksimal dalam satu hari
c) Oligoarthritis (jumlah sendi meradang kurang dari 4)
d) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang
e) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau membengkak
f) Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki)
g) Tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago artikular (tulang rawan sendi) dan kapsula sendi
h) Hiperurisemia
i) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja)
Diagnosis gout ditetapkan ketika didapatkan kriteria A dan/atau kriteria B dan/atau 6 hal atau lebih dari kriteria C.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan lab yang dilakukan pada penderita gout didapatkan kadar asam urat yang tinggi dalam darah ( >6 mg% ). Kadar asam urat normal dalam serum pria 8 mg% dan pada wanita 7mg%. Sampai saat ini, pemeriksaan kadar asam urat terbaik dilakukan dengan cara enzimatik. Kadang-kadang didapatkan leukositosis ringan dan LED yang meninggi sedikit. Kadar asam urat dalam urin juga tinggi (500mg%/liter per 24jam). Pemeriksaan radiografi pada serangan artritis gout pertama adalah non spesifik. Kelainan utama radiografi pada long standing adalah inflamasi asimetri, arthritis erosive yang kadang-kadang disertai nodul jaringan lunak.1, 3)

Terapi
Terapi nonmedikamentosa
Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet kaya purin, obesitas, serta sering meminum alkohol. Purin merupakan senyawa yang akan dirombak menjadi asam urat dalam tubuh, sehingga diet purin merupakan cara terbaik dalam pengobatan asam urat.1
Medikamentosa
Terapi pada gout biasanya dilakukan secara medik ( menggunakan obat-obatan ). Medikamentosa pada gout termasuk :
 Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). NSAIDs dapat mengontrol inflamasi dan rasa sakit pada penderita gout secara efektif. Efek samping yang sering terjadi karena NSAIDS adalah iritasi pada sistem gastroinstestinal, ulkerasi pada perut dan usus, dan bahkan pendarahan pada usus. Penderita yang memiliki riwayat menderita alergi terhadap aspirin atau polip tidak dianjurkan menggunakan obat ini. Contoh dari NSAIDs adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya. 3, 4)
 Colchicine. Colchicine mengontrol gout secara efektif, tetapi seringkali membawa efek samping, seperti nausea, vomiting and diare. Colchicine diberikan secara oral, dan diberikan setiap 1 sampai 2 jam dengan dosis maksimal 6mg hingga adanya peningkatan yang lebih baik pada kondisi pasien. Efek samping yang sering terjadi adalah diare. Pada pengobatan gout, colchicine digunakan bila penderita tidak dapat menggunakan NSAIDs. 3, 4)
 Steroids. Steroids biasanya berbentuk pil atau dapat pula berupa suntikan yang lansung disuntikkan ke sendi penderita. Efek samping dari Steroids antara lain penipisan tulang, susah menyembuhkan luka dan juga penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Steroids digunakan pada penderita gout yang tidak bisa menggunakan NSAIDs ataupun colchicine. 4)


Daftar pustaka :


1 Juandy, “ Gout dan Diet “, http://www.depkes.go.id/index.php?option
=articles&task=viewarticle&artid=184&Itemid=3, Printed in November, 2007
2 Mansjoer,A.,dkk, 2004. Reumatologi. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 1 Cetakan Keenam. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. Hal 542 - 546
3 Stefanus, E.I., “ Arthritis Gout”, In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, Juni, 2006, Hlm. 1218 - 1220
4 Anonim, http://www.mayoclinic.com/health/gout/DS00090/DSECTI
ON=8, Printed in 14 november 2007

Kamis, 19 Maret 2009

INDUSTRIAL HYGIENE

BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah kesehatan lingkungan kerja dan perkembangannya
Suatu sebab berkembangnya dan adanya kesehatan lingkungan kerja ialah adanya pekerjaan dalam hubungan penguapan atau penggajian. Kapan setepat-tepatnya mulai ada pekerjaan atas dasar pengupahan atau pengkajian tindaklah kita ketahui. Namun dapatlah dianggap bahwa ketentaraan dijaman-jaman silam yang jauh dahulu adalah permulaan adanya pekerjaan atas dasar pengupahan itu, dan peperangan dianggap pekerjaan yang menimbulkan korban-korban atau kecelakaan-kecelakaan akibat perang. Maka dari itu kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja antara lain berlembaga pada ketentaraan jaman purba. Selain itu pekerjaan atas dasar paksaan atau hukuman juga menjadi sebab berkembangnya higene perusahaan dan kesehatan kerja. Pekerjaan-pekerjan tambang jaman dahulu adalah tawanan perang dan pesakitan, yang akhirnya mereka mati oleh karena pekerjaannya.(1,2)
Bapak ilmu kedokteran Hippocrates rupanya belum pula menaruh perhatian, hal ini dapat dibuktikan dari buku-bukunya, sebab, memang ia mendasarkan teorinya kepada keseimbangan makanan latihan, tetapi latihan yang dimaksudnya sama sekali tidak ditujukan kepada pekerja.(1)
Rupa-rupanya Hippocrates lupa, ia tidak memperhatikan penyakit kaum pekerjanya. Kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja tetap gelap diabad-abad sebelum abad ke-16; baru pada abad itu dan sesudahnyalah terdapat keterangan-keterangan pasti, bahkan gambaran-gambaran tentang penyakit-penyakit pekerja tambang dan pekerjaan-pekerjaan lainnya oleh Agricola dan Paracelcus. Agricola menulis buku “De Re Metalica”, yang diterbitkan pada tahun 1556, sedangkan Paracelcus menulis “Von der Bergsucht und Anderen Bergkrankheiten” pada tahun 1569. Kedua-duanya menggambarkan pekerjaan-pekerjaan dalam tambang, cara mengolah biji, dan tentang penyakit-penyakit yang diderita oleh para pekerja. Bukan hanya itu saja, tetapi keduanya telah pula mulai dengan gagasan pencegahan. Agricola menganjurkan ventilasi dan pemakaian tutup muka yang longgar. Contoh pencegahan di bidang lain, Agricola menganjurkan menutup muka dengan daun-daun bagi para pekerja yang sedang mencat. Di samping itu Paracelseus menguraikan panjang lebar tentang bahan-bahan kimia, sehingga ia dapat dianggap telah memulai toksikologi modern.(1)
Namun yang betul-betul bapak dari kesehatan lingkungan kerja dan keselamatan kerja adalah Bernardine Ramazzin (1633-1714). Ialah yang menulis buku “ De Morbis Artificum Diatriba” didalam buku itu diuraikan tentang berbagai-bagai penyakit dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja ialah yang membuat terang persoalan, bahwa pekerjaan dapat menimbulkan penyakit, yaitu penyakit akibat kerja, ialah yang telah menambahkan kepada dengan cara hipocrates dengan satu hal, yaitu minta pasien menceritakan pekerjaannya, inilah nasehat Ramazzini(1)
Jika seorang dokter mengunjungi rumah seorang pekerja, ia harus puas duduk dibangku kaki tiga, bila tidak ada kursi yang baik, dan ia harus menyediakan cukup waktu untuk pemeriksaannya yang dianjurkan hipogrates, ia harus menambah satu lagi: apakah pekerjaan?
Anjuran Ramazzini ini sangat penting mengingat mustahilnya menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja tanpa mengetahui pekerjaan sisakit. Kemudian kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja berkembang dengan pesat oleh karena dorongan revolusi industri di Inggris sebagai akibat ditemukannya cara-cara produksi baru, mesin-mesin baru untuk industri dan pengagkutan, yang terjadi di Inggris, namun dinegara-negara lainnya, misalnya Prancis, Jerman, Amerika, Rusia, dan sebagainya. Kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja ini diberbagai-bagai negara terus berkembang, baik dibidang organisasi, maupun tehnik, ataupun keilmuannya. Bahkan diabad ke-20 ini kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja dirasakan sebagai satu keharusan, oleh karena ia memiliki segi-segi, baik kesejahteraan tenaga manusia, maupun demi produksi.(1)
Sejarah kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja di Indonesia tidaklah kita ketahui dengan pasti, namun demikian adalah pasti, bahwa cara-cara kedokteran kuno dan pengobatan Indonesia asli sudah dipergunakan untuk menolong korban-korban peperangan dan penyakit-penyakit atau kecelakan-kecelakan oleh karena pekerjaan dibidang industri rakyat pada itu. Kemudian datanglah, Belanda diabad ke17, dengan pendaratan VOC di Jakatra. Dinas kesehatan yang diadakan oleh Belanda pada permulaannya adalah dinas kesehatan militer, yang baru kemudian beralih kepada dinas sipil.(1,2)
Barangkali, mengikuti riwayat itu, dapatlah dikatakan , bahwa kesehatan lingkungan kerja colonial itu bersemi pada kesehatan ketentaraan, sebagaimana terjadi pada perkembangan kesehatan lingkungan kesehatan kerja dimana-mana Indonesia sejak permulaan penguasaan Belanda dijadikan penghasilan bahan baku, yang dihasilkan dibidang-bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan , dan lain-lain. Sudah tentu usaha-usaha kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja colonial ditunjukan untuk memberikan kesehatan sekedarnya kepada pekerjaan-pekerjaan kita, agar mereka cukup sehat dan mampu memproduksi bahan-bahan yang diperlukan Belanda.(1)
Cara dan organisasinya tentu sangat sederhana dan mula-mula tanpa peraturan-peraturan, baru pada permulaan abad ke20lah dibuat undang-undang dan peraturan-peraturan mengenai kebersihan, keselamatan, dan kesehatan yang juga sangat sederhana isinya, sesuai dengan keperluan pada waktu itu, dapatlah dipahami, bahwa kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja pada waktu itu tidak berkembang sebagaimana mestinya, tidak seperti dinegara-negara lain, oleh karena Indonesia dijaman colonial itu bukan mengalami revolusi industri, bahkan industri-industi yang adapun sengaja dimatikan, supaya Indonesia hanya menjadi penghasil bahan baku untuk ekspor dan menjadi konsumen barang-barang yang diimpor dari luar negri: disamping itu, tidaklah boleh lupa, bahwa pekerjaan-pekerjaan kita pada saat ini adalah kuli yang hidup hanya dari beberapa belas sen sehari, yang tidak mempunyai sesuatu lagi untuk dikeluarkan demi keperluan kesejahtraan, diantaranya biaya kesehatan, sebab hampir semua keuntungan diangkut sama belanda keluar negari.(1)
Zaman Jepang boleh dikatakan sama sekali tidak memberikan dorongan atau pemikiran-pemikiran tentang kesehaan lingkungan kerja dan kesehatan kerja, maklumlah waktu itu jaman hebat-hebatnya perang dunia II, perkembangan kesehatan lingkungan kerja dan kesehatan kerja yang sesungguh-sungguhnya baru terjadi dijaman Indonesia merdeka, yaitu dimulai dari beberapa tahun ejak proklamasi kemerdekaan, dengan munculnya undang-undang kerja dan U.U kecelakaan, yang walaupun pada permulaannya belum berlaku, namun telah memuat pokok-pokok kesehatan ligkungan kerja dan keselamatan kerja dan para perintis mulai bekerja dan berpraktek diperusahaan-perusahaan.(1)
Dan kemudian dimasukkanlah jawatan-jawatan pengawasan perburuhan dan pengawasan keselamatan kerja. Selanjutnya departemen perburuhan lebih maju lagi yaitu mendirikan lembaga keselamatan yang berfungsi sebagai penasehat dan alat meninggikan mutu ilmiah kesehatan buruh pada tahun 1957, yang kemudian dirubah menjadi lembaga keselamatan dan kesehatan buruh, pada tahun 1965, berfungsi dari pada lembaga ini pada garis besarnya adalah: (1)
1. Pusat pendidikan, yang ditunjukkan kepada calon-calon dokter, dokter-dokter yang akan berkerja di perusahaan, pengawasan-pengawas perburuhan dan lain-lain,
2. Untuk memberikan asa dan nasehat kepada perusahan,
3. Pusat riset untuk mempertinggi mutu keilmuan kesehatan dan keselamatan kerja,
4. Pusat publikasi, baik majalah maupun buku-buku pedoman, ataupun lain-lainnya tentang kesehatan dan keselamatan kerja,
5. Penghubung dan kerja sama internasional dalam kesehatan dan keselamatan buruh.

B. Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi factor fisik, kimia, biologi, ergonomic dan psikososial yang mempengaruhi pekerjaan dalam melaksanakan pekerjaannya.(2)
Kesehatan lingkungan kerja adalah ilmu dan seni yang ditunjukkan untuk mengenal mengevaluasi dalam mengendalikan semua factor-faktor dan stress lingkungan ditempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kesejahteran, kenyamanan dan efisiensi dikalangan pekerjaan dan masyarakat. (2)
C. Tujuan kesehatan lingkungan kerja adalah: (2)
1. Mencegah timbulannya kecerdasan dan penyakit akibat kerja melalui usaha-kungan usaha pengenalan (recognition), penilaian (evaluasi), dan pengendalian (contol) bahaya lingkungan kerja atau accupational health hazards.
2. Menciptakan kondisi tempat dan lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman, memberikan keuntungan baik kepada perusahan maupun kepada karyawan, guna meningkatkan derajat kesehatan, moral dan produktivitas kerja karyawan.
















BAB II
KONSEP DASAR

Tujuan utama dari kesehatan lingkungan kerja adalah melindungi pekerja dan masyarakat sekitar suatu rumah sakit atau perusahaan dari bahaya – bahaya yang mungkin timbul. Untuk dapat mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya lingkunagn kerja yang diperkirakan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja, utamanya terhadap pekerja, ditempuh 3 langkah utama yaitu pengenalan, penilaian dan pengendalian dari berbagai bahaya dan resiko kerja.(3)
A. PENGENALAN LINGKUNGAN
Pengenalan dari berbagai bahaya dan resiko kesehatan di lingkungan kerja biasanya dilakukan pada waktu survey pendahuluan dengan cara melihat dan mengenal (walk through survey), yang merupakan suatu langkah dasar yang pertama – tama harus dilakukan dalam upaya program kesehatan lingkungan kerja.(3)
1. Walk Through Survey dan Check list
Walk through survey merupakan teknik utama yang penting untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi bahaya di lingkungan kerja yang dapat memberikan efek atau gangguan pada kesehatan pekerja yang terpajan. Walk Through survey adalah survei untuk mendapatkan informasi yang relatif sederhana tapi cukup lengkap dalam waktu yang relatif singkat sehingga diperlukan upaya pengumpulan data untuk kepentingan penilaian secara umum dan analisa sederhana.(4,5,6)
Tujuan dari survei ini sendiri adalah agar sebagai seorang pakar kesehatan lingkungan kerja kita dapat memahami proses produksi, denah tempat kerja. Kemudian dapat mendengarkan pandangan pekerja dan pengawas kesehatan dan keselamatan kerja (K3) mengenai lingkungan kerjanya, memahami pekerja dan tugas pekerja, memahami dan mengenal bahaya lingkungan kerja serta menginventarisir upaya K3 terhadap kebijakan, pengendalian dan pemenuhan perundang – undangan.(4-7)
Secara umum survei ini bermula pada pengenalan akan fasilitas manajemen pada lingkungan kerja itu dan diskusi tentang tujuan survei tersebut sebab pemahaman yang jelas tentang manejemen pekerja – pekerja serta hubungannya dengan fasilitas di lingkungan pekerja tersebut sangat penting. Sebelum survei, terlebih dahulu ada lobi dengan manajemen perusahan tentang rencana survei guna menerangkan maksud dan tujuan survei sehingga kita dapat memperoleh dukungan atas pelaksanaan survei tersebut. Setelah itu dapat dilakukan diskusi untuk mendapatkan informasi riwayat singkat tentang industri atau rumah sakit tersebut dan proses yang terlibat dalamnya seperti denah perusahaan, bagaimana pengaturan dan populasi pekerja, kebijakan perusahan atau rumah sakit tentang K3, tanyakan pula pandangan atau pemahaman pimpinan dan pekerja tentang K3, gambaran penerapan K3 yang dilakukan di lingkungan pekerja tersebut serta diskusi menyeluruh tentang masalah – masalah yang pernah timbul di lingkungan kerja tersebut.(4-7)
Kunjungan ke lapangan sebaiknya ditemani petugas setempat. Survei tersebut harus dimulai dari awal proses atau tempat penyimpanan bahan baku atau bahan mentah yang akan digunakan dalam kegiatan industri. Buatkan dalam daftar periksa mengenai bahan baku selama proses dengan melihat potensi misalnya label peringatan tentang komposisi bahan bakunya, debu yang beterbangan, uap atau gas yang tercium, sumber panas radiasi, tempratur dan kelembaban, kebisingan, dan penerangan radiasi.(4-7)
Dari sisi pekerja sendiri, pada setiap survei akan proses pembuatan bahan pakar kesehatan lingkungan kerja harus mengobservasi juga prosedur penanganan bahan yang digunakan pekerja dan segala sesuatu tindakan proteksi diri yang harus digunakan oleh pekerja. Kemudian meninjau fasilitas yang menunjang kesejahteraan pekerja sendiri seperti kelengkapan obat – obatan, kondisi sanitasi lingkunan, penyediaan air minum, tempat sampah dan penerangan, letak sumber bahaya, pola paparannya, serta alat penegendali sumber bahaya dan letak alat – alat keselamatnnya. Jumlah pekerja pada setiap tingkat proses pembuatan bahan harus diperhatiakan pula dengan data – data yang relevan mengenai jenis kelamin, etnik, ataupun umur yang mungkin akan memberi efek sensivitas terhadap bahan kimia di lingkungan kerja tersebut. Jika ada kesempatan pakar kesehatan lingkungan kerja harus berdiskusi dengan para pekerja secara langsung untuk menerangkan tata cara bekerja misalnya menyangkut sebab akibat jika tidak menggunakan alat proteksi diri agar pekerja dapat mengetahui dan mencegah terjadinya bahaya.(4-7)
Survei diakhiri dengan klarifikasi semua informasi yang telah diperoleh dengan menjelaskan potensi bahaya yang ditemukan, laporkan hasil pengamatan, evaluasi dan berikanan saran – saran atau rekomendasi untuk perbaikan.(4-7)

