Kamis, 20 Agustus 2009

TRAUMA SOFT TISSUE WAJAH

Etiologi
Etiologi trauma soft tissue wajah bervariasi tergantung usia, jenis kelamin dan lokasi geografis. Jatuh dari ketinggian adalah penyebab tersering, sebanyak 48 – 51%. Diikuti oleh kecelakaan kendaraan bermotor, dan perkelahian.
Penilaian Luka
 Anamnesis
o Mekanisme trauma selengkap mungkin
o Status tetanus  jika injeksi booster terakhir dilakukan lebih dari 10 tahun lalu, harus diberikan suntikan toksoid tetanus (TT). Pada luka yang terkontaminasi, semua pasien harus diberi suntikan TT kecuali telah diimunisasi kurang dari 5 tahun terakhir.
 Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi
o Abrasi
o Tato traumatik
o Laserasi simpel / bersih
o Laserasi kompleks / kontusio
o Bekas gigitan
o Avulsi
o Luka bakar
• Palpasi
o Asimetri
o Bony step-off
o Krepitasi
o Bukti-bukti lain fraktur wajah
Pada pemeriksaan fisik jangan lupa untuk mencari juga cedera lain yang terkait
o Laserasi pada alis, kelopak mata, hidung ataupun bibir  nilai dengan seksama agar dapat menentukan terapi yang tepat dan mencegah deformitas dan gangguan fungsi nantinya
o Laserasi pada wajah bagian lateral, pelipis dan NOE mempunyai resiko cedera terhadap cabang nervus fasialis dan parotis dan duktus lakrimalis.
o Cedera kelopak mata dan orbita hampir selalu memerlukan pemeriksaan oftalmologis untuk mengetahui status visual dan ada tidaknya kerusakan kornea.


Biomekanika
 Konsep relaxed skin tension lines (RSTL) di wajah sangat berkaitan dengan terapi dan prognosis pada trauma soft tissue wajah.
 Dikatakan bahwa arah laserasi kulit pada trauma tumpul terjadi sebagai mekanisme protektif untuk meminimalisasikan cedera terhadap suplai darah di bawahnya karena pembuluh darah dan serat kolagen berjalan parallel terhadap RSTL.
 Keluaran estetik dari suatu luka di kulit tergantung dari hubungan luka tersebut dengan relaxed skin tension lines (RSTL), scar mempunyai prognosis yang lebih baik jika berjalan parallel dengan RSTL atau berada pada lipatan kulit alami.
 Jika terdapat laserasi ireguler namun parallel terhadap RSTL, luka tersebut dapat dieksisi dan ditutup sebagai garis lurus. Jika luka berjalan tegak lurus atau oblik terhadap RSTL, luka harus ditutup sebagaimana aslinya karena ireguleritas tersebut dapat memberi efek kamuflase yang lebih baik terhadap scar.
Klasifikasi
Trauma soft tissue wajah dapat diklasifikasikan sesuai tissue insult (kontusio, abrasi, laserasi, avulsi dan luka bakar baik thermal atau kimia). Dapat juga diklasifikasikan berdasarkan mekanisme trauma (misalnya gigitan anjing, dsb).
a. Kontusio
 Trauma tumpul pada wajah selalu mengakibatkan pembengkakan atau memar, dengan derajat dan luas yang bervariasi tergantung area yang terlibat. Di daerah kelopak mata atau bibir misalnya, akan terbentuk pembengkakan yang lebih besar dibandingkan di daerah dahi atau pipi.
 Jika terjadi ruptur pembuluh darah subkutan, dapat terjadi hematoma yang mungkin memerlukan tatalaksana primer atau sekunder. Pada prinsipnya, tidak ada tatalaksana khusus untuk kebanyakan kontusio wajah kecuali hematoma septal dan telinga, yang perlu dievakuasi segera.
 Banyak laserasi wajah yang juga terdapat kontusio di tepi-tepi kulitnya, dan diperlukan debridement tajam untuk meminimalkan resiko jangka panjang terbentuknya scar yang tidak diinginkan, perubahan pigmen ataupun atrofi soft tissue di bawahnya. Perdarahan dari dermis adalah pertanda kulit yang vital, sehingga kulit tersebut tidak boleh di-debridement.
b. Abrasi
 Abrasi pada wajah kebanyakan superficial dan mencakup kehilangan epitel dengan dermis papiler yang terekspos. Luka seperti ini cepat sembuh dengan obat topikal saja.
 Tumbukan antara wajah dengan permukaan tertentu (misalnya aspal) atau paparan terhadap materi eksplosif biasanya menyebabkan tertanamnya benda asing pada kulit. Kontak friksional yang ditimbulkan benda asing tersebut menngakibatkan dermis terpapar dan menyerupai cedera pada luka bakar derajat dua atau tiga tergantung dalamnya. Jika dibiarkan menyembuh begitu saja, pertumbuhan epitel baru diatas kontaminasi tersebut menghasilkan fenomena “traumatic tattooing”, di mana terjadi perubahan warna yang permanen. Pencegahannya adalah dengan debridement yang teliti.
c. Laserasi
 Benda tajam biasanya menghasilkan luka dengan tepi yang tajam dan bersih, yang mudah di-repair dan scar yang terbentuk biasanya halus. Hanya diperlukan debridement minimal atau malah tidak sama sekali, dan aposisi dari jaringan dilakukan dengan penutupan berlapis. Eksplorasi teliti dari luka harus dilakukan pada area yang di bawahnya terdapat organ vital, karena biasanya luka karena benda tajam lebih dalam dari tampaknya. Revisi scar linear jarang diperlukan kecuali sangat “mengganggu” RSTL.
 Laserasi stellata dihasilkan oleh trauma tumpul, ledakan atau crushing forces. Terbentuk “flap” kulit yang multiple, seringnya dengan kontusio di tepi-tepinya, mengelilingi area tengah di mana biasanya terjadi kehilangan jaringan yang lebih parah. Recoil elastic dari kulit sering memberi gambaran palsu terhadap adanya kehilangan jaringan yang signifikan. Jenis laserasi ini harus diperbaiki sebagaimana adanya dan hanya jaringan non-vital saja yang di-debridemen. Sekalipun mendapat tatalaksana awal yang baik, laserasi jenis ini sering mempunyai penyembuhan yang jelek, dan sering memerlukan revisi sekunder.
 Laserasi tangensial di mana terjadi undermine kulit dan tepi kulit terangkat, atau laserasi yang memiliki bentuk kurva linear atau semisirkular, menghasilkan fenomena ‘trapdoor deformity’. Luka menyembuh dengan jaringan yang ‘menumpuk’ pada sisi yang konkaf karena adanya kontraktur dari fibrosis serta obstruksi vena dan limfatik, sehingga ketebalan scar menjadi tidak sama. Deformitas tersebut dicegah dengan menciptakan tepi yang tajam dan vertical pada sisi flap, melakukan undermining permukaan bawah sisi yang berseberangan dari flap sehingga ketinggiannya sama, meletakkan jahitan pertama di dermis yang dalam di antara flap dan jaringan sekitarnya.
d. Avulsi
 Relative jarang, terjadi karena luka tembak atau luka karena benda tajam yang luas.
 Untuk defek yang kecil, dapat ditutup primer.
 Dalam tatalaksana awal, sebaiknya jangan dulu menggunakan flap lokal acak atau flap berpedikel, karena viabilitas jaringan sekitarnya sulit dievaluasi pada fase akut.
 Untuk defek yang besar yang tidak memungkinkan ditutup primer, dapat ditutup dengan wet-to-dry dressing dulu sampai saat yang tepat untuk dilakukan rekonstruksi.
e. Luka Gigit (bites)
 Meski terdapat di lokasi wajah yang kaya vaskularisasi, luka gigit tetap memiliki resiko infeksi yang signifikan karena kontaminasi yang besar. Selain menjadi jalan masuknya bakteri yang infeksius, biasanya luka gigit ini adalah kombinasi cedera multipel yaitu cedera penetrasi, kontusio dan avulsi.
 Gigitan binatang dan manusia memiliki jenis bakteri yang berbeda. Gigitan hewan misalnya anjing, bakterinya bermacam-macam (polymicrobial) meliputi S. aureus, streptokokus beta hemolitikus, bakteri anaerob dan fusobakterium. Gigitan kucing mengandung pasteurella multocida. Gigitan manusia mengandung lebih banyak konsentrasi bakteri anaerob tapi sering pula mengandung stafilokokus dan streptokokus alfa-hemolitikus.
 Kebanyakan kasus yang datang dalam 24 jam pertama ditangani dengan irigasi operatif, debridement terbatas dan penutupan primer. Dengan cara ini, resiko infeksi rendah dan parut yang dihasilkan lebih baik. Kasus yang datang lebih dari 24 jam, penanganannya masih kontroversial. Beberapa ahli lebih suka menunda penutupan untuk mengurangi resiko infeksi. Namun sumber lain tetap menyarankan penutupan primer meskipun ada resiko infeksi, dengan harapan hasil parut akan lebih baik; hal ini tentunya harusditunjang dengan antibiotika yang optimal, biasanya terdiri dari antibiotika spektrum luas seperti amoksisilin dengan asam klavulanat, disertai imunisasi tetanus dan profilaksis rabies.

TATALAKSANA
Tatalaksana awal pada trauma jaringan lunak wajah meliputi hal-hal berikut :
 Evaluasi cedera dan penanganan sesuai ATLS
 Kontrol perdarahan
 Intervensi dini untuk trauma jaringan lunak
 Evaluasi seksama terhadap adanya cedera okular
 Identifikasi benda asing
 Pemeriksaan klinis dan radiologis untuk mengeksklusi patah tulang



Setting operasi
Meskipun kebanyakan trauma jaringan lunak wajah dapat di-repair dalam setting rawat jalan menggunakan anesthesia lokal; trauma yang lebih luas yang melibatkan kelopak mata, bibir atau telinga sebaiknya ditatalaksana di dalam kamar operasi, baik menggunakan anestesi lokal ditambah sedasi, ataupun anestesi umum. Sebagai prinsip umum, prosedur apapun yang mungkin membutuhkan waktu lebih dari 1 jam dalam pengerjaannya, atau bila struktur wajah yang kompleks terlibat, atau jika terdapat keraguan apakah cedera melibatkan struktur yang lebih dalam; sebaiknya repair dilakukan di atas meja operasi.