2. Program Kesehatan Lingkungan Kerja
Program kesehatan lingkungan kerja membicarakan hal – hal yang menyangkut faktor – faktor yang terdapat atau muncul di lukngkungan kerja yang merupakan hazard kesehatana yaitu faktor fisik, kimia, biologi, psikososial dan ergonomik.(3)

a. Faktor Fisik
Faktor fisik yang merupakan hazard kesehatan kerja dapat berupa kebisingan, getaran, radiasi, dan tempratur ekstrem. Faktor-faktor ini penting diperhatikan didalam tempat kerja, karena pengaruhnya terhadap kesehatan pekerja dapat berlangsung dengan segera maupun secara komulatif.(3,8)
• Noise (kebisingan)
Noise atau kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki yaitu dalam bentuk gelombang yang disalurkan melalui benda padat, cair dan gas. Bunyi dapat didengar oleh telinga karena ada ransangan pada telinga oleh getaran. Kualitas suara dapat ditentukan oleh 2 faktor yaitu frekuensi dan intensitas suar.(8)
 Identifikasi kebisingan di tempat kerja
Kebisingan dapat muncul di tempat kerja karena penggunaan peralatan produksi yang mengeluarkan suara (seperti mesin – mesin produksi).
Jenis-jenis kebisingan yang dapat ditemukan di tempat kerja adalah:
o Kebisingan continue, yaitu kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang beroperasi terus-menerus, misalnya suara generator
o Kebisingan intermitten, yaitu jenis kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang tidak beroperasi secara terus-menerus melainkan terputus-putus, misalnya mesin gerenda
o Kebisingan impulsive, yaitu kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin atau peralatan yang oleh karena penggunaannya terjadi hentakan-hentakan, misalnya mesin pres dan mesin tumbuk.
 Pengaruh kebisingan
Pengaruh kebisingan terhadap karyawan dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a. Pengaruh terhadap kenyamanan yaitu dapat menimbulkan gangguan pembicaraan, gangguan konsentrasi berpikir serta dapat menimbulkan stress
b. Pengaruh terhadap kesehatan yaitu dapat menimbulkan tuli pada telinga.(8)
• Vibrasi (getaran mekanik)
 Identifikasi vibrasi
Terdapat beberapa peralatan yang waktu digunakan menimbulkan getaran, dimana getaran tersebut berakibat timbulnya resonansi pada alat-alat tubuh sehingga pengaruhnya bersifat mekanis. Biasanya disalurkan melalui lantai, tempat duduk atau melalui alat tangan yang digunakan. Misalnya pada saat mengendarai mobil, traktor dan forklif.
 Pengaruh vibrasi
Pengaruh getaran terhadap tubuh karyawan adalah:
o Menimbulkan gangguan kenyamanan sehingga saat bekerja merasa tidak nyaman karena penggunaan alat yang menghasilkan getaran.
o Menimbulkan kelelahan
o Menimbulkan bahaya kesehatan
• Radiasi
 Identifikasi radiasi di tempat kerja
Radiasi adalah merupakan hazards kesehtan di lingkungan tenpat kerja dan dibagi menjadi 2 golongan yaitu radiasi mengion dan radiasi tidak mengion.


Radiasi meng-ion
Umumnya fapat ditemui di tempat kerja karena penggunaan alat yang menggunakan bahan radiasi. Atom mempunyai inti yang tersusun dari proton dan neutron. Proton mempunyai muatan positif dan neutron mempunyai muatan negative.
Radiasi mengion dibagi menjadi 5 jenis yaitu radiasi sinar alpha, radiasi sinar beta, radiasi sinar gamma, radiasi sinar X dan neutron.
Radiasi tidak meng-ion
Sinar adalah murni energy disebut sebagai energy elektromagnetik dank arena karakternya berbagai jenis sinar mengacu pada karakteristik gelombang. Energy sinar berkaitan dengan panjang gelombang. Panjang gelombang yang lebih pendek energhinya lebih tinggi. Yang termasuk radiasi tidak meng-ion adalah gelombang mikro (microwave), sinar laser, sinar infra merah dan sinar ultraviolet.
 Pengaruh radiasi
Pengaruh radiasi terhadap kesehatan tergantung dari jenis radiasi yang terdapat di lingkungan tempat kerja. Efek radiasi umumnya akan menimbulkan luka bakar pada jaringan tubuh yang terkena.
o Pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh terutama adalah gangguan terhadap faali tubuh.
o Sinar infra merah dapat menyebabkan katarak pada mata.
o Sinar ultra violet dapat menyebabkan konjungtivitis, bagi orang yang kulitnya kurang pigmen dan terpapar dapat menyebabkan kanker kulit.
o Sinar X dan gamma dapat menyebabkan luka bakar, impotensi, kerusakan pada hipoitik dan leukemia.
o Sinar alpha dan beta dapat menyebabkan kelainan pada daerah yang terkena (terpapar) dan menimbulkan kelainan kronis yang akhirnya dapat terjadi pada jaringan-jaringan yang lebih peka.(8)