Anestesia
Terdapat tiga tujuan penggunaan anestesi lokal dalam repair trauma jaringan lunak wajah, yaitu :
a. Menganestesi luka selama prosedur berlangsung pada pasien sadar
b. Memberikan efek analgesi di lokasi trauma pasca prosedur
c. Memfasilitasi hemostasis
Prinsip anestesi lokal :
 Infiltrasi lokal harus dibuat di tepi-tepi luka di mana sensasi sudah berkurang karena adanya cedera
 Volume spuit harus disesuaikan dengan ukuran jarum. Supaya tidak nyeri, digunakan jarum paling kecil (30 G) dengan spuit 1 cc atau 3 cc. Jarum 25 G dengan spuit 10 cc dapat digunakan unutk blok saraf di intraoral atau blok saraf wajah meskipun lebih nyeri.
 Mem-buffer pH zat anestesi lokal akan mengurangi nyeri saat infiltrasi. Unutk infiltrasi dengan volume yang besar, sebaiknya ditambahkan sedikit bikarbonat.
 Unutk luka yang luas, sebaiknya digunakan blok saraf regional untuk mengurangi jumlah total cairan anestesi yang diperlukan
 Infiltrasi anestesi lokal long-acting seperti bupivacaine pada lokasi luka dan sekitarnya berguna untuk meredakan nyeri hingga 24 jam pasa prosedur, hal ini terutama dipertimbangkan untuk pasien anak-anak.
 Batas aman volume anestesi lokal yang digunakan adalah : 7 mg/kg untuk lidokain dengan epinefrin, 4 mg/kg untuk lidokain tanpa epinefrin dan 1 mg/kg untuk bupivakain.
Wound preparation / debridement
 Pembersihan awal luka dilakukan menggunakan sabun yang lembut atau Betadine encer. Prinsipnya, jangan menggunakan larutan apapun yang tidak ditoleransi dengan baik oleh lapisan konjungtiva mata.
 Mencabut rambut di daerah luka biasanya tidak diperlukan karena keberadaan rambut menjadi panduan untuk melakukan rekonstruksi anatomis yang baik. Bulu alis dan bulu mata jangan dipernah dicabut karena pertumbuhan kembali tidak terjamin.
 Luka harus diperiksa dengan seksama terhadap adanya benda asing. Pada luka abrasi, bisa timbul traumatic tattoo jika ada benda asing yang tertinggal. Irigasi dengan larutan salin disertai penggosokan ringan dengan sikat scrub bedah atau sikat gigi bayi dapat dilakukan. Dermabrader dengan diamond wheel yang halus biasanya jauh lebih efektif. Penting untuk tidak menggunakan dermabrader terlalu dalam sampai ke reticular dermis atau hingga jaringan lemak terekspos, karena hal ini dapat menghasilkan scar yang hipertrofik.
 Eksisi tepi-tepi luka biasanya tidak diperlukan kecuali jaringan luka jelas terlihat hancur dan non-viable.
Teknik penutupan luka
Prinsip penanganan jaringan lunak wajah :
1. Kurangi kerusakan jaringan karena tindakan bedah
Jaringan harus ditangani dengan hati-hati menggunakan instrumen-instrumen kecil dan jika perlu, menggunakan kaca pembesar/lup
2. Minimalkan debridement tajam
Kebanyakan luka di wajah memerlukan eksisi minimal, tapi (kalaupun diperlukan) harus dilakukan dengan scalpel yang dipegang dengan sudut yang tepat terhadap permukaan kulit. Pada area yang berambut, insisi sebaiknya parallel terhadap folikel rambut untuk mengurangi kemungkinan mencederai folikel.
3. Lakukan repair luka sebagaimana adanya
Ajaran klasik adalah agar menutup luka sesuai tension lines dan lipatan alami kulit (RSTLs). Dalam kenyataannya, luka di wajah cenderung acak lokasinya dan mengikuti ajaran ini menjadi tidak praktis. Luka sebaiknya diperbaiki sebagaimana adanya. Biarkan luka sembuh secara alami dan menjadi matur, barulah dilakukan usaha mengoptimalkan jaringan parut.
4. Penutupan secara berlapis
Support dermal yang baik menjadi kunci memperoleh scar yang tipis dan rata. Karena jahitan biasanya diangkat lebih dini untuk mencegah track marks, bila hal ini disertai dermal support yang kurang baik terutama jika luka menyebrangi RSTL, parut luka dapat melebar. Jika diperlukan, dapat dilakukan undermining tepi luka untuk menciptakan lapisan yang lebih dalam untuk penjahitan serta eversi tepi luka. Tension di permukaan luka harus dibuat seminimal mungkin.


5. Gunakan fine sutures dan angkat jahitan secepatnya
Karena jaringan kulit wajah memiliki dermal support yang baik serta re-epitelisasi yang cepat, jahitan dapat diangkat antara 5 – 7 hari setelahnya. Jahitan selang-seling (alternate) dapat diangkat 3 hari pasca prosedur.