• Temperatur ekstrem
Suhu ekstrem merupakan hazards kesehatan di tempat kerja yang disebabkan karena suhu sangat rendah atau suhu sangat tinggi. Keadaan ini biasa disebabkan oleh karena iklim yang ada, juga dapat ditimbulkan karena dalam proses produksi memerlukan temperatur ekstrem.(8,9)
 Temperatur rendah
Untuk mengidentifikasi adanya hazards temperature dingin (rendah) dapat ditemui pada karyawan yang bekerja pada pabrik freezer, pengepalan daging, fasilitas cold storage, dan pertanian di daerah kutub (northerm areas). Terdapat kumpulan sinyal dari kulit dan core (kumpulan organ-organ dalam tubuh) yang terintegrasi dengan porsi otak yaitu hypothalamus. Hypothalamus berfungsi sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh termasuk temperature tubuh dan bekerja seperti thermostat yang mengatur dan memelihara temperature normal. Tetapi karena terdapat pengaruh temperature luar tubuh sangat dingin maka kerja hypothalamus menjadi terganggu dan hal ini akan mempengaruhi tubuh, diantaranya:
a. Hypothermia yaitu perasaan yang sangat dingin sampai menggigil dan menyebabkan denyut jantung pelan dan kadang-kadang tidak teratur, tekanan darah lemah, kulit dingin, pernapasan tidak teratur, dan bisa terjadi koleps. Hal ini terjadi pada temperature 2-10 oC. pengaruh tersebut juga tergantung dari keadaan individu, yaitu tergantung dari daya tahan tubuh, keadaan fitness, umur, dan budaya.
b. Raynound’s phenomenon, adalah keadaan pucat pada daerah jari. Raynound’s phenomenon ini dikaitkan dengan sejumlah penyakit termasuk sistemik scleroderma, pulmonary hipertention, multiple sklerosis yang juga disebut penyakit raynound’s.
c. Chilblains adalah kelainan pada bagian-bagian tubuh menjadi bengkak, merah, panas, dan sakit yang diselingi dengan gatal-gatal.
d. Trench foot adalah kerusakan anggota tubuh terutama pada kaki oleh kelembaban yang dingin.
e. Frostbite adalah akibat terpapar temperature yang sangat dingin, dan dapat menimbulkan ganggren.
 Temperatur tinggi (heat stress)
Hazards temperature tinggi (heat stress) dapat ditemukan pada operasi perusahaan yang menggunakan peralatan yang memerlukan panas tinggi, misalnya pengecoran biji besi atau baja, ruang pembakaran, ruang boiler, atau peralatan-peralatan lainnya yang dalam operasinya memerlukan suhu tinggi.
Pengaruh heat stress terhadap tubuh adalah:
a. Heat train, adalah serangkaian respons physilogis terhadap heat stress yang direpleksikan pada derajat heat stress yang dapat menimbulkan gangguan perasaan tidak nyaman sampai terjadi heat disorder.
b. Heat cramps, adalah gangguan yang disebabkan oleh karena terpapar suhu yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan meningkatnya temperature tubuh, kekurangan cairan dalam tubuh yang menyebabkan kekurangan garam natrium dalam tubuh.
c. Heat exhaustion, adalah terjadi oleh karena pengaruh cuaca yang sangat panas, terutama bagi mereka yang tidak teraklimatisasi. Penderita keluar keringat banyak, tetapi suhu badan dalam keadaan normal atau sub normal, tekanan darah menurun dan nadi lebih cepat, terasa lemah, dan bisa terjadi pingsan.
d. Heat stroke, adalah terjadi karena terpapar panas yang sangat tinggi, dan dengan pekerjaan yang sangat berat dan belum teraklimatisasi. Gejalanya adalah suhu badan naik, kulit kering dan panas, vertigo, tremor, dan konvulsi.

b. Faktor Kimia
Dalam program kesehatan lingkungan kerja, masalah hazard kimia mempunyai permasalahn yang sangat kompleks dan memerlukan perhatian khusus. Hal ini karena hazard kimia disamping jumlahnya yang beredar di sektor industri sangat banyak, maka pengaruhnya terhadap kesehatanpun sangat bervariasi. Mulai dari yang dapat menimbulkan ganggan, luka, alergi, smapai menimbulkan penyakit, malah dalam konsentarsi tertentu bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh dapat langsung menimbulkan kematian.
a. Identifikasi hazard kimia dan identifikasi bahwa di dalam udara tempat kerja terdapat hazard kimia, kita harus mengetahui tekimia yang digunakan sebagai raw materials, hasil produksi, dan hasil sampingannya (by-product). Informasi penting lain yang diperlukan dapat diperoleh dari Material Safety Data Sheet (MSDS), yaitu yang harus disuplai oleh pabrik atau importir bahan kimia tersebut.
b. Jenis kontaminan udara
Pembagian bahan kimia yang merupakan kontaminan (pencemar) udara dapat digolongkan menjadi :
i. Dust (debu)
Debu adalah partikel padat yang dihasilkan oleh perlakuaan, penghancuran, pengendaraaan, ledakan, dan pemecahan terhadap material organik dann anorganik, seperti batu, biji besi, mental, batubara, kayu, dan biji – bijian.
Debu yang mempunyai ukuran 5 – 10 μm akan tertahan pada sluran pernapasan bagian atas. Partikel atau debu berukuran 3 – 5 μm akan tertahan pada saluran pernapasan bagian tengah, sedangkan debu yang berukuran 1 – 3 μm akan tertinggal pada pemukaan alveoli paru – paru.. Debu yang berukuran kurang dari 0, 1 μm akan bergerak keluar masuk alveoli.
ii. Fumes (upa cair)
Fumes adalah partikel padat yang terbentuk dari kondensasi tahap gas, umumnya terjadi karena penguapan setelah benda terlebur dan diameter kurang dar 1, 0 μm. Pengelasan (welding), penyolderan yang tidak cukup panas, dan pekerjaan lainya akan menghasilkan fumes.
iii. Smoke (asap)
Smoke atau asap terdiri dari unsur karbon atau partikel jelaga yang ukurannya kurang dari 0, 1 μm. Dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna dari benda yang mengandung karbon, seperti batubara dan minyak. Asap umumnya mengandung titik – titik (droplets) partikel kering.
iv. Mists (kabut)
Mist atau kabut adalah titik – titik cairan halus (liquid droplets) yang terbentuk dari kondensasi uap kembali menjadi bentuk cair, atau pemecahan dari bentuk cair menjadi tingkat terdepresi, seperti proses deburan air (spashing, forming, pemecahan atom cairan (atomizing).
v. Gas
Gas adalah bentuk zat yang tidak mempunyai bangun tersendiri, melainkan mengisi ruangan tertutup pada kondisi suhu dan tekanan normal. Bentuknya dapat berubah menjadi cair pada kondisi suhu dan tekanan yang tinggi.
vi. Vaspors (uap)
Vaspor (uap) adalah bentuk penguapan dari benda yang dalam keadaan normal (temperatur dan tekanan kamar) dalam bentuk padat atau cair. Penguapan adalah proses dari suatu bentuk cair berubah menjadi bentuk uap bercampur dengan udara sekitarnya.
Dengan mengetahui bentuk dan ukuran – ukuran bahan pencemaran udara adalah penting dalam program kesehatan lingkungan kerja ( pengenalan, penilaian, pengendalian hazards) dan juga dalam menentukan pemilihan alat pelindung diri (masker) yang tepat.(8,9)
• Jalan masuk bahan kimia dalam tubuh
Terdapat tiga cara dimana bahan kimia tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia, yaitu melalui :
 Saluran pernapasan
Bahan kimia yang merupakan kontaminan udara dapat langsung terhirup melalui alat pernapasaan. Bahan kimia ayang masuk melalui paru – paru dapat langsung masuk ke dalam aliran darah, dan oleh darah tersebut terbawa keseluruh jaringan di dalam tubuh.
 Kulit adalah juga merupakan pintu masuk bahan kimia ke dalam tubuh, yaitu melalui cara absorbsi ( penyerapan). Beberapa bahan kimia dapat terserap oleh lubang rambut, terserap pada lemak dan minyak kulit sperti senyawa kimia organik, pestisida organo phospate. Bahan kimia yng terabsobsi melalui kulit tersebut dapat menimbulkan keracunan secara sistemik.
 Saluran pencernaan
Di tempat kerja orang tidak sadar dan sengaja terminum atau termakan bahan kima beracun. Oleh karena itu pekerja tidak diperkenankan makan, minum, adan merokok di tempat kerja. Sebelum makan dan minum diharuskan mencuci tangan dengan bersih. Bahan kimia beracun yang terserap melalui cairan alat pencernaan dapat masuk ke dalam darah melalui sistem saluran pencernaan tersebut.
• Pengaruh bahan kimia terhadap kesehatan
Setelah kita mengetahu jalan masuknya bahan kimia beracun ke dalam tubuh, penting untuk mengetahui pengaruhnya terhadap jaringan tubuh karena masing – masing mempunyai pengaruh yang berbeda – beda antar jenisnya. Selain itu perlu diketaui bahwa masing – masing jenis bahan kimia beracun mempunyai target organ yang berbeda pula ( jaringan mukosa, liver, darah, sistem saraf, dll).
Bahan kimia beracun berdasarkan efeknya terhadap kesehatan secara umum digolongkan menjadi :
 Irritants
Bahan kimia yang bersifat irritant adalah yang menyebabkan iritasi pada jaringan tubuh yang terkena. Efek utama adalah menimbulkan peradangan (inflamasi) oleh karena kontak langsun. Irritan sekunder bisa mengakibatka reaksi yang merugikan, tetapi efek ini kecil dibandingkan pada efek - efek sistemik secara keseluruhan.
 Systemic poisons (keracunan sistemik)
Dalam membedakan bahan yang bersifat irritasi yang bisa menyebabkan reaksi lokal pada daerah yang terkena, maka keracunan sistemik adalah terabsorbsinya bahan kimia oleh tubuh yang bisa menyebabkan kerusakan apada sistem fisiologis internal tubuh oleh karena aksi langsung maupun tidak langsung.
 Asphyxiants
Bahan kimia yang mempunyai sifat aspixiant adalah bahan – bahan kimia yang dapat menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga dapat menimbulkan mati lemas misalnya nitrogen. Asphyxiant dapat mencegah oksigen dalam darah, merintangi transportasi oksigen oleh darah ke jaringan tubuh atau mencegah proses oksigenasi dalam jaringan.
 Sensitizers
Sensitizer adalah bahan kimia yang mempunyai aksi sensitif terhadap jaringan tubuh yang dapat menyebakan individu menjadi alergi. Akibat lain jika kontak dengan kulit dapat menyebakan keracuanan.
 Narcotics dan anesthetics
Bahan kimia yang bersifat narkotik dan anastesi, dalam dosis rendah dapat berinteraksi dengan sistem syaraf pusat, sehingga menyebabkan perasaan mengantuk atau tidak sensitif (menjadi kebal). Dalam dosis tingfgi akan menyebabkan reaksi bawah sadar (unconsciousness), koma, lemas dan akhirnya dapat meninggal.
 Fibrogenic dusts
Debu jenis ini bila terdeposit (mengendap) pada jaringan dapat menyebakan pengerasan (scar) pada jaringan tersebut.
 Nuisance material (bahan penggaggu)
Adalah bahan – bahan yang dapat mengganggu kenyamanan (discomfort) pada tingkat rendah, dan itu menghasilkan efek toxic dan kadang – kadang tidak dipedulikan sebagai bahan yang mengganggu.(8)

c. Faktor Biologi
Hazards biologis dapat berupa binatang, bacteri, jamur, dan virus. Hazards biologis yang berupa binatang dapat dikenali/diidentifikasi dengan adanya kehidupan binatang yang dapat dilihat, seperti binatang buas dan binatang penyebar penyakit (lalat, nyamuk dan tikus). Tetapi untuk jenis –jenis bacteri, jamur dan virus tidak mudah dilakukan identifikasi terutama bagi kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan observasi terhadap karyawan-karyawan yang sedang menderita penyakit. Pengaruhnya terhadap karyawan adalah:
 Binatang buas adalah bukan merupakan hazards kesehatan akan tetapi dapat mengganggu keselamatan jiwa, misalnya karyawan penebang kayu di tengah hutan mempunyai resiko terhadap ancaman binatang buas. Sedangkan binatang seperti nyamuk, lalat, dan tikus dapat menyebabkan penyakit menular.
 Bacteri, jamur, dan virus dapat menyebabkan penyakit menular seperti influenza, TBC, kolera, disentri dan sebagainya.(8,10)

d. Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan yang dapat menyebabkan stress :
1. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di laboratorium kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan
2. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3. Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama teman kerja.
4. Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sector formal ataupun informal.(10)

e. Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara popular kedua pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job. Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan, hal ini disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor yang disainnya tidak sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low back pain).(10)
Workstation design adalah bagaimana kita mendesign atau membuat suatu tempat kerja menjadi nyaman dan tidak menimbulkan kelelahan, termasuk disini adalah bagaimana mengatur atau meletakkan peralatan kerja yang digunakan.
Workplace design adalah menyangkut masalah berapa kebutuhan minimal ruangan yang diperlukan sehingga seseorang dapat melakukan pekerjaannya dengan cukup leluasa.(8)
B. PENILAIAN LINGKUNGAN KERJA
Penilaian lingkungan mencakup pengukuran terhadap paparan bahan berbahaya (hazardous material), termasuk kemungkinan paparan (potensial exposure), perbandingan antara paparan dengan dan standar yang berlaku dan merekomendasikan untuk mengontrol paparan tersebut.(11)
Keberadaan bahan kimia di atmosfir lingkungan kerja tidak berarti seluruh bahan tesebut akan terbawa hingga organ penting pekerja hingga dapat menyebabkan kerusakan. Dosis efektif yang perlu diukur tergantung pada ukuran partikel (debu) di udara, pemakaian pelindung (respirator dan pakaian pelindung), dan adanya agen kontaminan lain di lingkungan kerja. Terdapat banyak cara untuk agen kontaminan untuk masuk ke dalam tubuh pekerja, bukan hanya melalui saluran pernapasan, melainkan juga melalui saluran digestive, dan juga melalui kulit. Semua port d’entry ini perlu untuk diperhatikan dalam mengukur potensi agen berbahaya di lingkungan kerja.(11)
Pengambilan dan analisis bahan kontaminan di udara
Rute tersering dari masuknya bahan kontaminan dari luar tubuh adalah melalui pernapasan, sehingga sangatlah penting untuk mengevaluasi kontaminasi airborne dalam program kesehatan lingkungan kerja. Terdapat 2 metode utama dalam mengukur level bahan kontaminan dalam udara, yaitu pengukuran dalam area bernapas individu dan pengukuran dalam suatu area. Pada pengukuran area bernapas indivudu, pengkuruan dilakukan pada daerah dimana udara akan terinhalasi oleh pekerja (alat pengambil sampel diletakkan sedekat mungkin dengan hidung dan mulut) agar udara yang tertangkap serupa dengan udara yang masuk ke dalam paru-paru pekerja. Jika pengukuran area bernapas individu tidak adekuat untuk dilakukan, metode pengukuran dalam suatu area dapat dilakukan. Alat pengambil sampel diletakkan pada posisi tertentu untuk mengukur emisi dari sumber, mengukur konsentrasi dalam beberapa area dalam lingkungan kerja secara bersamaan.(11)
Cara diatas merupakan metode untuk mengukur agen berbahaya secara individual atau beberapa agen. Secara general, metode pengambilan dan analisis dibagi menjadi gas, uap dan partikel udara. Untuk pengambilan gas dan uap, terdapat 5 metode:
1. Pengambilan aktif, dengan mengambil volume udara melalui sistem koleksi yang kemudian dianalisa
2. Pengambilan pasif, dengan menggunakan dosimeter yang mengambil molekul gas dan uap melalui difusi di atmosfir
3. Pengambilan melalui medium sensitif dengan scan warna, yang berubah warna dengan pada konsentrasi tertentu sehingga dapat dibaca secara langsung
4. Pengambilan melalui wadah yang digunakan untuk membawa sampel udara ke tempat tertentu untuk dianalisa
5. Evaluasi langsung dengan pembacaan menggunakan alat yang sensitif terhadap gas dan uap tertentu. Alat-alatnya berupa chromatograph portable, spectrophotometer infrared, alat dengan detektor spesial, monitor tetap dan indikator colorimetric.(11)
Evaluasi agen fisik
Evaluasi agen fisik memerlukan alat khusus yang biasanya tidak selalu tersedia (kecuali sound level meter). Evaluasi lainnya seperti radiasi ionizing atau nonionizing membutuhkan pelatihan khusus. Agen fisik berupa bising diukur dengan sound level meter yang terdiri dari mikrofon, sirkuit elektronik, dan sebuah meter yang memberikan ukuran dalam bentuk desibel. Dapat pula digunakan alat berupa noise dosimetry menggunakan alat perekam dengan mikrofon yang diletakkan didekat telinga pekerja untuk merekam paparan bising.(11)
Evaluasi agen fisik lainnya biasanya membutuhkan peralatan khusus untuk mengukur agen fisik seperti getaran menggunakan alat vibration meter, radiasi mengion terutama sinar X dan sinar gamma menggunakan alat yang disebut Gieger-Muller survey. Begitu pula dengan pengukuran suhu panas dan ekstrim yang biasanya dilakukan oleh para ahli kesehatan lingkungan kerja, dengan menggunakan termometer bola basah, termometer bola kering dan termometer bola globe.(12)