Teknik penjahitan luka
Meskipun semua teknik penjahitan luka (mulai dari simple, continuous, subcuticular, matras horizontal dan vertical) dapat digunakan pada kondisi-kondisi tertentu, jahitan yang harus sering dipakai terutama adalah jahitan simple dan continuous. Vaskularitas tepi-tepi luka yang sudah terganggu karena cedera, janganlah semakin diperburuk oleh teknik jahitan. Jahitan simple interuptus dan continuous non-interlocking menghasilkan strangulasi jaringan yang paling minimal di antara semua teknik jahitan. Terkadang jahitan matras vertical interuptus diperlukan untuk mengeversi tepi-tepi luka, namun biasanya support dermal yang baik sudah mencukupi sehingga teknik matras tidak diperlukan.
Sebaiknya untuk daerah wajah digunakan benang 6 – 0 atau 7 – 0. Jahitan diletakkan cukup dekat dengan tepi luka (1 – 2 mm) untuk mengurangi tension luka secara optimal. Simpul dibuat dengan menyisakan sedikit ruang untuk edema pasca operasi dan jangan sampai tepi luka terlihat memucat (blanching). Track marks jahitan terbentuk karena jahitan disimpul terlalu kencang, menyebabkan nekrosis jaringan, atau pengangkatan jahitan yang tertunda sehingga terbentuk epitelisasi di jalur jahitan.
Pada kulit kepala, benang yang lebih besar dapat digunakan misalnya 3 – 0 atau 4 – 0, dengan jahitan ditempatkan lebih jauh dari tepi luka. Karena struktur dan vaskularitasnya, kulit kepala dapat mentolerir penutupan yang lebih ketat untuk hemostasis. Jahitan dermis jangan digunakan karena dapat merusak folikel rambut. Support yang dalam diperoleh dari penutupan galea.
Perawatan pasca operasi
Balutan pada luka di wajah setelah dijahit biasanya tidak diperlukan, kecuali selapis salep untuk mencegah kekeringan luka. Beberapa ahli bedah menggunakan krim antibiotik namun hal ini masih kontroversial karena ternyata cloromycetin meningkatkan resiko terjadinya anemia aplastik. Krusta diangkat dengan menggunakan hydrogen peroksida encer dan salep antibiotik diulang kembali 2 – 3 kali perhari.
Setelah 48 jam, wajah dan rambut boleh terkena air karena telah dibuktikan bahwa jahitan yang terbasuh air dan sabun, terutama di wajah, tidak meningkatkan insiden infeksi luka.
Jahitan di wajah biasanya diangkat setelah 5 – 7 hari, sedangkan jahitan di kulit kepala dapat diangkat lebih lama, setelah 2 – 3 minggu. Setelah angkat jahitan, luka dapat ditutup dengan plester coklat steril atau dengan penemuan baru, cyanoacrylate adhesive.


KULIT KEPALA DAN DAHI
 Kulit kepala, dengan 5 lapisannya yang berbatas tegas, merupakan sebuah unit anatomis yang, mencakup dahi, meluas mulai dari batas supraorbita di bagian depan sampai garis nuchal superior di bagian belakang. Galea muskuloaponeurotik tidak hanya menjadi sumber perforator vascular ke kulit namun komposisi fibrosanya membuatnya menjadi jangkar yang baik untuk jahitan dalam. Galea dapat bergerak dengan mudah, memudahkan penutupan luka dan pembuatan flap lokal. Fasia subgaleal adalah bidang di mana avulsi kulit kepala hampir selalu terjadi.
 Cedera pada kulit kepala, terutama avulsi, sering berdarah dengan hebat dan pasien biasanya datang dengan syok hemoragik.
o memerlukan resusitasi cairan agresif serta transfusi darah
o Blood loss dapat diminimalisasikan dengan balut tekan dan/atau ligasi pembuluh darah galeal dan jahitan sementara atau menutup luka dengan staple.
 Suplai darah yang melimpah pada kulit kepala meningkatkan viabilitas fragmen jaringan yang mungkin tidak akan bertahan pada tempat lain.
o Debridement sebaiknya dilakukan hanya pada jaringan yang jelas nekrotik. Jaringan kulit kepala yang nampak hanya mempunyai sedikit sekali suplai darah harus dianggap masih hidup dan dipertahankan, karena rambut yang tumbuh pada kulit kepala tersebut sangat berguna.
o Jaringan yang non-viable dapat dengan mudah diangkat dan biasanya tidak menjadi sumber infeksi, karena suplai darah kulit kepala yang banyak tersebut memberi proteksi terhadap infeksi. Infeksi kulit kepala jarang ditemukan bahkan pada luka yang terkontaminasi sehingga tidak perlu mencukur rambut pada tepi-tepi luka, kecuali jika hal tersebut membantu penutupan luka.
 Primary closure adalah metode pilihan untuk kasus di mana tidak terdapat kehilangan jaringan yang signifikan (kurang dari 3 cm). Tepi luka cenderung mengerut dan defek yang tampaknya luas ternyata dapat ditutup dengan relative mudah menggunakan cara subgaleal undermining. Luka pada vertex kulit kepala biasanya lebih sulit ditutup karena pada area ini mobilitas jaringan berkurang. Scoring galea pada permukaan dalam adalah prosedur yang umum dikerjakan untuk mempermudah penutupan dan terdiri dari insisi transversal yang dibuat tegak lurus terhadap sumbu geser (advancement). Hati-hati agar tidak mencederai pembuluh subkutan yang lebih superficial.