NILAI AMBANG BATAS
Ahli kesehatan lingkungan kerja harus menentukan apakah paparan dapat menyebabkan kerusakan pada mereka yang terekspose. Perlu dilakukan perbandingan dengan standar yang telah ditentukan oleh para pakar. Standar yang digunakan adalah TLV (threshold limit value) atau nilai ambang batas (NAB). Standar ini diperbaharui setiap tahun oleh komitte TLV dan telah dipublikasikan sejak pertengahan tahun 1940. Pada panduan TLV, terdapat NAB untuk bahan kimia, agen fisik (panas, radiasi, laser, bising dan getar, frekuensi radio, radiasi infrared dan cahaya).(11)
Terdapat 3 kategori NAB yang spesifik, yaitu sebagai berikut:
1. NAB rata-rata selama jam kerja, yaitu kadar bahan-bahan kimia di udara lingkungan kerja selama 8 jam per hari atau 40jam per mingu dimana hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang-ulang, sehari-hari dalam melakukan pekerjaannya, tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan maupun penyakit akibat kerja.
2. NAB batas pemaparan singkat, yaitu kadar tertentu bahan-bahan kimia di udara lingkungan kerja dimana hampir semua tenaga kerja dapat terpajan secara terus-menerus dalam waktu yang singkat, yaitu tidak lebih dari 15 menit dan tidak lebih dari 4 kali pemajanan per hari kerja, perubahan jaringan yang kronis serta efek narkosis. Dalam daftar disingkat dengan PSD atau Pemajanan Singkat yang Diperkenankan
3. NAB tertinggi, yaitu kadar tertinggi bahan kimua di udara lingkungan kerja setiap saat yang tidak boleh dilewati selama melakukkan pekerjaan. Dalam daftar disingkat dengan KTD atau Kadar Tertinggi yang Diperkenankan(2)(12)
Kegunaan Nilai Ambang Batas
Nilai ambang batas ini akan digunakan sebagai rekomemdasi pada prakterk kesehatan lingkungan kerja perusakaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Dengan demikian NAB antara lain dapat pula digunakan sebagai:
1. Kadar standar untuk perbandingan
2. Pedoman untuk perencaan proses produksi dan perencanaan teknologi pengendalian bahaya-bahaya di lingkungan kerja.
3. Menentukan substitusi bahan proses produksi terhadap bahan yang lebih beracun dengan bahan yang kurang beracun
4. Membantu menentukan diagnosis gangguan kesehatan, timbulnya penyakit-penyakit dan hambatan-hambatan efisiensi kerja akibat faktor kimiawi dengan bantuan pemeriksaan biologik.(12)
Kategori Karsinogenitas
Bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogen, dikategorikan sebagai berikut:
A-1 Terbukti karsinogen untuk manusia (Confirmed Human Carcinogen) Bahan- bahan kimia yang berefek karsinogen terhadap manusia, atas dasar bukti dari studi-studi epidemioligi atau bukti klinik yang meyakinkan, dalam pemajanan terhadap manusia yang terpajan.
A-2 Diperkirakan karsinogen untuk manusia (Suspected human Carcinogen) Bahan kimia yang berefek karsinogen terhadap binatang percobaan pada dosis tertentu, melalui jalan yang ditempuh, pada lokasi-lokasi, dari tipe histologi atau melalui mekanisme yang dianggap sesuai dengan pemajanan terhadap tenaga kerja terpajan. Penelitian epidemioligik yang ada belum cukup membuktikan menigkatnya resiko kanker pada manusia yang terpajan.
A-3 Karsinogen terhadap binatang. Bahan-bahan kimia bersifat karsinogen pada binatang percobaan pada dosis relatif tinggi, pada jalan yang ditempuh, lokasi, tipe histoligik atau mekanisme yang kurang sesuai dengan pemajanan terhadap tenaga kerja yang terpapar.
A-4 Tidak diklasifikasikan karsinogen terhadap manusia. Tidak cukup data untuk mengklasifikasikan bahan-bahan ini bersifat karsinogen terhadap manusia ataupun binatang.
A-5 Tidak diperkirakan karsinogen terhadap manusia.(12)

Nilai Ambang Batas Campuran
Nilai ambang batas campuran adalah apabila terdapat lebih dari satu bahan kimia berbahaya yang bereaksi terhadap sistem atau organ yang sama, di suatu udara lingkungan kerja, maka kombinasi pengaruhnya perlu diperhatikan. Jika tidak dijelaskan lebih lanjut, efeknya dianggap saling menambah.
Dilampaui atau tidaknya Nilai Ambang Batas (NAB) campuran dari bahan-bahan kimia tersebut, dapat diketahui dengan menghitung dari jumlah perbandingan diantara kadar dan NAB masing-masin, dengan rumus sebagai berikut:

C1 + C2 + ........ Cn =.....................
NAB (1) NAB (2) NAB (n)
Jika jumlahnya lebih dari 1 (satu) berarti Nilai Ambang Batas campuran dilampaui.(12)
Unit Nilai Ambang Batas
Nilai Ambang Batas diekspresikan dengan ppm atau mg/m³. NAB untuk suspensi bahan padat atau droplet cairan dalam media gas (aerosol) menggunakan unit mg/m³. NAB untuk gas dan vapor (uap) digunakan unit ppm, dan juga dapat digunakan unit mg/m³. Semua unit ini hanya dapat digunakan jika bahan kimia berada dalam temperatur yang normal (25ºC) dan tekanan yang normal (760 torr). Untuk mengkonversi ppm  mg/m³ atau mg/m³  ppm rumusnya adalah:
NAB dalam ppm = (NAB dalam mg/m³) (24,45)
(berat bahan dalam gram molekuler)
Atau
NAB dalam mg/m³= (NAB dalam ppm)( berat bahan dalam gram molekuler)
24,45

MENGONTROL BAHAN BERBAHAYA
Untuk menyelesaikan tahap penilaian lingkungan kerja, tahap terakhir yang diperlukan adalah mengontrol dan memberikan rekomendasi dalam memperbaiki kondisi berbahaya yang didapatkan selama penilaian dan juga potensi berbahaya yang dapat terjadi dikemudian hari. Cara yang dilakukan untuk mengontrol adalah substitusi atau menggantikan bahan toksik dengan bahan nontiksik jika dapat dilakukan. Menggatikan bahan berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali. Cara lainnya adalah dengan mengontrol eksposure terhadap bahan toksik dengan menutup struktur yang merupakan sumber emisi, mengisolasi komponen berbahaya dan meminimalisir kontak kerja dan juga ventilasi. Penggunaan pipa dalam mengeliminasi percikan bahan kimia dapat pula mengeliminasi bahaya dalam lingkungan kerja.(4)
MONITORING BIOLOGIS
Parameter penting lainnya untuk penentuan penyerapan dari zat-zat kimia ke dalam tubuh manusia (yang merupakan pelengkap dari evaluasi bahaya-bahaya lingkungan kerja) ialah Indeks Pemaparan Bioligis (Bioligical Exposure Indices) dari para perkerja. Pemaparan biolobis merupakan penilaian keseluruhan pemaparan terhadap zat-zat kimia yang ada id tempat kerja melalui pengukuran dari faktor penentu (determinasi) yang sesuai, dalam spesimen biologis yang berasal dari pekerja pada waktu tertentu. Faktor penentu tersebut dapat berupa zat kimia itu sendiri atau metabolitnya, ataupun karakteristik dari perubahan biokimiawi yang disebabkan oleh zat kimia tersebut.(4)
Spesimen biologis tersebut berupa air seni, darah, udara pernafasan, atau spesimen biologis lainnya yang berasal dari pekerja terpapar. Hasil pengukuran tersebut kemudian dibandingkan dengan standar berupa Indeks Pemaparan Biologis yang merupakan nilai-nilai acuan yang digunakan sebagai panduan dalam mengevaluasi bahaya-bahaya kesehatan yang potensial dalam prakterk kesehatan lingkungan kerja.(4)
Indikator biokimiawi dan selluler juga perlu dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran dan penelitian. Penelitian secara terus menerus dilakukan terhadap indeks biokimiawi tentang efek kepada hati (induksi enzim, perioksidasi lipid dan indeks lainnya yang bertalian dengan perubahan fungsi hati; metabolisme porfirin); indeks biokimiawi dan selluler tentang efek kepada ginjal dari bahan kimia eksogen; indeks biologis untuk pendepatan terhadap genotoksisitas pada manusia; dan indeks biokimiawi dari koksisitas terhadap jaringan saraf dari pemajanan terhadap bahan neurotoksik.(13)
Agar NAB menjadi operasional telah dibangun sumber daya manusia sebagai pelaksanaannya dan sarana teknis (laboratorium serta alat pelengkap dan lain-lainnya) untuk melaksanakan pengujian. Pengukuran tidak hanya dilakukan kepada kadar dalam lingkungan kerja melainkan juga terhadap kadar dalam tubuh manusia. Dengan besarnya permasalahan sunmber daya manusia beserta peralatan pengujian masih harus lebih dikembangkan lagi.(14)
C. Pengendalian Lingkungan Kerja
Pengendalian lingkungan kerja dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemaparan terhadap zat/bahan yang berbahaya di lingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hal ini hanya dapat dicapai dengan teknologi penegendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.(4)
Salah satu tujuan dari peraturan perundangan dalam bidang keselamatan kerja adalah untuk memberikan perlindungan pekerja dari paparan bahaya yang efeknya terhadap kesehatan baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek. (4)
Pengendalian haruslah hirarki. Hirarki pengendalian adalah langkah urutan, prioritas pilihan yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi paparan. Bila dimungkinkan menerapkan kombinasi pengendalian untuk meminimalkan paparan. Waktu menentukan cara mengendalikan paparan semua kemungkinan rute paparan terhadap tubuh harus diperhitungkan, sebagai contoh: bila paparan melalui pernafasan maka pengendalian harus melindungi atau meminimalkan paparan udara dalam lingkungan kerja, bila paparan dapat melalui kulit maka kontak dengan kulit harus dikurangi. (4)
Pada prakteknya sering digunakan kombinasi jensi pengendalian. System pengendalian haruslah di disain sesuai dengan tingkat resikonya. Resiko bahaya haruslah dinilai dengan memperhatikan akibat kegagalan system pengendalian. Bila ada bahaya paparan yang bersifat kronik kegagalan yang bersifat sementara tidaklah terlalu serius, tetapi bila ada paparan tinggi yang dapat menimbulkan komplikasi serius seperti pada kasus sensitizer dan factor karsinogen factor keamanan perlu diikutkan dalam disain pengendalian. Bila potensi bahaya cukup tinggi perlu pula pendukung lain dalam pengendalian. Bila telah dilakukan pengendalian seperti yang tersebut di atas masih ada pelepasan paparan yang tidak tetrkontrol berarti perlu pembatasan peningkatan resiko terhadap kesehatan dan segera disusun kembali pengendalian yang tepat secepatnya. (4)
Pada tempat kerja dengan pengendalian paparan, perlu adanya petugas dengan pengetahuan khusus seperti: (4)
• petugas yang menangani perubahan proses dan peralatan secara teknis
• Substitusi dengan zat yang kurang toksisitasnya
• Membuat disain dan memasang instalasi untuk pengendalian engineering
• Memeriksa, menguji dan memelihara pengendalian engineering
• Pemilihan, pemakaian dan pemeliharaan alat pelindung diri khususnya respirator protective
Berkenaan denagan pelaksanaan hygiene industry yang benar maka system pengendalian mempunyai dua bentuk yaitu perangkat lunak(software) dan perangkat keras (hardware) yang dapat diterapkan secara bersama-sama atau terpisah,
Perangkat lunak terdiri dari: (4)
• Substitusi dengan bahan yang lebih rendah bahayanya
• Metode kerja untuk lebih menurunkan paparan kepada pekerja
• Pelatihan pekerja untuk mengadopsi metode kerja yang aman
• System jadwal kerja untuk membatasi waktu paparan
Perangkat keras terdiri dari:
• proses tertutup/isolasi
• Supresi emisi
• Pembatas pada sumber
• Ventilasi tambahan pada sumber
• Ventilasi untuk menurunkan konsentrasi bahan berbahaya
• Perlindungan pekerja dari emisi
• Pamakaian alat pelindung diri
Engineering control
Bila menangani kesehatan di tempat kerja yang berkaitan dengan resiko bahaya dengan maksud menurunkan resiko menggunakan system engineering control maka problem yang harus diatasi adalah : (4)
• Berkaitan dengan sumber emisi atau bahaya
• Pemeriksaan media perantara hazard antara sumber dengan pekerja
• Perlindungan pekerja dan populasi yang terpapar
Penanganan sumber bahaya:
Sumber emisi udara polutan dapat diatasi dengan:
• Substitusi bahan toxic dengan bahan yang lebih rendah bahayanya
• Rubah prosesnya sehingga tidak dihasilkan bahan berbahaya
• Isolasi sumber emisi untuk meminimalkan permukaan yang terbuka
• Siapkan extraction ventilasi unruk menangkap material pada tempat pelepasannya
• Supresi pada sumber dengan metode basah
Sumber bahaya emisi radiasi dapat di atasi dengan :
• Menurunkan intensitas dari sumber
• Merubah panjang gelombang radiasi ke bagian yang aman
• Tutup point emisi
• Pengurangan pada point emisi

Pada radiasi dengan kontak pada kulit:
• isolasi pekerja dalam ruang aman atau berlindung di balik lapisan pelindung
• Ubah kerja manual dengan remote control proses atau automatisasi
• Sediakan baju pelindung yang melindungi seluruh bagian tubuh
• Terapkan system kerja yang aman
• Pendidikan dan pelatihan pekerja untuk aplikasi system kerja yang aman