 Jika ditemukan laserasi galea  dikerjakan primary closure berlapis.
o Galea melekat dengan kuat ke kulit di atasnya dan aproksimasinya akan mempermudah penutupan kulit. Kegagalan memperbaiki lapisan ini dapat mengakibatkan deformitas estetis, mulai dari depressed scar sampai kontraksi alis yang asimetris. Penutupan galea juga mencegah menyebarnya kontaminan luka ke rongga intracranial melalui vena emissary, yang menghubungkan kulit ke sinus venosus. Penutupan galeal yang memuaskan mencegah pembentukan masalah yang paling potensial dari osteomielitis sampai meningitis.
o Galea diaproksimasi dengan jahitan interrupted dengan benang 2 – 0 atau 3 – 0 yang perlahan diserap.
 Terbentuknya scar kulit kepala yang terlihat ditentukan oleh ada tidaknya alopesia, sehingga viabilitas folikuler harus benar-benar diperhatikan.
o Jahitan dermis tidak digunakan secara rutin, untuk mengurangi kemungkinan kerusakan folikel rambut. Mengembalikan kontinuitas galea akan menghilangkan kebutuhan untuk melakukan jahitan dermis, mengurangi tension jahitan kulit sehingga dapat diangkat lebih cepat.
o Penutupan kulit dikerjakan menggunakan jahitan continuous non-interlocking dengan benang nylon 3-0 atau Prolene pada dewasa dan 4-0 untuk anak-anak. Staples metalik juga dapat digunakan.
 Split Thickness Skin Grafting
Penempatan split-thickness skin graft (STSG) adalah pilihan tatalaksana terbaik untuk sebagian besar defek kulit kepala yang tidak dapat ditutup primer. STSG menghasilkan metode yang cepat dan dapat diandalkan untuk menutup luka dalam fase akut.
o Perikranium harus intak, karena graft tidak akan ‘diterima’ pada tulang yang terdenudasi.
o Donor di-harvest dalam ketebalan 0.14 inchi sampai 0.20 inchi menggunakan dermatome, biasanya dari paha lateral dan dapat ditanamkan sebagai sheet grafts, atau lebih sering di-mesh dengan rasio 1.5 : 1 dan ditanamkan dengan ekspansi minimal. Manfaat membuat mesh ada dua : pertama, penerimaan menjadi lebih baik tanpa perlu dilakukan bolstering dengan membiarkan cairan keluar dan kedua, menghasilkan kontraktur luka yang lebih besar, yang nantinya akan sangat berguna.
o Karena biasanya skin graft di kulit kepala mempunyai hasil yang kurang memuaskan dengan adanya depresi kontur dan alopesia, sering dilakukan eksisi serial mulai 6 bulan setelah penanaman skin graft. STSG biasanya berkontraksi antara 20%-40%, dan mengecilnya ukuran defek akan membantu insisi sekunder dan penutupan.
o Pada luka yang terkontaminasi berat, atau pada kasus di mana viabilitas perikranium diragukan, dapat digunakan homograft (dari cadaver) atau xenograft (dari babi) sebagai biological dressing sementara hingga waktu yang tepat untuk dilakukan autograft.
o Tidak adanya perikranium akan sangat mengurangi kesuksesan penerimaan skin graft. Pada kondisi ini, sangat disarankan untuk mengangkat tabula eksterna dari cranium, sehingga mengekspos diploe yang mempunyai vaskularisasi yang baik, yang merupakan bed yang sangat baik untuk dilakukan skin graft. Hal ini dapat dilakukan dengan burring away tabula eksterna atau mengebor beberapa lubang melalui tabula eksterna; metode manapun menghasilkan pertumbuhan jaringan granulasi untuk menutupi tulang yang terekspos. Setelah kira-kira 3 minggu biasanya area yang akan ditanami graft telah tertutupi oleh jaringan granulasi yang sehat. Meski metode ini efektif untuk mendapat epithelial coverage, metode ini menghasilkan tenggang waktu yang cukup lama antara pengangkatan tulang dan penanaman graft sehingga dapat meninggalkan defek dengan kontur yang buruk.
 Flap
Kecuali terdapat kontraindikasi, penggunaan flap menghasilkan solusi yang praktis. Dapat digunakan locally based pericranial flap jika defek cukup kecil, atau free tissue transfer jika defeknya lebih besar. Dengan flap perikranial, dimungkinkan transfer lapisan tipis yang tervaskularisasi ke tempat di mana akan ditanam skin graft. Meskipun awalnya digolongkan sebagai flap random, flap ini mendapatkan sebagian besar suplai darahnya dari fasia subgaleal di atasnya, yang biasanya dielevasi bersama flap. Supaya efektif, flap perikranium harus diletakkan di area dengan vascular yang besar dengan diseksi minimal mendekati pedikel. Suplai darah tersebut sangat sensitive sehingga balutan graft pasca operasi harus benar-benar ringan.
o Penggunaan flap lokal
Flap dengan jaringan lokal kulit kepala tepat digunakan untuk defek parsial yang relative kecil ataupun full-thickness defect (lebar 3 – 5 cm). Flap lokal bermanfaat karena dapat menutup defek dengan kulit berambut yang ketebalannya sama. Penggunaannya ditujukan pada menutup luka laserasi tajam yang bersih di mana jaringan sekitarnya masih viable. Banyak luka traumatic kulit kepala diakibatkan crush injury atau avulsi di mana kerusakan jaringan sekitarnya tak terhindarkan. Pada kondisi ini, karena elevasi flap dapat lebih mengganggu suplai darah yang telah kritis, menaikkan dan merotasi flap lokal tidak banyak manfaatnya.
o Pengunaan free tissue transfer
Free vascularized flap adalah prosedur yang panjang dan cukup sulit dikerjakan; dan saat yang tepat untuk melakukan prosedur ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Prosedur ini harus dilakukan dengan semi-elektif dan terencana. Defek dengan denudasi yang luas dapat dibalut dengan wet-dry dressing sampai free vascularized tissue transfer dapat direncanakan. Flap umumnya terdiri dari otot untuk volume dan vaskularisasi maksimal, dan pilihan flap hampir selalu merupakan m.latissimus dorsi karena permukaannya yang luas, pedikel yang relative panjang dan kemudahannya di-harvest. Pilihan lain meliputi m.rectus abdominis, flap skapula dan paraskapula serta omental fat flap. Hampr seluruh pilihan flap ini memerlukan STSG yang ditanam bersamaan untuk menutup permukaaan luar flap.

 Replantasi
 Replantasi kulit kepala secara bedah mikro adalah tatalaksana pilihan untuk avulsi kulit kepala total atau near-total.
 Cedera ini untungnya sangat jarang dan biasanya disebabkan rambut panjang yang tersangkut pada mesin yang berputar. Pemisahan terjadi pada subgaleal, bidang areolar longgar pada batas perifer kulit kepala di mana galea mempunyai resistensi yang kurang.
 Replantasi secara bedah mikro, bila berhasil, secara estetis dan fungsional sangat superior dibandingkan metode lain untuk menutup defek. Jika segmen avulsi tidak hancur dan termutilasi dan waktu iskemia hangat tidak lebih dari 12 jam; replantasi harus diusahakan.
 Replantasi yang sukses bergantung pada akses gawat darurat ke kamar operasi; menemukan pembuluh darah resipien di kulit kepala bagian temporal atau leher yang tepat (yang biasanya selalu dapat dilakukan); dan menemukan pembuluh darah di segmen avulsi yang tepat (tidak selalu dapat dilakukan). Untuk memindahkan repair mikrovaskular keluar dari zona trauma serta mengurangi tension pembuluh darah dan anastomosisnya, dapat digunakan graft vena. Meskipun kulit kepala dapat bertahan dengan hanya satu anastomosis arterial, mengidentifikasi setidaknya dua pembuluh darah yang cocok digunakan untuk repair akan lebih baik.
 Kongesti vena adalah penyebab utama kegagalan flap pasca operasi, sehingga sangat penting untuk memastikan aliran vena yang adekuat. Pilihannya : menganastomosis arteri kulit kepala langsung ke vena resipien, atau menggunakan lintah.
 Setelah direplantasi, biasanya masih akan dibutuhkan revisi sekunder dari jaringan parut, kelopak mata, telinga dan area yang mengalami alopecia.
 Avulsi pada dahi  sulit dilakukan penutupan primer. Mobilisasi ekstensif dan pembebasan galea dapat membantu namun hanya menutup defek beberapa sentimeter saja.
o Jika ketebalan avulsi hanya parsial dan sebagian atau seluruh m.frontalis masih ada  dapat dilakukan FTSG atau unmeshed STSG yang tebal dengan hasil yang baik.
o Jika hanya perikranium yang tersisa  dapat dilakukan STSG namun meninggalkan luka yang depressed yang nantinya memerlukan rekonstruksi sekunder dengan tissue expander dan/atau flap lokal.
o Mempertahankan kulit berambut di daerah alis dan mengembalikan alignment alis sangat penting untuk estetik  jika alis hilang seluruhnya dapat direkonstruksi dengan free scalp grafts atau transplantasi rambut dengan micrograft.

KELOPAK MATA
 Sebagai pertimbangan pada tatalaksana awal trauma kelopak mata adalah mengeksklusi adanya cedera pada bola mata.
o Jika kornea terekspos  pertahankan kelembaban kornea dengan irigasi NaCl teratur atau melapisi kornea dengan balutan yang direndam dalam NaCl. Saat operasi, lindungi kornea dengan soft lens.
o Lakukan pemeriksaan mata lengkap termasuk visus, bila perlu konsul ke spesialis mata
o Abrasi kornea dicurigai jika terdapat nyeri dan iritasi mata yang terkena  diagnosis definitive dicapai dengan melakukan pemeriksaan dengan fluorescein dye di bawah slit –lamp.
 Kelopak mata mempunyai dua lapisan :
o lapisan dalam meliputi tarsal plate dan konjungtiva
o lapisan luar meliputi kulit dan m.orbikularis okuli
Aposisi kulit, otot dan tarsal plate sangat penting karena laserasi konjugtiva biasanya sembuh sendiri dengan adekuat. Laserasi kelopak mata atas dapat mengganggu aponeurosis levator dan mengakibatkan ptosis pasca operasi jika tidak diperbaiki dengan benar. Ektropion kelopak mata bawah biasanya terjadi pada kasus di mana terdapat laserasi yang berjalan tegak lurus terhadap batas kelopak dan disebabkan realignment anatomis yang tidak baik, kehilangan jaringan atau cedera kantus.