Secara garis besar, beberapa usaha pengendalian yang praktis dapat dilakukan : (4)
a. Pengendalian Enginering
1. Substitusi penggantian bahan-bahan yang kurang beracun(pelarut,bahan bakar,bahan baku,bahan-bahan lainnya) dapat merupakan cara yang efektif untuk pengendalian pemaparan bahan-bahan berbahaya.
2. Isolasi digunakan terhadap zat-zat yang berbahaya untuk mencegah kontak dengan pekerja.
3. Proses tertutup
4. Ventilasi menjamin suhu yang nyaman, sirkulasi udara segar di ruang kerja sehingga dapat melarutkan zat pencemar ke tingkat yang diperkenankan, serta mencegah zat pencemar di udara mencapai daerah pernafasan para pekerja.
5. Dengan cara basah mengendalikan disperse debu yang mengotori lingkungan kerja dengan menggunakan air atau bahan-bahan basah lainnya.
6. Good house keeping pemeliharaan dan kebersihan ruang dan peralatan penting untuk diperhatikan di tempat kerja dan mesin-mesin, pembuangan sampah yang adekuat dan kontribusi terhadap upaya mempertahankan pemaparan yang rendah terhadap zat-zat kimia dan debu.
b. Pengendalian Administratif
1. Pengaturan waktu kerja
2. Pengaturan tempat kerja
3. Pemisahan tempat kerja
Pengendalian Perorangan (Personal Control Measures)
Penerapan cara kerja yang baik meliputi disain prosedur kerja yang spesifik untuk mengurangi sebanyak mungkin penyebaran dan atau pemaparan terhadap zat atau bahan berbahaya di lingkungan kerja merupakan pendekatan yang tepat untuk melindungi para pekerja. Proses kerja dan bahaa kesehatan yag berhubungan harus dipelajari dengan seksama untuk menetapkan jenis pemaparan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pekerja, prosedur kerja apa yang bias diubah serta bagaimana caranya, agar bahaya atau risiko dapat dikurangi(Work practices). (4)
Penggunaan alat pelindung diri merupakan alternative lain untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun perlu diperhatikan bahwa alat pelindung diri harus sesuai dan adekuat untuk bahaya tertentu, resisten terhadap kontaminan-kontaminan udara, dibersihkan dan dipelihara dengan baik, serta sesuai untuk pekerja yang memakainya. Untuk alat tertentu seperti alat pelindung pernafasan, sumbat/tutup telinga, pakaian kedap air dn lain-lain mungkin tidak nyaman dipakai terutama dicuaca yang panas. Jadi mungkin diperlukan pengurangan jam kerja paling tidak pada waktu-waktu yang memerlukan pemakaian alat pelindung tersebut (Personal equipment). (4)
Pembatasan waktu selama pekerja terpapar terhadap zat tertentu yan berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan cara kerja, rotasi pekerja atau pengendalian administratif. Pengendalian administratif merupakan prosedur yang memungkinkan dilakukan penyesuaian jadwal kerja untuk mengurangi pemaaran (Limitation of the exposure time). (4)
Kebersihan perorangan yang meliputi kebersihan diri dan pakaiannya, merupakan hal yang penting, terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain. Disarming itu terdapat hal lain yang penting untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan para pekerja yaitu pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, penempatan kerja yang adekuat, pemeriksaan kesehatan berkala termasuk pemantauan biologis dari penemuan dini gangguan kesehatan, disamping pendidikan kesehatan untuk pekerja dan management, serta penerapan prinsip-prinsip keselamatan dan ergonomic di lingkungan kerja (Personal hygiene). (4)
Walaupun demikian, teknologi penendalian lingkungan kerja dan pengendalian kesehatan serta aspek-aspek lainnya harus terintegrasi dalam program yang menyeluruh dan bukan merupakan kegiatan yang berjalan sendiri-sendiri. Pengendalian lingkungan kerja secara efisien terhadap pemaparan zat atau bahan yang membahayakan memerlukan pendekatan multi disiplin dimana ilmu kesehatan dan lingkungan bahu-membahu satu sama lain untuk mencegah efek kesehatan yang tidak diinginkan di tempat kerja. (4)
Risk Management
Risk Management pada dasarnya adalah proses menyeluruh yang dilengkapi dengan alat, teknik, dan sains yang diperlukan untuk mengenali, mengukur, dan mengelola risiko secara lebih transparan. Wujud penerapan terbaik Risk Management merupakan suatu proses membangun kesadaran tentang risiko di seluruh komponen organisasi, suatu proses pendidikan bagaimana menggunakan alat dan teknik yang disediakan oleh Risk Management tanpa harus dikendalikan olehnya, dan mengembangkan naluri pengambilan keputusan yang kuat (khususnya terhadap risiko).
Kerangka Kerja Risk Management
Sebagai sebuah proses, kerangka kerja Risk Management pada dasarnya terbagi dalam tiga tahapan kerja (17)
1. Identifikasi Risiko
Identifikasi Risiko adalah rangkaian proses pengenalan yang seksama atas risiko dan komponen risiko yang melekat pada suatu aktivitas yang diarahkan kepada proses pengukuran serta pengelolaan risiko yang tepat. Identifikasi Risiko adalah pondasi dimana tahapan lainnya dalam proses Risk Management , dibangun.
2. Pengukuran Risiko
Pengukuran Risiko adalah rangkaian proses yang dilakukan dengan tujuan untuk memahami signifikansi dari akibat yang akan ditimbulkan suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio, terhadap tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Pemahaman yang akurat tentang signifikansi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil guna.
3. Pengelolaan Risiko
Pengelolaan risiko pada dasarnya adalah rangkaian proses yang dilakukan untuk meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai pada batas yang dapat diterima. Secara kuantitatif upaya untuk meminimalisasi risiko ini dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah yang diarahkan pada turunnya (angka) hasil ukur yang diperoleh dari proses pengukuran risiko.
Risk Assesment
Risk Assessment merupakan bagian dari kegiatan proses manajemen risiko, yaitu mencakup keseluruhan proses dari kegiatan menganalisa risiko dan mengevaluasi risiko. Kegiatan menganalisa risiko berupa kegiatan menggunakan informasi yang tersedia secara sistematis untuk menentukan bagaimana seringnya suatu kejadian mungkin akan terjadi dan dampak atau pengaruh yang akan timbul. Sedangkan mengevaluasi risiko merupakan suatu proses yang digunakan untuk menentukan prioritas yang diberikan oleh manajemen risiko dengan cara membandingkan tingkatan suatu risiko dengan standar, target ataupun kriteria lainnya yang ditentukan sebelumnya oleh manajemen.(18)















DAFTAR PUSTAKA

1. Suma’mur. Sejarah dan Hari Depan Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja in : Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT. Toko Gunung Agung. Jakarta. 1996. p:22-25.
2. Thalib, D. Higene Perusahaan-Industrial Hygiene in: Kebijakan Keseamatan dan Kesehatan Kerja Pertamina. Jakarta. p:1-21.
3. Buraena, S. Program Kesehatan Lingkungan in: Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo. Makassar. 2004. p:1-5.
4. Prinsip Dasar Kesehatan Kerja in: Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Kerja di Rumah sakit. Depkes RI. Jakarta. 1996. p:4-19.
5. Fowler, D. Industrial Hygiene in: Occupational Health and Safety. 2nd edition. National Safty Council. Illinois, USA. 1994. p:69-83.
6. Buraena, S. Walk Through Survey (Survei Jalan Sepintas). RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Makassar. p:1-4.
7. Thalib, D. Walk Through Survey-Survei Jalan Sepintas.
8. Anonym. Dasar-dasar Higene Industri (Untuk Operator).
9. Menakertrans RI, Persyaratan dan Tata Cara Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran in: Sambutan Menakertrans RI pada Upacara Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional dan Pernyataan Dimulainya Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Tahun 2005. Depnakertrans RI. Jakarta. 2005. p:13-35.
10. Kamal, K. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Pekerja in: Penerapan Kesehatan Kerja Praktis Bagi Dokter dan Manajemen Perusahaan. Program Studi Kedokteran Kerja, FKUI. Jakarta. 2007. p:62-67.
11. Tresnaningsih, E. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Masyarakat in: Pengembangan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium Analis Kesehatan. Depkes RI. Jakarta. 2007. p:1-11.
12. Fowler D.P. Industrial Hygine in: Current Ocuppational & Enviromental Medicine. 3rd editon. Mc. Graw Hill. New York. 2005. p: 638-635
13. Menaker RI. Surat Edaran Menaker RI Nomor: SE-01/MEN/1997 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingungan Kerja. Depnaker RI Jakarta. 1997. p: 6-9
14. Demers, Gordon dkk, Introductin To The Chemical Subtances in: 2007 TLVs and BEIs. 2002. p: 3-8
15. Suma’mur. Biomonitoring Dalam Proteksi Kesehatan Kerja (rangkuman) in Biomonitoring : Proceeding Simposium Pemantauan Biologik Dalam Proteksi Kesehatan Tenaga Kerja. EGC. Jakarta. 1994. p: 78 -83.
16. Lestari, K . Pengendalian Resiko Bahaya di Tempat Kerja in: Evaluasi dan Pengendalian Potensi Bahaya di Tempat Kerja. Asosiasi Hiperkes dan Keselamatan Kerja Indonesia. Jakarta. 2003. p: 1-10
17. Susanto, S. Risk Assesment dan Upaya Penembangan Jasa Konsultasi di Bidang Manajemen Risiko, Jakarta. 2007. p:1-5
18. Batu Parang, DS. Kerangka Kerja Risk Management. Jakarta. 2001. p: 1-8.