 Laserasi kelopak mata dengan ketebalan penuh harus ditatalaksana dengan aproksimasi tepi kelopak terlebih dahulu dengan menyatukan garis kelabu (perbatasan skuamosa – mukosa) atau orifisium kelenjar Meibom dengan Vicryl 7 – 0, ujung benang ditinggalkan panjang sehingga dapat dijahitkan ke struktur sekitarnya. Sisa laserasi diperbaiki dengan jahitan berlapis menggunakan Vicryl 6 – 0 untuk tarsus dan otot, plain atau chromic gut 6 – 0 untuk konjungtiva (dengan simpul di dalam untuk mencegah iritasi kornea), dan nilon atau Prolene 6 – 0 atau 7 – 0 untuk kulit. (gambar 19.12) Aproksimasi tarsus dan tepi siliar adalah langkah penting jika tidak terdapat kehilangan jaringan yang signifikan.
Gambar 19.12
a. Kelopak mata terdiri dari dua lapisan : lamella dalam yang mencakup konjungtiva dan tarsus serta lamella luar yang mencakup kulit dan m.orbikularis okuli.
b. Penutupan lamella dalam
c. Penutupan lamella luar
 Untuk cedera partial-thickness dengan kehilangan kulit, dapat digunakan FTSG dari segmen yang teravulsi (jika ada) atau kelopak mata atas kontralateral atau area belakang telinga.
 Untuk defek full-thickness yang kecil dan meliputi kurang dari sepertiga kelopak, dapat dilakukan penutupan primer.
 Untuk defek sampai separuh bagian kelopak dapat ditutup primer dengan pembebasan kantus lateral.
 Defek yang lebih besar dari setengah bagian kelopak, memerlukan advancement pipi (Mustarde) atau upper lid switch procedure. Penggunaan prosedur flap yang lebih ekstensif tidak disarankan dalam fase akut. Pada beberapa kasus dengan kehilangan jaringan yang lebih superficial, FTSG dari kelopak mata atas kontralateral biasanya dilakukan.
APARATUS LAKRIMAL
Cedera apapun yang mengenai sisi medial dari kelopak mata, terutama kelopak bawah, dapat melibatkan system lakrimal. Inspeksi dan kanulasi punctum dengan probe akan mengkonfirmasi adanya cedera. Repair biasanya dikerjakan dengan loop intubation dengan punctae awalnya dikanulasi dengan silastic stents yang dimasukkan melalui duktus lakrimalis ke hidung, di mana stent kemudian diikat. Repair kanalikuli, sakus atau duktus dapat dilakukan dengan nylon 9 – 0 namun hal ini lebih sering merupakan teori, jarang dipraktekkan. Melakukan repair kelopak sisanya dan mempertahankan stent selama setidaknya 3 bulan biasanya menghasilkan drainase air mata yang adekuat. Cedera kanalikulus saja jarang menyebabkan masalah dengan air mata. Retrograde probing adalah alternatif yang dapat dipilih selain loop intubation.
LIGAMEN KANTUS
Robekan ligamen kantus jarang terjadi namun jika ada, harus dilakukan upaya untuk melekatkannya kembali ke dinding orbita. Microplates dapat digunakan untuk memfiksasi fragmen tulang dan mempertahankan kantus pada posisi yang benar. Jika kantus benar-benar terlepas dari perlekatannya, sulit mengembalikannya ke posisi yang benar. Wire canthopexy harus difiksasikan dengan ke anchorage artificial yang, di area kantus medial, dapat dibuat dengan pemasangan miniplates. Pada area kantus lateral, dapat dibuat lubang kecil menembus dinding lateral orbita. Jika cedera soft tissue disertai pula fraktur kominutif, mungkin diperlukan fiksasi transnasal.
HIDUNG
Laserasi hidung biasanya tidak kompleks namun dapat melibatkan kartilago di bawahnya atau tulang yang jika tidak dicurigai dapat terlewat. Suplai darah hidung yang berlimpah melalui septum dan kulit membuat bagian hidung yang terkena trauma biasanya tidak nekrotik asalkan masih terdapat pedikel. Laserasi full-thickness harus ditutup dengan 3 lapis : membran mukosa (chromic 4 – 0), kartilago yang robek (PDS 5 – 0 atau 6 – 0, clear nylon), kulit di atasnya (nylon 6 – 0). Begitu kartilago dan tulang telah terposisikan secara anatomis, kulit hidung biasanya teraproksimasi sendiri asalkan tidak terjadi kehilangan jaringan yang signifikan. Jahitan dermis umumnya tidak diperlukan, hal ini menguntungkan karena kulit hidung yang tebal, mempunyai banyak kelenjar sebasea dan konsentrasi bakteri yang tinggi akan membuatnya rentan terhadap terbentuknya abses pada jahitan. Jika terdapat kehilangan jaringan kartilago, pertimbangkan untuk melakukan graft kartilago primer untuk mencegah kontraktur pasca operasi dan depresi parut meskipun sebenarnya prosedur ini tidak sesering itu diperlukan.
 Trauma abrasi / avulsi
o Avulsi partial-thickness paling baik dibiarkan saja dan diterapi dengan obat topikal karena kemampuannya untuk menyembuh yang sangat baik
o Untuk lesi yang lebih dalam yang menembus dermis , FTSG dari area pre atau post-aurikular menghasilkan warna yang paling mendekati warna kulit hidung dan mencegah depresi luka yang telah menyembuh.
o STSG menghasilkan penampakan yang transparan dan contracted, sehingga sebaiknya dipertimbangkan hanya pada avulsi partial-thickness di mana masih tertinggal sebagian dermis.
o FTSG harus difiksasikan dengan tie-over dressing selama 5 – 7 hari, karena revaskularisasi mungkin belum akan sempurna dalam waktu kira-kira 1 minggu setelah FTSG ditanam.
o Penanaman graft dapat ditunda untuk meningkatkan kualitas bed resipien jika terdapat resiko kontaminasi yang tinggi atau jika terdapat kartilago yang terekspos.
o Kulit nasal dapat survive bahkan pada trauma avlusi yang luas dengan pedikel yang sempit. Selama masih terdapat perdarahan dari tepi dermis jaringan yang terpotong, flap nasal tersebut harus dikembalikan dan biasanya akan tetap hidup.
 Trauma amputasi
o Tatalaksana trauma amputasi tergantung dari ukuran bagian yang terpisah.
o Segmen hidung berukuran 2.5 cm atau kurang dapat diganti dengan composite graft.
o Revaskularisasi komplit akan terjadi lewat saluran vaskular yang sudah ada. Meski awalnya segmen tampak non-viable, segmen tersebut dapat berubah warna menjadi merah muda 10 – 14 hari setelahnya.
o Antikoagulan sistemik tidak meningkatkan keberhasilan replacement dengan composite graft namun vasodilator topical (misalnya pasta nitrogliserin) telah dilaporkan bermanfaat.
o Jika bagian yang teramputasi tidak ditemukan, pertimbangkan untuk melakukan composite grafting dengan donor dari telinga, terutama untuk defek kecil di batas cuping hidung yang bersih.
o Untuk amputasi hidung yang lebih besar, replantasi non-vascularized tidak akan berhasil dan segmen akan harus dibuang.
 Hematoma septal / perdarahan (epistaksis)
o Hematoma septal biasanya muncul sebagai pembengkakan hidung anterior dengan gejala obstruktif dan nyeri. Drainase harus segera dilakukan untuk mencegah pembentukan abses dan nekrosis avaskular dari kartilago septum. Tatalaksana adalah dengan insisi hemitransfiksi dan aproksimasi mukosa dengan jahitan transseptal plain gut 4 – 0. Stent septal plastik juga dapat digunakan dan difiksasi dengan jahitan transseptal Prolene ukuran besar.
o Kebanyakan epistaksis dapat berhenti spontan namun terkadang menetap dan memerlukan tatalaksana aktif. Adanya fraktur di bawahnya harus dicurigai. Jika perdarahan timbul dari sisi anterior, pemasangan tampon anterior saja sudah cukup. Jika perdarahan timbul dari posterior, diperlukan tampon anterior sekaligus posterior. Pilihan lain selain tampon adalah kateterisasi dengan balon.
o Intervensi operatif kadang juga diperlukan untuk meligasi pembuluh darah jika semua cara di atas tidak berhasil, namun jarang terjadi.
o Eksplorasi dinding orbita media untuk mengidentifikasi arteri etmoidales anterior dan posterior kadang diperlukan.
BIBIR
• Kunci suksesnya repair bibir adalah memastikan aproksimasi yang tepat dan alignment m.orbikularis oris serta vermilion border. M. orbicularis oris harus di-repair dengan Vicryl atau Dexon 4 – 0 atau 5 – 0; jahitan yang cukup harus dibuat untuk mencegah dehisens otot. Jika tidak diperbaiki dengan benar, dapat terjadi berkurangnya tinggi bibir, notching dan inkompetensi sfingter.
• Pada fase ini sebaiknya dilakukan realignment vermilion border yang akurat, menggunakan nylon 5 – 0 atau Prolene, sebelum melanjutkan dengan penutupan mukosa atau kulit.
• Membrane mukosa intraoral kemudian ditutup dengan chromic 4 – 0 atau plain gut.
• Kulit akhirnya ditutup dengan menggunakan chromic 5 – 0 untuk dermis dan nylon atau Prolene 6 – 0 untuk kulit.
• Tatalaksana trauma avulsi tergantung ukuran dari defek. Pada kasus yang jarang di mana terjadi kehilangan vermilion yang sangat sedikit, segmen yang terpotong tersebut dapat ditanam kembali sebagai free composite graft. Namun biasanya hal terbaik untuk dilakukan adalah melakukan insisi wedge. Dengan cara ini, meskipun terdapat kehilangan jaringan sampai 25%, tidak akan tersisa defek fungsional maupun estetik selain dari scar. Pada defek yang lebih besar di mana kehilangan jaringan bibir mencapai 50%, penutupan primer masih dapat dicapai namun akan selalu terdapat mikrostomia dalam berbagai derajat. Dengan defek > 50%, penutupan primer tidak mungkin dilakukan. Pada kondisi ini, skin-to-mucosal closure adalah terapi pilihan, dengan operasi sekunder untuk merekonstruksi apertura oral. Flap rotasi mungkin diperlukan. Pada kasus-kasus yang jarang, segmen bibir yang teramputasi dapat direplantasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar