Selasa, 21 April 2009

Tentang Appendisitis

Asrul Mappiwali

a. Peranan Lingkungan: diet dan higiene

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras



b. Peranan Obstruksi

Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%

Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi



Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks



akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .



c. Peranan Flora Bakterial

Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .

Diagnosis klinis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut. Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Primatesta (1994) melaporkan bahwa perempuan tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki dalam insidensi kasus apendektomi negatif. Hal ini dapat disadari mengingat perempuan yang masih sangat muda sering timbul gejala mirip apendisitis akut terutama penyakit ginekologis. Hal-hal penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit.

Gejala Klinis

Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidaknyamanan perut dibagian atas, diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri menetap dan terus menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau batuk.Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis acute. Penderita appendicitis acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur serta memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk menelentangkan diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain).

Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita disuruh batuk.. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8 der.C, pada kasus appendix yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan awal dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendix yang terletak retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada lokasi retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria. Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti gastroenteritis acut .



Untuk appendicitis acute yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).

* Perforasi :

Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.



* Peritonitis :

Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.



* Abses / infiltrat :

Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah

massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi

Anamnesis

· Nyeri / Sakit perut

Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh saluran cerna , sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak pin-point). Mula2 daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi ( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.

Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita apendisitis. Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk dengan satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang dimana yang nyeri

Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti misalnya:

a. Bagaimana hebatnya nyeri ?

b. Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak tinggal di tempat tidur saja ?

c. Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah ?

d. Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam ?

e. Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ?



Beberapa anak dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam, sesudah berolah raga atau sesudah bangun tidur. Anak dapat menunjukkan dan menceritakan perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi dari orang tuanya. Perlu diperhatikan bahwa sebagian orang tua sering membesar-besarkan keluhan anaknya.

Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan



sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.

· Muntah (rangsangan viseral) à akibat aktivasi n.vagus

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria



· Obstipasi à karena penderita takut mengejan

Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum



· Panas (infeksi akut) à bila timbul komplikasi

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.



Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter



Pemeriksaan Fisik

Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-kadang diagnosis salah pada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis yang tidak karakteristik dan sekaligus sulit diperiksa. Anak akan menangis terus-menerus dan tidak kooperatif.

q Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.

Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri .





q Palpasi

Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak mungkin dilakukan



Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :

· Nyeri tekan (+) Mc.Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis



· Nyeri lepas (+) à rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.



· Defens musculer (+) à rangsangan m.Rektus abdominis

Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.



· Rovsing sign (+)

Penekanan perut sebelah kiri à nyeri sebelah kanan, karena tekanan merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang meradang (somatik pain)

Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan







· Psoas sign (+)

Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum

Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks

Ada 2 cara memeriksa :

1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan

pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae

kanan à nyeri perut kanan bawah.

2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan

pemeriksa, nyeri perut kanan bawah



· Obturator Sign (+)

Dengan gerakan fleksi & endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang à nyeri (+)

Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium



q Perkusi à Nyeri ketok (+)

q Auskultasi

Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus



q Rectal Toucher / Colok dubur à nyeri tekan pada jam 9-12

Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada anak kecil karena biasanya menangis terus menerus



Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti pentobarbital (2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya setelah satu jam dilakukan pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan otot dinding abdomen sehingga memudahkan penilaian keadaan intraperitoneal

Tanda Peritonitis umum (perforasi) :

1. Nyeri seluruh abdomen

2. Pekak hati hilang

3. Bising usus hilang



Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut:

a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

b. Demam tinggi lebih dari 38,50C

c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)

d. Dehidrasi dan asidosis

e. Distensi

f. Menghilangnya bising usus

g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah

h. Rebound tenderness sign

i. Rovsing sign

j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal



Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%, ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar

Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999). Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Lally, 2001).



Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kwadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara:

1. mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) pada tempat tersebut.

2. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.

3. menetralisir dan mencairkan iritan.

4. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding jaringan granulasi.

Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut

Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).

Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut adalah C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah

Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).

.

2. Foto Polos abdomen

Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993).

Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.





Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.



Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis

Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis akut,terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya appendik tanda abses appendik Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chron’s, inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.



2. Ultrasonografi

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis apendisitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).



Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 – 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.

Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Ultrasound juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di konfermasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis.


3. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon

Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:



Ultrasonografi


CT-Scan

Sensitivitas


85%


90 - 100%

Spesifisitas


92%


95 - 97%

Akurasi


90 - 94%


94 - 100%

Keuntungan


Aman


Lebih akurat




relatif tidak mahal


Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik




Dapat mendignosis kelainan lain pada wanita


Mengidentifikasi apendiks normal lebih baik




Baik untuk anak-anak




Kerugian


Tergantung operator


Mahal




Sulit secara tehnik


Radiasi ion




Nyeri


Kontras




Sulit di RS daerah


Sulit di RS daerah



Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendisitis.

4. Laparoskopi (Laparoscopy)

Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun penggunaanya untuk kelainan intraabdominal baru berkembang sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digenakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi



5. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli bedahnya.



Difinisi histopatologi apendisitis akut:

1


Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2


Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3


Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.

4


Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,




dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.

5


Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan

keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

Reaksi fase akut (Acute phase reaction)

Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi (innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker, arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.



Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem immun dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune didapat (adaptive immune) Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan, tetapi juga sistem immun yang didapat.

Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:

1. Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)

Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus vaskuler yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui membran sel, diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen terekstravasasi kedalam jaringan juga, maka terjadilah mekanisme pembekuaan .

2. Emigrasi neutrofi

Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel. Sel PMN tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada area inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immun-kompleks dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik mengaktivasi komplemen C5a. Komplemen C5a ini kemudiaan menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi sel PMN biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi

3. Eemigrasi sel mononuclea

Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24 jam. Pada keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit bersama sel polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh proses fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin . Proses terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler

4. Pproliferasi seluler.

Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharides yang menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi, namun dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir dengan terbentuknya abses dan granuloma

Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan, intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran kencing, batu ureter kanan. Penyakit lain seperti pneumonia, demam dengue dan campak

q Kelainan Gastrointestinal

· Cholecystitis akut

· Divertikel Mackelli

Merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus halus yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan appendik. Divertikulum dapat mengalami inflamasi dan bahkan perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi inflamasi atau perforasi, harus ditangani dengan pembedahan.

· Enterirtis regional

· Pankreatitis

o Kelainan Urologi

· Batu ureter

· Cystitis



o Kelainan Obs-gyn

· Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

· Salphingitis akut (adneksitis) à keputihan (+)
Penyakit peradangan panggul. Tuba falopi kanan dan ovarium terletak dekat appendik. Wanita yang aktif secara seksual dapat mengalami infeksi yang melibatkan tuba falopi dan ovarium. Biasanya terapi antibiotik sudah cukup, dan pembedahan untuk mengangkat tuba dan ovarium tidak perlu.

Penatalaksanaan

o Appendiktomi

§ Cito à akut, abses & perforasi

§ Elektif à kronik



Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.


o Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)

§ Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)

§ Diet rendah serat

§ Antibiotika spektrum luas

§ Metronidazol

§ Monitor : Infiltrat, tanda2 peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, AL à bila baikà mobilisasi à pulang

Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam.

Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin



Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :

1. Cutis 6. MOI

2. Sub cutis 7. M. Transversus

3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis

4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum

5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum

Patofisiologi

Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan “organ sisa yang tidak diketahui fungsinya”. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem gastrointestinal Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi mesenterial berkembang lebih lemah.

Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu

Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 – 25 cmH2O dan meningkat menjadi 30 – 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan panda lumen sekum antara 3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam (Riwanto I, 1992). Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin kurang banyak berkembang.

Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri, faktor yang memicu terjadinya infeksi masih belum diketahui secara jelas. Pada apendisitis akut umumnya bakteri yang berkembang pada lumen apendiks adalah Bacteroides fragilis dan Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora normal usus. Bakteri ini menginvasi mukusa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan udem, hiperemis dan kongesti local vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi

Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut diantaranya: obstruksi lumen apendiks, Obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat Percobaan pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 - 70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker kolorektal pada usia lebih dari 40 tahun, ditemukan setelah 30 bulan sebelumnya dilakukan apendektomi, lebih besar dibandingkan jumlah kasus pada usia yang sama. Dia percaya bahwa kanker kolorektal ini sudah ada sebelum dilakukan apendektomi dan menduga kanker inilah yang meningkatkan tekanan intrasekal yang menyebabkan apendisitis


Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membrane mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut

Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan berkembangbiaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat , lebih lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi dapat juga mengubah kandungan bakteri. Hill et al menyimpulkan bahwa bakteri yang terdapat dalam feses orang Amerika dan Inggris (yang mengkonsumsi rendah serat) lebih tinggi dibandingkan feses orang Uganda, India, dan Jepang.

Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya insidesi apendisitis di negara maju seperti Amerika dan Inggris yang kurang mengkonsumsi serat lebih besar dibandingkan di Afrika dan Asia

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks (Kozar dan Roslyn, 1999; Way, 2003). Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan termasuk apendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 1997)



Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa . Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 – 24 jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mucus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple . Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antemesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang gangrene tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular .

Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir , tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general .

Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis rekurens, apendisitis khronis, atau yang lain. Apendisitis rekurens adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis khronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi khronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis partial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mucus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan “gross pathology” dari suatu apendisitis khronika .



Etiologi & Patogenesis

Penyebab belum diketahui


Faktor yang mempengaruhi :

*
Obstruksi

1. Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
2. Fecolith (35%) à masa feces yang membatu
3. Corpus alienum (4%) à biji2an
4. Striktur lumen (1%) à kinking , krn mesoappendiks pendek, adesi

*
Infeksi

Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia, tonsilitis dsb. Antara lain jenis kuman : E. Coli, Streptococcus


Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya appendisitis :

1. Adanya isi lumen
2. Derajat sumbatan yang terus menerus
3. Sekresi mukus yang terus menerus
4. Sifat inelastis / tak lentur dari mukosa appendik

Akibat sumbatan / obstruksi mengakibatkan sekresi mukus terganggu , sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada :

*
Limfe : Oedem kuman masuk ulcerasi mukosa Appendisitis akut
*

Vena : TrombusIskhemikuman masuk pus Appendisitis Supuratif
* · Arteri : Nekrosis kuman masuk ganggren Appendisitis ganggrenosa Perforasi peritonitis umum



Appendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi :

1. Sembuh
2. Kronik
3. Perforasi
4. Infiltrat / abses

Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminale, caecum dan omentum akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum pendek dan orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.


Sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan spekulasi umum di kalangan para ahli mengenai penyebab pasti dari apendisitis. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intra sekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis. Ada beberapa teori yang sudah diajukan, seperti teori sumbatan, teori infeksi, teori konstipasi dan teori hygiene ,namun hal ini juga belum jelas benar. Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan factor resiko yang utama,sedangkan pada umur muda adalah adanya pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya sumbatan dari lumen apendiks. Hal ini disokong dari hasil pemeriksaan histologis pascaoperasi dan eksperimen pada binatang percobaan. Seperti yang di dapat oleh Collins yang dikutip oleh Arnbjornsson pada 3400 kasus, 50% nya telah terbukti apendisitis dan ditemukan adanya factor obstruksi ini. Condon menyebutkan bahwa apendisitis adalah akibat dari obtruksi yang diikuti infeksi. Disebutkan bahwa 60% kasus berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa dan 35% karena stasis fekal atau fekalit sementara 4% karena benda asing lainnya dan 1% karena striktur atau hal-hal lainnya yang menyebabkan penyempitan dari lumen apendiks.Teori ini juga didukung oleh penemuan Wangensteen dan Brower (1939) yang mengatakan bahwa pada 75% apendisitis akut terdapat obstruksi dari lumen apendiks, dan pada apendisitis gangrenosa seluruhnya terdapat obstruksi.

Selanjutnya apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hyperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih banyak lagi terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan sebagai penyebab apendisitis pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan oleh para ahli dengan hebatnya perjalanan penyakitnya

Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren 77%, sedang bila tidak ditemukan apendikolit dan hanya gangren 42%.Satu seri lain menyebutkan bahwa apendisitis akut dengan apendikolit terdapat kemungkinan gangren atau perforasi sebanyak 50% . Selain fekalit dan hyperplasia kel limfoid kita hendak tidak boleh melupakan sebab obstruksi yang lain ,apalagi untuk negara kita Indonesia dan negara-negara Asia khususnya yaitu penyumbatan yang disebabkan oleh cacing dan parasit lainnya.

Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi akibat selanjutnya akan mengakibatkan penyumbatan pada lumen apendiks. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa ada yang beranggapan bahwa obstruksi yang terjadi merupakan adalah proses lanjutan dari inflamasi yang terjadi sebagai akibat adanya infeksi. Kalaupun obstruksi berperan hanyalah pada proses awalnya saja.19 Selanjutnya dipercaya juga bahwa infeksi bakteri enterogen merupakan factor patogenetik primer pada proses apendisitis.

Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu focus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin saja dapat terjadi karena dianggap apendiks adalah “tonsil” abdomen.

Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Tapi hal ini masih perlu dipertanyakan lagi, sebenarnya apakah konstipasi ini benar berperan dalam terjadinya apendisitis. Banyak pasien-pasien konstipasi kronis yang tidak pernah menderita apendisitis dan sebaliknya orang –orang yang tidak pernah mengeluh konstipasi mendapatkan apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hyperemia usus yang merupakan permulaan dari proses inflamasi. Bila kebetulan sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberiaan purgative akan merangsang peristaltic yang merupakan predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

Radang appendix biasanya disebabkan karena obstruksi lumen yang disertai dengan infeksi. Appendicitis diklasifikasikan sebagai berikut: (Ellis, 1989)


1. Acute appendicitis tanpa komplikasi. (cataral appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa.

Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula


2. . Acute appendicitis dengan komplikasi:
q Peritonitis
.q Abses atau infiltrat.

Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram - ) dan anaerob

Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.

Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan

Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix

Manifestasi Klinis
a. Symptoma.

Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdominal. Secara klinis nyeri dimulai difus terpusat di daerah epigatrium bawah atau umbilical , dengan tingkatan sedang dan menetap, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Nyeri akan beralih setelah periode yang bervariasi dari 1 hingga 12 jam, biasanya 4 - 6 jam , nyeri terletak di kuadran kanan bawah. Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis.

Hal ini begitu konstan sehingga pada pemeriksaan perlu ditanyakan pada pasien. Vomitus terjadi pada 75% kasus, umumnya hanya satu dua kali. Umumnya ada riwayat obstipasi sebelum onset nyeri abdominal. Diare terjadi pada beberapa pasien. Urutan kejadian symptoms mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus, bila terjadi.

b. Signa.

Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang lebih dari 1°C, frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar berarti telah terjadi komplikasi atau diagnosis lain perlu diperhatikan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila apendiks yang meradang terletak di anterior. Nyeri tekan sering maksimal pada atau dekat titik yang oleh McBurney dinyatakan sebagai terletak secara pasti antara 1,5 – 2 inchi dari spina iliaca anterior pada garis lurus yang ditarik dari spina ini ke umbilicus. Adanya iritasi peritoneal ditunjukkan oleh adanya nyeri lepas tekan dan Rovsing’s sign. Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 , meskipun bukan penyerta yang konstan adalah sering pada apendisitis akut. Tahan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunteer seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign.

PENYULIT

Menjadi penyulit untuk mendiagnosis appendisitis adalah posisi dari appendik dalam perut dapat bervariasi. Kebanyakan appendik terdapat di perut kanan bawah. Appendik seperti bagian lain dari usus, memiliki mesenterium. Mesenterium ini adalah suatu membran seperti kertas yang melekatkan appendik pada struktur lain di dalam abdomen. Jika mesenterium lebar, memungkinkan appendik untuk bergerak. Sebagai tambahan, appendik dapat lebih panjang dari normal. Kombinasi dari mesenterium yang lebar dan appendik yang panjang memungkinkan appendik untuk bergerak ke bawah ke dalam pelvis (diantara organ-organ pelvis pada wanita). Ini juga memungkinkan appendik untuk berpindah ke belakang kolon (disebut appendik retrokolika). Pada kasus lain, inflamasi pada appendik dapat tampak sebagai inflamasi pada organ lain, sebagai contoh, organ-organ pelvis pada wanita.

OPIOID AGONIS

MUHIDIN AKSA, Dr
Opioid agonis dimasukkan,tetapi tidak terbatas pada morfin, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil (lihat tabel 3-1) (Cherny, 1996). Obat ini adalah opioid yang mungkin paling banyak digunakan dengan obat anestesi inhalan selama anestesi umum. Dosis besar pada morfin, fentanyl, dan sufentanil telah digunakan sebagai satu-satunya obat anestesi pada pasien yang kritis. Gambaran penggunaan klinik yang paling banyak dipopulerkan pada opioid adalah jenis yang luar biasa pada dosis yang dibutuhkan untuk penanganan nyeri (Auburn dkk,2002). Variasi interindividual menekankan bahwa dosis biasa pada opioid mungkin menghasilkan efek opioid yang tidak adekuat atau berebihan. Perputaran opioid dapat bermanfaat ketika penambahan dosis tidak efektif dalam penanganan nyeri.

MORFIN
Morfin merupakan jenis opioid agonis dari semua jenis opioid yang dibandingkan. Pada manusia, morfin mengahasilkan efek analgesia, euphoria, sedasi, dan memiliki kemampuan yang terbatas untuk konsentrasi. Sensasi lain seperti mual, suatu perasaan tubuh yang hangat, dan pruritus, khususnya pada kulit di sekitar hidung. Penyebab nyeri berkepanjangan, tetapi dalam dosis rendah, morfin meningkatkan ambang rangsang terhadap nyeri dan memodifikasi persepsi pada stimulasi nyeri seperti bahwa obat tersebut tidak menimbulkan nyeri yang berkepanjangan. Selanjutnya, nyeri tumpul dikurangi dengan morfin dengan lebih efektif dibandingkan nyeri yang bersifat tajam,demikian pula nyeri yang bersifat intermitten. Berbeda halnya pada analgesia non opioid, morfin besifat efektif melawan nyeri yang timbul dari organ visceral seperti halnya pada otot skelet, persendian, dan struktur integumental. Analgesia paling sering muncul ketika morfin diberikan sebelum stimulus nyeri terjadi (Woolf dan Wall,1986). Hal ini merupakan pertimbangan yang berkaitan dalam pemberian opioid pada pasien sebelum stimulus pembedahan akut. Jika terjadi nyeri, bagaimanapun, morfin menghasilkan disforia dibandingkan euphoria.

Farmakokinetik
Morfin diabsorpsi dengan baik setelah pemberian secara intramuskuler (IM), dengan onset efeknya sekitar 15 sampai 30 menit dan puncak efeknya pada 45 sampai 90 menit. Durasi kerjanya sekitar 4 jam. Morfin dapat diberikan secara oral untuk penanganan secara intravena pada masa perioperatif, kemudian mengeliminasi pengaruh yang tidak diperkirakan pada absorpsi obat. Puncak efeknya ( waktu yang sama antara darah dan otak) setelah pemberian morfin secara IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid seperti fentanyl dan alfentanil, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 30 menit (Tabel 3-5). Morfin, 5 mg pada 4,5 ml salin dan dihirup sebagai suatu aeorosol dari suatu nebulizer, mungkin bekerja pada jalur saraf aferen di jalan napas untuk mengurangi dispnue yang berkaitan dengan kanker paru dan berkaitan dengan efusi pleura (Tooms dan McKenzie,1993). Depresi pernapasan yang sangat berat dapat terjadi setelah pemberian morfin aerosol (Lang dan Jadeikin,1998). Onset dan durasi pada efek analgesia pada morfin sama setelah pemberian IV atau inhalasi melalui suatu sistem pengangkutan obat paru yang menghasilkan suatu monodispersa aerosol yang baik (Derswitz dkk,2000; Thipphawong dkk, 2003).
Konsentrasi morfin plasma setelah injeksi IV yang cepat tidak berkaitan erat dengan aktivitas farmakologi opioid. Tampaknya, ketidaksesuaian ini menggambarkan suatu penundaan pada penetrasi morfin melintasi sawar darah otak. Konsentrasi cairan serebrospinal pada morfin berada dipuncak sekitar 15 sampai 30 menit setelah injeksi IV dan berkurang menjadi lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma (Gambar 3-5) (Murphy dan Hug, 1981). Sebagai hasilnya, efek analgesik dan depresi pernapasan pada morfin mungkin tidak muncul selama awal dari konsentrasi plasma yang tinggi setelah pemberian opioid secara IV. Disisi lain, efek obat yang sama bertahan meskipun menurunkan konsentrasi morfin dalam plasma. Analgesia sedang kemungkinan membutuhkan dosis lanjutan dengan konsentrasi morfin dalam plasma minimal 0,05 µg/ml (Gambar 3-6) (Berkowitz dkk, 1975). Pasien yang kebutuhannya dikontrol dengan sistem pengangkutan biasanya menunjukkan analgesia setelah operasi yang dapat diterima, dengan dosis morfin total berkisar antara 1,3 sampai 2,7 mg/jam (White,1985).

TABEL 3-5
FARMAKOKINETIK OPIOID AGONIS

pK Persentasi non ionic (pH 7,4) Ikatan protein Bersihan Volume distribusi Koefisien Partisi Waktu Paruh Pembuangan (jam) Keadaa yang berhubungan dgn Waktu Paruh: infus 4 jam (menit) Waktu Penyeimbangan Efek samping (Darah/Otak) (menit)
Morfin 7,9 23 35 1.050 224 1 1,7-3,3
Meperidine 8,5 7 70 1.020 305 32 3-5
Fentanyl 8,4 8,5 84 1.530 335 955 3,1-6,6 260 6,8
Sufentanil 8,0 20 93 900 123 1.727 2,2-4,6 30 6,2
Alfentanil 6,5 89 2 238 27 129 1,4-1,5 60 1,4
Remifentanil 7,3 58 66-93 4.000 30 0,17-0,33 4 1,1











Gambar 3-5. Konsentrasi cairan serebrospinal setelah pemberian morfin intravena yang berkurang lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Konsentrasi end-tidal CO2 (PETCO2) masih meningkat meskipun terdapat penurunan konsentrasi morfin dalam plasma (Rata-rata ± SE) (Dari Murphy MR, Hug CC. Farmakokinetik morfin intravena pada pasien yang dianestesi dengan enfluran-nitrat oksida. Anesthesiology 1981; 54:187-192; dengan izin.)

Hanya sejumlah kecil pada pemberian morfin memperoleh akses pada sistem saraf pusat (SSP). Sebagai contoh, deiperkirakan bahwa < 0,1 % morfin yang diberikan secara IV yang masuk kedalam SSP pada saat konsentrai plasma puncak. Alasan untuk penetrasi morfin kedalam SSP antara lain (a) kelarutan lemak yang relative jelek, (b) ionisasi derajat tinggi pada pH fisiologis, (c) ikatan protein, dan (d) konjugasi yang cepat dengan asam glukoronik. Alkalinisasi di darah, seperti yang dihasilkan dengan hiperventilasi pada paru-paru pasien, yang akan meningkatkan fraksi non ionik morfin, yang terjadi pada morfin dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada plasma dan otak dibandingkan yang terjadi selama normokarbia (Gambar 3-7) (Finck dkk,1997). Hal ini menunjukkan bahwa karbon dioksida mengindukasi peningkatan pada aliran darah otak dan menambah pengangkutan morfin ke otak yang lebih penting dibandingkan fraksi obat yang terjadi baik pada fraksi ionik maupun fraksi non ionik. Berbeda halnya pada SSP, morfin berakumululasi secara cepat di ginjal, hepar, dan otot skelet. Morfin, tidak seperti pada fentanyl, tidak mengalami uptake pertama kali kedalam paru (Rourig dkk,1987).







Gambar 3-6. Analgesia sedang yang mungkin membutuhkan konsentrasi morfin plasma (serum) pemeliharaan minimal 0,05 µg/mL. (Rata-rata ± SE) (Dari Berkowitz BA, Ngai SH, Yang JC, dkk. Disposisi morfin pada pasien pembedahan. Clin Pharmacol Ther 1975; 17 629-635; dengan izin)














Gambar 3-7. Hiperkarbia dengan penurunan fraksi non ionik dari morfin, mengakibatkan konsentrasi tinggi di otak dan waktu paruh pembuangan lebih lama. (*P < 0,05). (Dari Finck AD, Ngai SH, Berkowitz BA. Antagonisme dari anestesi umum dengan naloxone pada tikus, Anesthesiology 1977; 46:241-245, dengan izin.)

Metabolisme
Prinsip jalur metabolisme morfin adalah mengalami konjugasi dengan asam glukoronik di hepar dan di luar hepar, khususnya di ginjal. Sekitar 75 % sampai 85 % dari dosis morfin muncul sebagai morfin -3-glukoronide (suatu rasio 9 : 1). Morfin-3-glukoronide didapatkan di plasma dalam 1 menit setelah injeksi IV, dan konsentrasinya berlebihan pada obat yang tidak berubah pada hampir sepuluh kali dalam 990 menit (Gambar 3-8) (Murphy dan Hug, 1981). Diperkirakan sekitar 5 % morfin dimetilasi kedalam bentuk normomorfin, dan sejumlah kecil kodein juga dapat dibentuk. Hasil metabolisme morfin dibuang utamanya melaui urin, dengan hanya 7 % sampai 10 % menjalani ekskresi lewat empedu. Morfin-3-glikoronide dideteksi di urin sampai sekitar 72 jam setelah pemberian morfin. Suatu fraksi kecil (1 % sampai 2 %) dari morfin yang diinjeksikan tidak berubah di urin.












Gambar 3-8. Morfin glukoronida dideteksi pada plasma dalam 1 menit setelah injeksi intravena, dan konsentrasinya berlebih pada morfin yang tidak berubah oleh hampir 10 kali lipat dalam 90 menit. (Rata-rata ± SE). (Dari Murphy MR, Hug CC. Farmakokinetik morfin intravena pada pasien yang dianestesi dengan enfluran-nitrat oksida. Anesthesiology 1981; 54:187-192; dengan izin.)
Morfin-3-glukoronide secara farmakologi tidak aktif, sedangkan morfin-6-glukoronide menghasilkan analgesia dan menimbulkan depresi pernapasan melalui kerja antagonisnya pada reseptor mu (Vaughn dan Connor,2003). Pada kenyataannya, pernapasan berespon terhadap karbon dioksida yang berada diantara morfin dan morfin-6-glukoronide (Gambar 3-9) (Romberg dkk,2003).










Gambar 3-9. Pengaruh morfin-6-glukoronide 0,2 mg/kg IV dan morfin 0,13 mg/kg IV pada respon pernapasan terhadap karbon dioksida. Efek pada kedua opioid ini sama pada periode 4 jam penelitian. PETCO2 = tekanan parsial end-tidal terhadap karbon dioksida. (Dari Romberg Remifentanil, Olofsen E, Satron E, dkk. Efek farmakodinamik morfin-6-glukoronide versus morfin pada pasien sehat yang mengalami hipoksia dan hiperkapnia. Anesthesiology 2003; 99: 788-798; dengan izin).
Metabolisme ginjal berperan secara signifikan pada metabolisme total pada morfin, yang membutuhkan penjelasan yang mungkin pada ketiadaan beberapa penurunan pada bersihan morfin secara sistemik pada pasien dengan sirosis hepatik atau selama fase anhepatik pada tranpalntasi hepar ortotopik (Sear,1991). Pada kenyataannya, peningkatan kecepatan metabolisme morfin diginjal mungkin terjadi jika metabolisme di hepar terganggu.
Pembuangan morfin glukoronide mungkin menganggu pasien dengan gagal ginjla, menyebabkan akumulasi hasil metabolisme dan efek depresi pernapsan yang tidak diinginkan pada opioid dosis kecil (Gambar 3-10) (Cahuvin dkk,1987b). Tentu saja, depresi pernapasan yang memanjang (< 7 hari) telah diamati pada pasien dengan gagal ginjal setelah pemberian morfin (Don dkk,1975). Pembentukan glukoronida terkonjugasi dapat terganggu oleh monoamine oksidae inhibitor, yang bertahan dengan efek berlebihan pada morfin jika diberikan pada pasien yang diobati dengan obat ini.

Waktu paruh pembuangan
Setelah pemberian morfin secara IV, pembuangan morfin-3-glukoronide agak lama dibandingkan morfin (Lihat tabel 3-5 dan Gambar 3-8) (Murphy dan Hug, 1981). Penurunan pada kosentrasi morfin dalam plasma setelah distribusi awal obat ini utamanya kerena metabolisme, karena hanya sejumlah kecil pada opioid yang tidak berubah dieksresi kedalam urin. Konsentrasi morfin dalam plasma lebih tinggi pada orang tua dibandingkan pada orang dewasa muda (Gambar 3-11) (Berkowitz dkk,1975). Pada 4 hari pertama kehidupan, bersihan morfin menurun dan waktu paruh pembuangannya lebih lama dibandingkan dengan yang ditemukan pada bayi yang lebih tua ( Lynn dan Slattery,1987). Hal ini menetap dengan pengamatan klinik bahwa neonatus lebih sensitif dibandingkan anak-anak yang lebih tua untuk mengalami efek depresi pernapasan pada morfin. Pasien dengan gagal ginjal menunjukkan konsentrasi morfin yang lebih tinggi pada plasma dan pada CSS dan hasil metabolisme morfin dibandingkan pada pasien normal, menunjukkan suatu volume didistribusi yang lebih kecil (Vd ) (Hanna dkk,1993). Terdapat kemungkinan akumulasi pada morfin-6-glukoronide membutuhkan perhatian jika pemberian morfin pada pasien dengan disfungsi ginjal. Anesthesia sendiri tidak mengubah waktu paruh pembuangan pada morfin. Konsentrasi morfin di kolustrum pada wanita yang telah melahirkan yang dikontrol dengan analgesia berupa morfin adalah sedikit dan tampaknya tidak mungkin bahwa jumlah obat yang signifikan akan dipindahkan ke neonatus yang disusui (Baka dkk,2002).

Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi analgesia opioid tetapi arah dan besarnya perbedaan ini tergantung pada banyak interkasi variabel termasuk opioid yang digunakan (Kest dkk,2000). Morfin menunjukkan kekuatan analgesik yang lebih besar dan kecepatan yang lebih rendah pada pemberiaanya pada wanita dibandingkan pada laki-laki (Sarton dkk,2000). Pengamatan ini bertahan dengan konsumsi opioid postoperative yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Disisi lain, morfin menurunkan kemiringan pernapasan untuk berepon terhadap karbon dioksida pada wanita dibandingkan pada laki-laki yang padanya tidak tedapat efek yang signifikan (Dahan dkk,1998). Morfin tidak memiliki efek pada ambang batas apnue pada wanita tetapi menyebabkan peningkatan pada laki-laki. Sensitivitas hhipoksia menurun oleh morfin pada wanita tetapi tidak pada laki-laki.














Gambar 3-10. Konsentrasi pada morfin yang tidak berubah dalam plasma (lingkaran tertutup) dan metabolit morfin (lingkaran terbuka) pada pasien normal dan pasien gagal ginjal. (Dari Chauvin M, Sandouk P, Scherrman, dkk. Farmakokinetik morfin pada gagal ginjal. Anesthesiology 1987; 66: 327-331; dengan izin.)












Gambar 3-11. Konsentrasi morfin dalam plasma (serum) meningkat secara progresif sesuai pertambahan umur. (Dari Berkowitz BA, Ngai SH, Yang JC, dkk. Disposisi morfin pada pasien pembedahan. Clin Pharmacol Ther 1975; 17 629-635; dengan izin.)

Efek samping
Efek samping yang ditunjukkan oleh morfin juga terjadi sama halnya dengan opioid agonis yang lain, meskipun insidens dan besarnya mungkin bervariasi.

System kardiovaskuler
Pemberian morfin, dalam dosis besar (1 mg/kg IV) pada pasien dengan posisi supine dan normovolemia tidak mungkin menyebabkan depresi miokardial atau hipotensi secara langsung. Pasien yang sama yang berubah dari posisi supine ke posisi berdiri. Namun, mungkin bermanifestasi sebagai hipotensi ortostatik dan sinkope, agaknya menunjukkan gangguan kompensasi respon sistem saraf otonom yang diinduksi oleh morfin. Sebagai contoh, morfin menurunkan tonus sistem saraf simpatis pada vena perifer, mengakibatkan pengumpulan darah di vena dan selanjutnya menurunkan venous return, cardiac output dan tekanan darah (Lowenstein dkk,1972).
Morfin juga dapat membankitkan penurunan pada tekanan darah sistemik karena bradikardia atau pelepasan histamine yang diinduksi oleh obat. Bradikardia yang diinduksi oleh obat terjadi akibat peningkatan aktivitas pada nervus vagus, yang mungkin menggambarkan stimulasi pada nukleus nervus vagus di medulla. Morfin mungkin juga menggunakan suatu efek depresi langsung pada nodus sinostrial dan bekerja untuk memperlambat konduksi pada jantung yang melalui impuls pada nodus atrioventrikuler. Aksi ini mungkin, dalam bagian, menjelaskan penurunan kecenderungan terjadinya fibrilasi ventrikel pada penggunaan morfin. Pemberian opioid (morfin) pada pengobatan preoperatif sebelum induksi anesthesia (fentanyl) mengarah pada lambatnya denyut jantung selama pemberian obat anestesi yang mudah menguap dengan atau tanpa stimulasi pembedahan (Cahalan dkk,1987).
Pelepasan histamine yang diinduksi oleh opioid dan berkaitan dengan hipotensi adalah variabel pada kedua insidens dan derajatnya. Besarnya pelepasan histamine yang diinduksi oleh morfin dan selanjutnya akan menurunkan tekanan darah sistemik yang dapat diminimalkan dengan : (a) membatasi kecepatan infus morfin sapai 5 mg/menit/IV, (b) mempertahankan pasien pada posisi supine dengan posisi kepala agak tegak, dan (c) mengoptimalkan volume cairan intravaskuler, dalam periode 10 menit yang menghasilkan peningkatan konsentrasi histamine dalam plasma yang sesuai dengan penurunan yang sifnifikan pada tekanan darah sistemik dan resistensi pembuluh darah sistemik (Gambar 13-12 dan 3-13) (Rosow dkk,1982). Adalah hal penting untuk mengakui, bahwa tidak semua pasien berespon pada kecepatan pemberian morfin yang mempengaruhi pelepasan histamine, menentukan variabilitas seseorang yang berkaitan dengan pemberian obat ini (lihat gambar 3-12) (Rosow dkk,1982). Berbeda halnya dengan morfin, infus fentanyl, 50 µg/kg secara IV dalam masa 10 menit, tidak membangkitkan pelepasan histamine pada banyak pasien (lihat gambar 3-12) (Rosow dkk, 1982). Sufentanil, seperti fentanyl, tidak membangkitkan pelepasan histamine.












Gambar 3-12. Pemberian morfin intravena, tetapi tidak pada fentanyl, yang berkaitan dengan suatu peningkatan yang didak diperkirakan pada konsentrasi histamine plasma. (Dari Rosow EC, Moss J, Philbin DM, dkk. Pelepasan histamine selama anesthesia dengan morfin dan fentanyl. Anesthesiology 1982: 93-96; dengan izin.)















Gambar 3-13. Peningkatan tekanan darah sistemik dan resistensi pembuluh darah sistemik yang diinduksi oleh morfin yang terjadi dengan peningkatan konsentrasi histamine dalam plasma. Perubahan yang sama tidak terjadi setelah pemberian fentanyl intravena. (* P < 0,05,** P < 0,005; rata-rata ± SE) (Dari Rosow CE, Moss J, Philbin DM, dkk. Pelepasan histamine selama anesthesia dengan morfin dan fentanyl . Anesthesiology 182;56: 93-96; dengan izin.)

Sebelum pengobatan pasien dengan antagonis rsesptor H1 dan H2 tidak mengubah pelepasan histamine yang dibangkitkan oleh morfin tetpai mencegah perubahan pada tekanan darah sistemik dan resistensi pembuluh darah sistemik (Philbin dkk,1981).
Morfin tidak sensitive pada jantung terhadap katekolamin disisi lain menjadi faktor predisposisi terhadap disritmia jantung selama hiperkarbia atau hipoksemia arterial yang tidak berakibat dari efek depresi pernapasan dari opioid. Takikardia dan hipertensi yang terjadi selama anesthesia dengan morfin bukan efek farmakologi dari opioid tetapi dibandingkan pada respon terhadap stimulus pembedahan yang sangat nyeri yang tidak ditekan oleh morfin. Sistem saraf simpatis dan mekanisme rennin-angiotensin berperan pada respon kardiovaskuler ini. Dosis besar morfin atau opioid agonis yang lain mungkin menurun yang kemungkinan takikardia dan hipertensi akan terjadi sebagai respon terhadap stimulus nyeri, tetapi jika respon ini telah terjadi, pemberian opioid tambahan tampaknya tidak efektif. Selama anestesi, opioid agonis sering diberikan dengan anesthesia inahlan untuk memastikan sempurnanya amnesia pada stimulus pembedahan yang sangat nyeri. Kombinasi suatu opioid agonis seperti morfin atau fentanyl dengan nitrat oksida akan menimbulkan depresi kardiovaskuler (menurunkan cardiac output dan tekanan darah sistemik ditambah dengan peningkatan tekanan pengisisna jantung), yang tidak terjadi ketika salah satu obat ini diberika secara terpisah (Stoelting dan Gibbs,1973). Di sisi lain, penurunana pada resistensi pembuluh darah sisitemik dan takanan darah sistemik dapat terjadi setelah kombinasi suatu opioid dan suatu benzodiazepine, sedangkan efek ini tidak terjadi setelah pemberian salaha satu dari obat ini secara terpisah (Gambar 3-14) (Tomicheck dkk,1983).















Gambar 3-14. Pemberian fentanyl (50 µg/kg IV pada 400 µg/menit) setelah injeksi diazepam (0,125 sampai 0,50 mg/kg IV) yang berkaitan dengan peningkatan yang signifikan pada tekanan arteri rata-rata dan resistensi pembuluh darah perifer, sedangkan denyut jantung dan kardiak indeks tidak berubah. Pemberian fentanyl dengan tidak adanya diinjeksi dengan diazepam (0 mg/kg) sebelumnya tidak menimbulkan efek sirkulasi. (Dari Tomicheck RC, Rosow CE, Philbin DM, dkk. Interaksi Diazepam-fentanyl: Efek hemodinamik dan efek hormonal pada pembedahan arteri koroner. Anesth Analg 183;62: 881-884; dengan izin.)


Ventilasi
Semua opioid agonis menghasilkan depresi pernapsan yang tergantung dosis dan sesuai jenis kelamin, utanya melalui suatu efek agonis pada reseptor mu2 yang menyebabkan suatu efek depresi langsung pada pusat pernapasan di batang otak (Atcheson dan Lambert,1995) (lihat bagian pada Jenis Kelamin dan Chapter 49 ). Karena efek analgesik dan efek pernapasan terjadi oleh mekanisme yang sama yang menunjukkan bahwa dosis analgesik yang sama pada semua opioid akan menghasilkan beberapa derajat depresi pernapasan dan berbanding terbalik pada depresi pernpasan dengan suatu opioid antagonis yang selalu melibatkan beberapa efek berlawanan dari analgesia. Depresi pernapasan yang diinduksi oleh opioid ditandai dengan penurunan respon pada pusat pernapasan ini terhadap karbon dioksida yang digambarkan melalui suatu peningkatan pada PaCO2 istirahat dan pemindahan kurva repon karbon dioksida ke kanan. Opioid agonis juga mengganggu pusat pernapasan di pons dan di medulla yang mengatur irama pernapasan, yang menyebabkan penghentian yang lama antara pernapasan dan masa bernapas. Terdapat kemungkinan bahwa opioid agonis membatasi sensitiviats terhadap karbon dioksida melalui penurunan pelepasan asetilkolin dari saraf di daerah pusat pernapasan di medular sebagai respon terhadap hiperkarbia. Dalam hal ini, fisostigmin, yang meningkatkan kadar asetilkolin di SSP, akan melawan depresi pernapasan tetapi bukan efek analgesia yang dihasilkan oleh morfin (lihat Chapter 9).
Depresi pernapasan yang dihasilkan oleh opioid agonis berlangsung cepat dan bertahan selama beberapa jam, yang ditunjukkan oleh penurunan respon pernapasan terhadap karbon dioksida. Dosis opioid tinggi yang terjadi pada apnue, tetapi pasien masih sadar dan mampu untuk memulai suatu pernapasan jika ditanyakan untuk dilakukan. Kematian akibat overdosis opioid paling banyak tanpa kecuali diakibatkan pada depresi pernapasan.
Secara klinik, depresi pernapasan yang dihasilkan oleh opioid agonis yang bermanifestasi sebagai penurunan yang sering pada pernapasan yang sering terjadi setelah suatu kompensasi peningkatan pada tidal volume. Ketidaksempurnaan pada kompensasi peningkatan pada volume tidal yang dibuktikan melalui peningkatan yang diperkirakan pada PaCO2. Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya dan durasi pada depresi pernapasan yang dihasilkan oleh opioid agonis. Sebagai contoh, usia lanjut dan terjadinya tidur alami yang meningkat efek depresi pernapasan pada opioid. Secara berlawanan, efek analgesia pada opioid memperlambat pernapasan yang yang telah berjalan cepat dan dangkal akibat nyeri.
Opioid yang menghasilkan depresi pada aktivitas siliar pada jalan napas yang tergantung pada dosis. Peningkatan pada resistensi setelah pemberian opioid yang kemungkinan karena suatu efek langsung pada otot polos bronkus dan suatu kerja tidak langsung karena pelepasan histamine.

Penekanan Batuk
Opioid menekan batuk melalui efek pada pusat batuk dimedulla yang berbeda dari efek opioid pada pernapasan. Penekanan batuk yang terbesar terjadi pada opioid yang memiliki penggantian yang mengambil tempat banyak pada posisi karbon ketiga (kodein). Penekanan batuk dihasilkan oleh isomer dekstrorotasi pada opioid (dextromethorphan) yang tidak menghasilkan efek analgesia.

Sistem saraf
Opioid pada tidak terjadinya hipoventilasi yang menurunkan aliran darah otak dan mungkin pula pada tekanan intrakranial (TIK). Obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan trauma kepala karena pasien ini : (a) berhubungan dengan efek pada kelemahan, (b) menimbulkan miosis, (c) depresi pada pusat pernapasan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial jika PaCO2¬ meningkat. Selain itu, trauma kepala mungkin mengganggu integritas pada sawar darah otak, yang berakibat pada peningkatan sensitivitas terhadap opioid.
Efek morfin pada elektroencefalogram (EEG) mirip dengan perubahan yang berkaitan dengan tidur. Sebagai contoh, pemindahan gelombang alfa dengan cepat dengan gelombang delta yang lebih lambat. Rekaman pada EEG gagal untuk mengungkapkan beberapa bukti terjadinya bangkitan kejang setelah pemberian dosis besar pada opioid (lihat bagian tentang Fentanyl). Opioid tidak mengubah respon pada obat yang memblok neuromuscular. Rigiditas pada otot skelet, khususnya pada otot dada dan otot perut, sering terjadi ketika dosis besar pada opioid agonis diberikan secara cepat dan secara intravena (Rooke,1994). Bangkitan klonik pada otot skelet (mioklonus) terjadi selama pemberian opioid yang dapat menyerupai kejang grand mal, tetapi EEG tidak menggambarkan bangkitan kejang. Rigiditas otot skelet dapat berkaitan dengan kerja pada reseptor opioid dan melibatkan intervensi dengan dopaminergik dan asam gamma-aminobutirat yang merespon saraf.
Pemberian opioid IV secara cepat, seperti untuk induksi anesthesia, dapat behubungan dengan rigiditas otot dada dan otot perut yang cukup mengganggu ventilai pada paru secara adekuat. Percobaan secara manual untuk pengembangan paru jika terdapat rigiditas otot skelet ini mungkin menimbulkan tekanan pada jalan napas yang mengganggu venous return. Berbeda halnya dengan terdapatnya bukti bahwa penyebab utama pada kesulitan ventilasi setelah induksi anesthesia dengan sufentanil (dan kiranya dengan opioid lain) menutup pita suara (Bennett dkk,1997a). Kejadian rigiditas otot skelet yang diinduksi oleh opioid menyamaratakan hipertonus pada otot skelet tergantung pada opioid (paling sering pada fentanil) dan dosis yang digunakan serta kecepatan emberian. Inhibisi pada striatal melepaskan asam gamma-aminobutirat dan meningkatkan produksi dopamine yang mungkin dapat menjelaskan peningkatan tonus otot skelet yang diinduksi oleh opioid. Kejadian yang dilaporkan pada kesulitan pernapsan setelah suatu dosis sedang pada sufentanil berkisar antara 84 % sampai 100 % (Bennet dkk, 1997a).
Miosis terjadi karena suatu eksi eksitasi pada opioid pada komponene sistem saraf otonom dari nucleus Edinger-Westpahl pada nervus okulomotor. Toleransi pada efek miosis pada morfin tidak menonjol. Miosis dapat diatasi dengan atropine, dan hipoksemia arteri yang sangat berat pada pemberian morfin dapat mengakibatkan midriasis.

Sedasi
Titrasi postoperative pada morfin sering menginduksi sedasi yang terjadi sebelum onset analgesia (Paqueron dkk,2002). Rekomendasi yang biasa untuk titrasi morfin termasuk suatu dengan interval singkat antara bolus (5 sampai 7 menit) untuk memungkinkan untuk menilai efek kliniknya. Sedasi terjadi sampai pada 60 % pasien selama titrasi morfin dan menggambarkan suatu pertimbangan yang sering untuk menghentikan titrasi morfin selama analgesia postoperative. Perkiraan bahwa tidur terjadi ketika nyeri berkurang yang tidak dibutuhkan secara akurat dan sedasi yang diinduksi oleh morfin sebaiknya tidak dipertimbangkan sebagai suatu indicator pada analgesia yang sesuai selama titrasi morfin intravena.

Traktus biliaris
Opioid dapat menyebabkan spasme otot polos biliaris, yang mengakibatkan peningkatan pada tekanan intrabiliaris yang mungkin berhubungan dengan gangguan epigastrium atau kolik biliaris. Nyeri ini sukar dibedakan dengan angina pectoris. Naloxone akan mengurangi nyeri yang disebabkan oleh spasme biliaris tetapi tidak pada iskemik miokard. Secara berlawanan, nitrogliserin akan menggurangi nyeri karena spasme biliaris ataupun karena iskemik miokard. Dosis analgesic yang sama pada fentanyl, morfin, meperidine, dan pentazocine meningkatkan tekanan duktus biliaris sekitar 99 %, 53 %, 61 % dan 15 % diatas tingkat predrug, secara berturut-turut (Radnay dkk, 1980). Selama pembedahan, spasme sphincter Oddi akibat opioid dapat tampak secara radiologi seperti suatu konstriksi yang runcing pada ujung distal pada duktus biliaris kommunis dan kadang disalahartikan dengan suatu batu pada duktus biliaris kommunis. Hal ini mungkin penting untuk menangani spasme otot polos traktus biliaris akibat opioid dengan naloxone sehingga diinterpretasikan dengan benar dengan kolangiogram. Glucagon, 2 mg IV, juga mengurangi spasme otot polos traktus biliaris akibat opioid dan tidak seperti naloxone, yang tidak bersifat antagonis terhadap efek analgesik opioid (Jones dkk,1980). Walaupun demikian, spasme otot biliaris tidak terjadi pada kebanyakan pasien yang mendapatkan opioid. Sebenarnya, insidens spasme Sphincter Oddi pada sekitar 3 % pasien yang mendapatkan fentanyl sebagai cadangan pada obat anestesi inhalan (Jones dkk,1981).
Kontraksi otot polos pada duktus pankreatikus kemungkinan bertanggung jawab pada peningkatan konsentrasi amilase plasma dan lipase yang dapat terjadi setelah pemberian morfin. Beberapa peningkatan mungkin membingungkan diagnosis ketika pancreatitis akut adalah suatu kemungkinan.

Traktus gastrointestinal
Opioid yang sering digunakan seperti morfin, meperidine, dan fentanyl dapat menimbulkan spasme pada otot polos gastrointestinal, mengakibatkan berbagai jenis efek samping termasuk konstipasi, kolik biliaris, dan keterlambatan pengosongan lambung.
Morfin menurunkan kontraksi peristaltik yang bersifat mendorong pada usus halus dan usus besar dan menambah tonus pada sphincter pilorus, valve ileocaecal, dan spinchter ani. Perlambatan perjalanan isi usus melalui kolon memungkinkan peningkatan absorpsi air. Sebagai akibatnya, konstipasi sering terjadi setelah terapi dengan opioid dan mungkin menjadi suatu masalah yang telah lama pada pasien yang membutuhkan terapi opioid yang lama, karena sedikit toleransi yang berkembang pada efek ini. Opium (morfin) digunakan untuk mengibat diare sebelum obat ini digunakan sebagai suatu analgesik yang populer.
Peningkatan tekanan biliar ketika kontraksi kandung empedu berlawanan dengan suatu penutupan atau penyempitan sphincter Oddi. Penyaluran isi lambung kedalam duodenum proksimal terlambat karena terdapat peningkatan tonus gastroduodenal junction. Dalam hal ini, pengobatan preoperative yang termasuk suatu opioid akan memperlambat pengosongan lambung (meningkatkan resiko aspirasi) atau keterlambatan absorpsi obat yang diberika secara oral. Semua efek ini mungkin berlawanan atau dicegah dengan suatu opioid antagonis yang bekerja diperifer (lihat bagian pada Methylnaltrexone).

Mual dan muntah
Mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid disebabkan oleh stimulasi langsung pada chemoreceptor trigger Zone (CTZ) pada dasar ventrikel keempat (lihat gambar 41-16). Hal ini mungkin menunjukkan peranan opioid agonis sebagai dopamine agonis parsial pada reseptor dopamine pada chemoreceptor trigger Zone. Sebenarnya, apomorfine adalah emetik yang sangat kuat dan juga sebagai opioid yang paling kuat pada reseptor dopamine. Stimulasi pada reseptor dopamine sebagai suatu mekanisme pada mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid menetap dengan antiemetic yang efektif pada butyrofenone. Morfin juga mungkin menyebabkan mual dan muntah melalui peningkatan sekresi gastrointestinal dan perlambatan pengaliran isi usus ke kolon.
Morfin menekan pusat muntah di medulla (lihat gambar 41-16). Sebagai hasilnya, pemberian morfin secara IV menimbulkan sedikit mual dan muntah dibandingkan pemberian morfin secara intramuskuler, yang tampaknya karena pemberian opioid secara intravena mencapai pusat muntah secepat untuk mencapai chemoreceptor trigger Zone. Mual dan muntah relative jarang terjadi pada pasien yang telentang yang diberikan morfin, menunjukkan bahwa suatu komponen vestibular mengkn berperan pada kejadian mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid.

Sistem genitourinary
Morfin dapat meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik pada ureter. Berbeda halnya pada efek yang sama pada otot polos traktus biliaris, opioid yang sama menginduksi efek pada ureter dapat ditangani dengan obat antikolinergik seperti atropine. Urgensi urin ditimbulkan oleh tambahan pada tonus otot detrusor yang diinduksi oleh opioid, pada waktu yang sama, tonus pada sphincter vesika urinaria ditambah, membuat sulit berkemih.
Antidiuresis yang diberikan setelah pemberian morfin pada binatang yang telah dihubungkan dengan pelepasan hormone arginine vasopressin (hormone antidiuretik) yang diinduksi oleh opioid. Pada manusia, pemberian morfin dengan tidak adanya stimulasi pembedahan yang sangat nyeri tidak membangkitkan pelepasan hormone ini (Philbin dkk,1976). Selain itu, ketika morfin diberikan pada volume cairan intravaskuler yang adekuat, tidak terdapat perubahan pada output urin.



Perubahan kulit
Morfin menyebabkan pembuluh darah kulit berdilatasi. Kulit pada wajah, leher, dan dada bagian atas sering menjadi kemerahan dan hanagt. Perubahan ini pada sikulasi kulit merupaakn bagian yang disebabkan oleh pelepasan histamine. Histamine melepaskan kemungkinan menjadi penyebab timbulnya urtikaria dan eritema yang sering ditemukan pada tempat injeksi morfin. Selain itu, pelepasan histamine yang diinduksi oleh morfin kemungkinan diperhitungkan terhadap terjadinya eritema konjungtiva dan pruritus.
Terjadinya pelepasan histamine di kulit secara lokal, khususnya di sepanjang vena dimana morfin diinjeksikan, tidak menunjukkan suatu reaksi alergi. Secara keseluruhan, insidens alergi yang sebenarnya pada opioid jarang terjadi, meskipun terdapat kasus yang pernah dilaporkan (Bennet dkk, 1986). Selain itu, efek samping opioid yang diperkirakan seperti pelepasan histamine lokal, hipotensi ortostatik, mual dan muntah disalahartikan sebagai suatu reaksi alergi.

Plasenta
Plasenta tidak menjadi barier yang sebenarnya untuk memindahkan opioid dai ibu ke janin. Oleh karena itu, depresi pada neonatus dpat terjadi sebagai suatu akibat dari pemberian opioid pada ibu selama persalinan. Dalam hal ini, pemberian morfin kepada ibu dapat menimbulkan depresi neonatus yang lebih besar dibandingkan pada meperidine (Way dkk,1965). Hal ini menggambarkan immaturitas pada sawar darah otak pada neonatus. Penggunaan opioid pada ibu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan perkembangan ketergantungan fisik (addiksi intrauterine) pada fetus. Selanjutnya pemberian naloxone pada neonatus dapat memicu terjadinya sindrom pemantangan yang mengancam jiwa pada neonatus.
Interaksi obat
Efek depresi pernapasan pada beberapa opioid dapat diperparah oleh amphetamine, fenotiazine, monoamine oksidase inhibitor, dan antidepresan trisiklik. Sebagai contoh, pasien yang mendapatkan monoamine oksidase inhibitor dapat mengalami depresi SSPyang berlebihan dan hiperpireksia setelah pemberian suatu opioid agonis, khususnya meperidine. Respon yang berlebihan ini mungkin menggambarkan perubahan pada kecepatan atau jalur metabolisme pada opioid. Obat simpatomimetik tampaknya menambah efek analgesia yang ditimbulkan oleh opioid. System saraf kolinergik tampaknya menjadi suatu modulator positif pada analgesia yang diinduksi oleh opioid dimana fisostigmin menambah dan atropine melawan efek analgesia.

Toleransi farmakodinamik dan ketergantungan fisik
Toleransi farmakodinamik dan ketergantungan fisik dengan pemberian opioid yang berulang merupakan tanda pada semua opioid agonis dan merupakan pembatasan utama pada penggunaan kliniknya. Perkembanagn toleransi antara semua opioid. Toleransi dapat terjadi tanpa ketergantungan fisik, tetapi efek berlawanan tampaknya tidak terjadi.
Toleransi mengembangkan kebutuhan untuk meningkatkan dosis opioid agonis sampai mencapai efek analgesia yang sama yang dicapai sebelumnya dengan suatu dosis yang lebih rendah. Beberapa bersihan yang didapatkan biasanya mengambil waktu selama 2 sampai 3 minggu sampai menimbulkan dosis analgesic pada morfin. Tolernasi berkembang pada analgesik, sedative, depresi pernapasan dan efek emetic pada opioid tetapi bukan pada efeknya pada miosis dan motilitas usus (konstipasi). Potensial untuk ketergantungan fisik (addiksi) adalah suatu efek agonis pada opioid. Sebenarnya, ketergantungan fisik tidak terjadi pada opioid antagonis dan tidak mungkin pada gabungan opioid agonis-antagonis. Ketika opioid agonis bekerja dominan, sering berkembang, dengan penggunaan berulang, suatu keinginan kompulsif (psikologis) dan kebetuhan berlanjut (fisiologis) terhadap obat tersebut. Ketergantungan fisik pada morfin biasanya membutuhkan waktu sekitar 25 hari untuk terjadi, tetapi dapat terjadi lebih cepat pada pasien yang secara emosional tidak stabil. Beberapa derajat ketergantungan fisik, terjadi hanya setelah 48 jam pada pengobatan yang kontinyu. Ketika ketergantungan fisik terjadi, penghentian opioid agonis menimbulkan suatu sindrom withdrawal (Tabel 3-6) (Sinatra,2004). Gejala awal pada withdrawal antara lain sering menguap, diaphoresis, lakrimasi, atau koriza. Insomnia dan gelisah lebih menonjol. Keram pada abdomen, mual, muntah dan diare mencapai puncaknya dalam 72 jam dan kemudian turun dalam 7 sampai 10 hari berikutnya. Selama withdrawal, toleransi pada morfin secara cepata berlangsung, dan sindrom ini berakhir melalui suatu kerja sedang pada opioid agonis. Masa yang lebih lama pada pantangan, dosis opioid agonis dengan dosis yang lebih kecil yang dibutuhkan.
TABEL 3-6
WAKTU WITHDRAWAL OPIOID
Onset Intensitas puncak Durasi
Morfin 6-18 jam 36-72 jam 7-10 hari
Heroin 6-18 jam 36-72 jam 7-10 hari
Meperidine 2-6 jam 8-12 jam 2-4 hari
Fentanyl 2-6 jam 8-12 jam 4-5 hari
Methadone 24-48 jam 3-21 hari 6-7 minggu
Dikutip dari Mitra Sufentanil, Sinatra RS. Penanganan perioperatif pada pasien nyeri akut yang tergantung pada opioid. Anesthesiology 2004; 2001: 212-227.
Toleransi farmakodinamik berkaitan dengan perubahan neuroadaptif yang mengambil tempat setelah penggunaan opioid dalam jangka panjang (Mitra dan Sinatra,2004). Perubahan ini terjadi pada tingkat reseptor opioid dan melibatkan desensitasi reseptor. Reseptor opioid pada permukaan membrane sel menjadi menghilang sensasinya secara berangsur-angsur oleh transkripsi yang dihasilkan dan selanjutnya terjadi penurunan pada jumlah absolute pada reseptor opioid (down-regulation). Hipotesis klasik pada toleransi farmakodinamik ini masih belum terbukti.
Suatu mekanisme sekunder yang diusulkan untuk menjelaskan toleransi farmakodinamik yang melibatkan pengaturan pada sistem cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Secara tajam, opioid menghambat aktivitas fungsional pada jalur cAMP melalui blok pada adenyl cyclase, enzim yang mengkatalisis sintesis cAMP. Pemberian opioid jangka panjang berkaitan dengan pemulihan secara bertahap pada jalur cAMP dan perkembangan toleransi. Peningkatan sintesis cAMP mungkin bertanggung jawab pada ketergantungan fisis dan perubahan fisiologis yang berkaitan dengan withdrawal. Pengaturan pada cAMP telah ditunjukkan secara jelas pada lokus cereleus di otak. Klonidine, suatu alfa2-adrenergik agonist yang bekerja di sentral yang mengurangi transmisi pada jalur simpatis di system saraf pusat, merupakan suatu obat yang efektif dalam menekan tanda withdrawal pada seseorang yang ketergantungan fisik terhadap opioid. Tolernasi bukan karena induksi enzim, karena tidak ada peningkatan pada kecepatan metabolisme opioid agonis yang terjadi.
Toleransi farmakodinamik jangka panjang ditandai oleh insensitivitas opioid yang mungkin bertahan selama beberapa bulan atau beberapa tahun pada individu yang sama dan paling banyak menunjukkan adaptasi neural yang menetap (Mitra dan Sinatra,2004). Dalam hal ini, reseptor glutamate dan N-methyl-D-aspartate (NMDA) penting pada perkembangan toleransi opioid dan meningkatkan sensitivitas nyeri. Pemberian opioid jangka panjang mengaktifkan reseptor NMDA melalui mekanisme second messenger dan juga pengaturan transporter glutamate spinal. Hasil dari konsentrasi sinaps yang tinggi dan aktivasi NMDA berperan pada toleransi opioid dan sensitivitas nyeri yang abnormal (proses pronosisepstif atau proses sensitisasi).

Perubahan Hormonal
Terapi opioid jangka panjang mungkin mempengaruhi aksis hipotalamus-pituitary-adrenal dan aksis hipotalamus-pitutary-gonad (Ballantyne dan Mao,2003). Morfin mungkin menyebabkan suatu penurunan secara progresif pada konsentrasi kortisol plasma. Efek utama pada opioid di aksis hipotalamus-pitutary-gonad melibatkan modulasi pada pelepasan hormone termasuk peningkatan konsentrasi prolaktin dan penurunan hormone luteinizing, follicle stimulating hormone, testosterone, dan estrogen.

Modulasi Imun
Terapi opioid dapat mengubah imunitas melalui efek neuroendorine atau melaui efek langsung pada system imun (Ballantin dan Mao,2004; Webster,1998). Pemberian opioid jangka panjang tampaknya lebih sering muncul dibandingkan pemberian jangka pendek yang menimbulkan imunosupresan khususnya pada seseorang yang rentan dan mendadak efek withdrawal juga mungkin memicu imunosupresan. Opioid mengubah perkembangan, diferensiasi dan fungsi sel imun (sel progenitor sum-sum tulang, makrofag, sel T).Reseptor yang berkaitan dengan opioid terjadi pada sel imun. Meskipun efek imunosupresan opioid menaikkan perhatian (insidens infeksi postoperatif) yang sama pentingnya untuk mengenal bahwa nyeri itu sendiri dapat memperbaiki fungsi imun.

Overdosis
Prinsip utama overdosis pada opioid adalah depresi pernapasan yag bermanifestasi berupa frekuensi pernapasan yang lambat, yang mungkin berkembang menjadi apnue. Pupil simetris dan dan miosis kecuali jika terjadi hipoksemia arteri yang berat, yang mengakibatkan midriasis. Otot skelet bersifat flaccid, dan obstruksi jalan napas atas mungkin terjadi. Edema paru sering terjadi, tetapi mekanisme mash belum diketahui. Hipotensi dan kejang berkembang jika terjadi hipoksemia arteri. Trias berupa miosis, hipoventilasi, dan koma menunjukkan overdosis suatu opioid. Penanganan pada overdosis opioid adalah ventilasi mekanik pada paru pasien dengan oksigen dan pemberian opioid antagonis seperti naloxone. Pemberian opioid antagonis untuk mengobati overdosis opioid mungkin memicu withdrawal akut.

Morfin-6-Glukoronide
Durasi kerja morfin-6-glukoronide adalah lebih besar dibandingkan bahwa morfin dan kemungkinan bahwa mayoritas aktivitas analgesic yang berhubungan dengan morfin karena morfin-6-glukoronide khususnya dengan pemberian morfin jangka panjang (Hanna dkk,1990). Morfin dan morfin-6-glukoronide berikatan dengan reseptor mu opioid dengan afinitas yang sebanding sedangkan potensi analgesik pada morfin-6-glukoronide adalah 650 kali lipat lebih tinggi dibandingkan morfin (Paul dkk,1989). Akumulasi morfin-6-glukoronide selama infus morfin jangka panjang dapat berperan pada analagesia dan depresi pernapasan. Selain itu, terjadinya gagal ginjal, efek samping opioid yang berat mungkin terjadi beberapa jam setelah konsentrasi morfin di plasma mencapai puncaknya, menunjukkan konsentrasi puncak morfin-6-glukoronide dalam plasma (Angst dkk,2000). Morfin-6-glukoronide tidak menimbulkan efek klinik atau efek analgesia ketika diberikan sebagai suatu bolus intravena tunggal atau suatu bolus intravena yang terjadi dengan infuse 4 jam (Louts dkk, 1999; MOtamed dkk,2000). Hal ini kemungkinan menunjukkan permeabilitas yang rendah pada sawar darah otak pada morfin-6-glukoronide dan menekankan bahwa infuse jangka pendek tidak menimbulkan konsentrasi morfin-6-glukoronide yang cukup di system saraf pusat yang menimbulkan efek farmakologi yang dapat dideteksi. Selama kondisi pemberian jangka panjang, konsentrasi morfin-6-glukoronide pada system saraf pusat menjadi lebih relevan (Lotsch dkk,1999). Walaupun demikian, morfin-6-glukoronide diberiakn sekitar 1 jam telah dilaporkan dapat menghasilkan analgesia yang memanjang, menunjukkan bahwa obat ini memiliki nilai sebagai suatu analgesika intravena untuk mengurangi nyeri postoperative (Romberg dkk,2004). Pemberian morfin-6-glukoronide secara intratekal menghasilkan analgesia yang sama yang dihasilkan oleh morfin (Grace dan Fec, 1996).

MEPERIDINE
Meperidine adalah opioid agonis sintetik pada reseptor opioid mu dan kappa dan berasal dari phenylepiperidine (Gambar 3-15). Terdapat beberapa analog dari meperidine, antara lain fentanyl, sufentanil, alfentanil dan ramifentanil (lihat Gambar 3-15 ). Meperidine menduduki beberapa bagian gambaran struktur yang terdapat pada obat anestesi lokal termasuk suatu amin tersier, suatu kelompok ester dan kelompok phenyl lipofilik. Sebenarnya, meperidine yang diberikan secara intratekal memblok sodium channel menadi suatu bentuk yang sebanding dengan lidokain. Secara struktur, meperidine sama dengan atropine, dan memiliki suatu efek antispasmodic sedang yang mirip dengan atropine. Walaupun demikian, efek farmakologi yang utama pada meperidine mirip dengan morfin.


















Gambar 3-15. Opioid agonis sintetik

Farmakokinetik
Meperidine memiliki kekuatan sekitar sepersepuluh dari morfin, dengan sampai 100 mg IM sama dengan sekitar 10 mg IM morfin. Durasi kerja meperidine adalah sekitar 2 sampai jam, membuatnya menjadi opioid agonis kerja singkat dibandingkan morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine menghasilkan efek sedasi, euforis, mual, muntah dan depresi pernapasan seperti halnya morfin. Tidak seperti morfin, meperidine diabsorpsi dengan baik pada traktus gastrointestinal, namun walaupun demikian, meperidine hanya sekitar satu setengah kali efektivitasnya secara oral dibandingkan jika diberikan secara IM.

Metabolisme
Metabolisme meperidine di hepar berlangsung secara luas, dengan sekitar 90 obat yang awalnya mengalami demetilasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic (Stone dkk,1993). Normoperidine selanjutnya menjalani hidrolisis menjasi asam normeperidinic. Ekskresi lewat urin adalah jalur pembuangan utama dan tergantung pada pH. Sebagai contoh, jika pH urin < 5, sebanyak 25 % meperidine tidak berubah diekresikan. Sebenarnya, keasaman urin dapat dipertimbangkan dalam suatu pembuangan yang cepat pada meperidine. Penurunan fungsi ginjal dapat memicu akumulasi pada normoperidine.
Normoperidine memiliki suatu waktu paru pembuangan sekita 5 jam (< 35 jam pada pasien dengan gagal ginjal) dan dapat dideteksi pada urin selama 3 hari setelah pemberian meperidine. Hasil metabolisme ini sekitar satu setengah kali efek amalgesia dari meperidine. Selain itu, normoperidien menimbulkan stimulasi SSP. Toksisitas normoperidine ditandai dengan terjadinya mioklonus dan kejang yang paling banyak terjadi sepanjang analgesia, khususnya jika terdapat gangguan fungsi ginjal (Stone dkk,1993). Normoperidine juga mungkin penting dalam kejadian delirium yang diinduksi oleh meperidine (konfusi, halusinasi), yang telah diamati pada pasien yang mendapatkan obat ini lebih dari 3 hari, berkaitan dengan akumulasi hasil metabolisme yang aktif.

Waktu Paruh Pembuangan
Waktu paruh pembuangan pada meperidine adalah 3 sampai 5 jam (lihat tabel 3-5). Karena bersihan pada meperidine utamanya tergantung pada metabolisme hepar, hal ini mungkin bahwa kehilangan opioid dalam jumlah besar akan menimbulkan saturasi system enzim dan menghasilkan suatu waktu paruh pembuangan yang lebih lama. Walaupun demikian, waktu paruh pembuangan tidak berubah oleh dosis meperidine sampai 5 mg/kg IV. sekitar 60 % meperidine berikatan dengan protein plasma. Pasien usia tua mengalami penurunan ikatan meperidine dengan plasma protein, mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat bebas dalam pasma dan tampaknya meningkatkan sensitivitas terhadap opioid. Peningkatan tolernasi alkoholik pada meperidine dan opioid lain kiranya menggambarkan suatu peningkatan Vd, mengakibatkan konsentrasi meperidine yang lebih rendah dalam plasma.

Penggunaan Klinik
Prinsip penggunaan meperidine adalah untuk analgesia selama persalinan dan kelahiran serta setelah pembedahan. Meperidine adalah satu-satunya opioid yang dipertimbangkan cukup adekuat untuk pembedahan jika diberikan secara intratekal (Cozian dkk,1986). Suatu injeksi IM meperidine untuk analgesia postoperatif terjadi pada konsentrasi puncak pada plasma yang bervariasi tiga sampai lima kali seperti halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncak yang bervariasi tiga samapi tujuh kali lipat diantara pasien. (Austin dkk,1980a). konsentrasi analgesic plasma yang minimum pada meperidine sangat bervariasi diantara pasien; namun, pada pasien yang sama, perbedaan pada konsentrasi sama kecil dengan 0,05 µg/ml dapat menggambarkan suatu batas antara belum ada pengurangan dan analgesia yang sempurna. Suatu konsentrasi meperidine plasma sekitar 0,7 µg/ml akan diharapkan untuk menibulkan analgesia postoperative pada sekitar 95 % pasien (Austin dkk, 1980b). pasien yang dikontrol dengan analgesia biasanya menunjukkan analgesia postoperative yang dapat diterima, dengan dosis total meperidine berkisar dari 12 sampai 36 mg/jam (White,1985). Toksisitas normoperidine telah ditunjukkan pada pasien yang mendapatkan meperidine untuk pasien yang dikontrol dengan analgesia (Stone dkk,1993).
Meperidine mungkin efektif dalam menekan keadaan tubuh yang menggigil yang dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi metabolisme oksigen yang mengganggu. Efek anti menggigil pada meperidine mungkin menggambarkan stimulasi pada reseptor kappa (diperkirakan terjadi pada sekitar 10 % dari kerjanya) dan suatu penurunan ambang batas aktivitas menggigil yang diinduksi oleh obat ini (tidak terjadi pada alfentanil, klonidine, propofol, atau obat nestesi yang mudah menguap) (Gambar 3-16) (Alfonsi dkk,1998;Ikeda dkk,1998, Kurz dkk,1997). Selain itu, meperidine merupakan suatu agonis yang potensial pada reseptor alfa2 yang mungkin berperan pada efek anti menggigil (Takada dkk,2002). Sebenarnya, klonidine lebih efektif dibandingkan meperidine dalam mengurangi keadaan menggigil setelah operasi. Butorphanol (suatu reseptor kappa agonis-antagonis) menghentikan keadaan menggigil lebih efektif dibandingkan opioid dengan suatu efek reseptor mu opioid agonis yang dominan. Bukti untuk suatu peranan pada reseptor kappa pada efek anti menggigil pada meperidine dan butorphanol gagal pada naloxone untuk menyempurnakan inhibisi efek yang diinduksi oleh obat ini.











Gambar 3-16. Sufentanil dan meperidine menurunkan ambang keadaan menggigil. (Dari Alfonsi P, Sessler DI, Du Manoir B, dkk. Efek meperidine dan sufentanil pada ambang keadaan menggigil pada pasien postoperative. Anesthesiology 1998: 89:43-48; dengan izin.)

Absorpsi oral mungkin membuat meperidine lebih bermanfaat dibandingkan morfin untuk penanganan banyak bentuk dari nyeri. Tidak seperti morfin, meperidine tidak bermanfaat untuk menangani diare dan tidak efektif sebagai antitusif. Selama bronkoskopi, kekurangan relative pada aktitvitas antitusif meperidine menjadikan opioid ini kurang bermanfaat. Meperidine tidak digunakan pada dosis tinggi karena efek inotropik pada jantung yang signifikan ditambah dengan pelepasan histamine pada sejumlah pasien (Flacke dkk,1987).
Efek Samping
Efek samping meperidine mirip pada yang digambarkan pada morfin. Pada dosis teraupetik, meperidine berkaitan dengan hipotensi ortostatik. Pada kenyataannya, hipotensi setelah injeksi meperidine lebih sering terjadi dan lebih berat dibandingkan setelah dosis yang sebanding dengan dosis morfin. Hipotensi ortostatik menunjukkan bahwa meperidine, seperti morfin mengganggu kompensasi refleks sistem saraf simpatis. Meperidine, berbeda dengan morfin, jarang menyebabkan bradikardia tetapi malah dapat meningkatkan denyut jantung, menggambarkan kualitas moderat yang sama dengan atropine. Dosis besar pada meperidine mengakibatkan penurunan kontraktilitas miokardial, diantara opioid, unik untuk obat ini. Delirium dan kejang, jika kedua hal tersebut terjadi, kiranya menggambarkan akumulasi normoperidine, yang telah menstimulasi efek pada SSP.
Sindrom serotonin (instabilitas otonom dengan hipertensi, takikardi, diaphoresis, hipertermia, perubahan perilaku termasuk konfusi dan agitasi, dan oerubahan neuromuskuler yang bermanifestasi dalam bentuk hiperrefleksia) terjadi ketika obat mampu meningkatkan pemberian serotonin yang diberikan. Pada kasus yang berat, koma, kejang, koagulopati, dan asidosis metabolic yang mungkin terjadi. Pemberian meperidine pada pasien yang mendapat obat antidepresan (monoamine oksidase inhibitor, fluoxetine) mungkin menimbulkan sindrom ini (Tissot,2003).
Meperidine siap memperbaiki ventilasi dan mungkin lebih sering menyebabkan suatu depresi pernapasan dibandingkan morfin. Opioid ini dengan segera melintasi plasenta, dan konsentrasi meperidine di darah umbilicus pada saat lahir dapat melebihkan konsentrasi plasma ibu (Way dkk,1965). Meperidine mungkin jarang menimbulkan konstipasi dan retensi urin dibandingkan pada morfin. Setelah dosis analgesic yang sama, spasme traktus biliaris jarang terjadisetelah injeksi meperidine dibandingkan setelah injeksi morfin tetapi lebih bear dibandingkan yang disebabkan oleh kodein (Radnay dkk,1980). Meperidine tidak menyebabkan miosis tetapi agaknya menyebabkan midriasis, menunjukkan kerja sedang yang mirip dengan atropine. Mulut kering dan suatu peningkatan pada denyut jantung adalah fakta selanjutnya pada efek yang mirip atropine pada meperidine. Gejala neurologis yang sementara telah ditunjukkan setelah pemberian meperidine intratekal untuk anesthesia pembedahan (Lewis dan Perrino,2002).
Pola gejala withdrawal setelah penghentian tiba-tiba pada meperidine dibedakan dari morfin yang disana terdapat beberapa efek system saraf otonomik. Selain itu, gejala withdrawal berkembang lebih cepat dan memiliki durasi yang lebih singkat dibandingkan pada morfin.

FENTANYL
Fentanyl adalah suatu opioid agonis derifat phenylpiperidine sintetik yang secara struktur berkaitan dengan meperidine (lihat gambar 3-15). Sebagai suatu analgesic, fentanyl lebih kuat 75 sampai 125 kali dibandingkan morfin.

Farmakokinetik
Suatu fentanyl dosis tunggal yang diberikan secara IV memiliki suatu onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek pada kerjanya dibandingkan pada morfin. Meskipun pengaruh klinik bahwa fentanyl menghasilkan suatu onset yang cepat, terdapat suatu keterlambatan waktu yang nyata antara konsentrasi puncak fentanyl dalam plasma dan puncaknya melambat pada EEG. Penundaan ini menunjukkan tempat efek yang waktunya sama antara darah dan otak untuk fentanyl, yang berkisar 6,4 menit. Potensi yang lebih besar dan onset yang lebih cepat pada kerja yang menunjukkan kelarutan lipid yang lebih besar pada fentanyl dibandingkan pada morfin, yang memudahkan aliran yang melintasi sawar darah otak. Selain itu, durasi kerja yang pendek pada fentanyl dosis tunggal yang menggambarkan redistribusi yang cepat untuk tidak mengaktifkan tempat jaringan seperti pada lemak dan otot skelet, dengan suatu penurunan konsentrasi obat dalam plasma yang berkaitan (Gambar 3-17) (Hug dan Murphy, 1981). Paru juga menyediakan suatu tempat yang besar, tempat penyimpanan yang tidak aktif, dengan suatu perkiraan 75 % pada dosis awal fentanyl yang menjalani uptake pertama yang melintasi paru (Roerig dkk,1987). Fungsi non pernapasan pada paru membatasi jumlah awal obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan mungkin memainkan suatu peranan penting dalam menentukan profil farmakokinetik pada fentanyl. Jika dosis multipel fentanyl IV diberikan atau ketika diberika dalam bentuk infus kontinyu pada obat dengan satuasi progresif pada terjadinya tempat jaringan inaktif. Sebagai hasilnya, dan durasi analgesia seperti halnya pada depresi pernapasan, mungkin diperpanjang (lihat bagian waktu paruh pada konteks sensitif). Penyakit kardiopulmoner menyebabkan efek klinik yang tidak signifikan pada farmakokinetik fentanyl meskipun berhubungan dengan hemodilusi, hipotermia, aliran darah non fisiologis dan respon system inflamsi sistemik yang diinduksi oleh efek kardiopulmoner. (Eddison dkk,2003).

















Gambar 3-17. Durasi kerja yang singkat pada dosis tunggal intravena dari fentanyl menunjukkan redistribusi yang cepat ke jaringan yang tidak aktif seperti lemak dan otot skelet, yang berkaitan dengan penurunan konsentrasi obat dalam plasma. (Rata-rata ± SE) (Dari Murphy MR, dkk. Redistribusi fentanyl di jaringan dan penghentian efeknya pada tikus. Anesthesiology 1981; 55: 369-375; dengan izin.)

Metabolisme
Fentanyl dimetabolisme secara luas oleh N-demetilasi yang menginduksi norfentanyl, hydroxyproprionyl-fentanyl, dan hidroxyproprionyl-norfentanyl. Norfentanyl secara struktur sama pada normeperidine dan metabolit utama fentanyl pada manusia. Obat ini diekskresi oleh ginjal dan dapat dideteksi pada urin selama 72 jam setelah suatu fentanyl IV dosis tunggal. Kurang dari 10 % fentanyl dieksresi diubah pada urin. Aktivitas farmakologi pada metabolisme fentanyl dipercaya menjadi minimal (Peng, 1999). Fentanyl adalah suatu substrat untuk enzim hepar P-450 (CYP3A) dan rentan pada interaksi obat yang menggambarkan gangguan dengan aktivitas enzim (kemungkinan kurang dibandingkan dengan alfentanil) (Ibrahim dkk,2003).

Waktu Paruh Pembuangan
Meskipun kesan klinik bahwa fentanyl memiliki suatu durasi kerja jangka pendek, waktu paruh pembuangan lebih lama dibandingkan pada morfin (lihat tabel 3-5). Waktu paruh pembuangan lebih lama menggambarkan suatu Vd fentanyl yang lebih besar karena bersihan pada kedua opioid adalah sama (lihat tabel 3-5). Vd fentanyl yang lebih besar karena kelarutan lemak yang lebih besar dan kemudian lebih cepat dialirkan kedalam jaringan dibandingkan dengan kurangnya morfin yang larut lemak. Setelah bolus IV, fentanyl terdistribusi secara cepat dari plasma pada jaringan pembuluh darah yang cukup tinggi (otak, paru, jantung). Lebih dari 80 % dari dosis yang diinjeksikan meninggalkan plasma dalam < 5 menit. Konsentrasi fentanyl dalam plasma dipertahankan dengan reuptake yang lambat dari jaringan yang tidak aktif, yang jumlahnya untuk efek obat yang bertahan yang sesuai waktu paruh pembuangan. Pada binatang, waktu paruh pembuangan, Vd, dan bersihan fentanyl tergantung pada dosis opioid antara 6,4 dan 640 µg/kg IV (Murphy dkk,1983).
Waktu paruh pembuangan yang memanjang fentanyl pada pasien usis tua akibat penurunan bersihan opioid karena Vd tidak berubah dibandingkan pada dewasa muda (Bently dkk, 1982). Perubahan ini mungkin menunjukkan penurunan pada aliran darah hepar yang berkaitan dengan usia, aktivitas enzim mikrosomal, atau produksi albumin, karena fentanyl sangat berikatan pada protein (79 % sampai 87 %). Dalam hal ini, terdapat kemungkinan bahwa suatu dosis fentanyl yang diberikan akan menjadi efektif untuk periode waktu yang lama pada pasien usia tua dibandingkan pada dewasa muda. Pemanjangan waktu paruh pembuangan pada fentanyl juga diamati pada pasien yang menjalani pembedahan aorta abdominal yang membutuhkan infra renal aortic cross-clamping (Hudson dkk,1986). Sangat mengejutkan,kegagalan pada sirosis hepatik untuk pemanjangan waktu paruh pembuangan pada fentanyl (Haberer dkk,1982).

Keadaan yang sensitive dengan waktu paruh
Ketika durasi infuse kontinyu fentanyl meningkat melebihi 2 jam, keadaan yang sensitif dengan waktu paruh pada opioid menjadi lebih besar dibandingkan dengan sufentanil (Gambar 3-18) (Egan dkk,1993; Hughes dkk,1992). Hal ini menggambarkan saturasi pada tempat jaringan inaktif pada fentanyl selama infus yang memanjang dan pengembalian opioid dari ruang perifer ke plasma. Cadangan jaringan pada fentanyl memindahkan fentanyl yang dibuang melalui metabolisme di hepar yang kecepatannya melambat pada penurunan konsentrasi fentanyl dalam plasma jika infuse dihentikan.

Cardiopulmonary Bypass
Semua opioid menunjukkan penurunan pada konsentrasi plasma pada awal cardiopulmonary bypass (Gedney dan Ghosh,1995). Derajat penurunan ini lebih tinggi dengan fentanyl karena suatu proporsi yang signifikan pada obat yang melekat pada permukaan sirkuit cardiopulmonary bypass. Penurunan yang minimal pada opioid yang memiliki Vd yang besar seperti pada penambahan volume utama kurang penting. Dalam hal ini, sufentanil dan alfentanil mungkin menunjukkan konsentrasi plasma yang lebih stabil selama cardiopulmonary bypass. Pembuangan fentanyl dan alfentanil telah menunjukkan menjadi lebih panjang dengan cardiopulmonary bypass.









Gambar 3-18. Stimulasi computer pada keadaan yang sensitive dengan waktu paruh (waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi plasma pada penurunan 50 % setelah penghentian infus) sebagai suatu fungsi pada durasi infuse intravena. (Dari Egan TD, Lemmens HJM, Fiset P dkk. Farmakokinetik pada remifentanil opioid kerja singkat baru (GI87084B) pada sukarelawan wanita dewasa sehat. Anesthesiology 1993; 79: 881-892; dengan izin.)


Penggunaan Klinik
Fentanyl diberikan secara klinik pada dosis kisaran luas. Sebagai contoh, dosis rendah pada fentanyl, 1 sampai 2 µg/kg IV, diinjeksikan untuk mendapatkan efek analgesia. Fentanyl, 2 sampai 20 µg/kg IV, mungkin diberikan sebagai tambahan pada obat anstesi inhalan pada penempatan respon sirkulasi yang samar-samar pada (a) laringoskopi direct untuk intubasi pada trakea, atau (b) perubahan tiba-tiba pada tingkat stimulasi pembedahan. Waktu injeksi IV pada fentanyl untuk mencegah atau mengobati beberapa respon sebaiknya mempertimbangkan waktu efek yang sama, yang pada fentanyl lebih panjang dibandingkan dengan alfentanil dan ramifentanil. Injeksi opioid seperti fentanyl sebelum pembedahan mungkin menurunkan jumlah opioid selnajutnya yang dibutuhkan pada masa setelah operasi untuk mendapatkan efek analgesia (Woolf dan Wall,1986). Pemberian fentanyl 1,5 atau 3 µg/kg IV 5 menit sebelum induksi anestesi menurunkan dosis lanjutan pada isofluran atau desfluran dengan 60 % nitrat oksida yang dibutuhkan untuk memblok respon system saraf simpatis pada pembedahan (Gambar 3-19) (Daniel dkk,1998). Dosis besar pada fentanyl, 50 sampai 150 µg/kg IV, telah digunakan sendiri untuk mnghasilkan anestesi pada pembedahan. Dosis besar fentanyl sebagai satu-satunya obat anestesi memiliki keuntungan pada hemodinamik yang stabil karena memiliki prinsip pada (a) kurangnya efek depresi langsung pada miokard, (b) tidak adanya pelepasan histamine, dan (c) penekanan respon stress pada pembedahan. Erugian pada penggunaan fentanyl sebagai satu-atunya obat anestesi antara lain (a) kegagalan untuk mencegah respon saraf simpatis pada stimulasi pembedahan yang nyeri pada beberapa dosis, khususnya pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang baik, (b) kesadaran pasien, (c) depresi pernapasan postoperasi (Hilgenberg,1981; Sprigge dkk,1982; Wynands dkk, 1983). Fentanyl intratekal (keuntungan maksimal yang diperoleh dengan efek samping minimal dengan dosis 25 µg) mengahasilkan analgesia pada persalinan yang cepat dengan efek samping minimal (gambar 3-20) (Palmer dkk,1998).










Gambar 3-19. Dosis anestesi desfluran dan isofluran yang dibutuhkan untuk memblok respon adrenergik (MAC-BAR) pada insisi pada 50 % pasien tanpa atau dengan fentanyl. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara obat anestesi inhalan pada beberapa dosis fentanyl dan kedua fentanyl secara signifikan dan penurunan yang sama pada MAC-BAR. * P < 0,05. Rata-rata ± SD. (Dari Daniel Morfin, Weiskopf RB, Noorani Morfin, dkk. Fentanyl menambah blok respon simpatis pada insisi (MAC-BAR) yang dihasilkan oleh desfluran dan isofluran. MAC-BAR Desfluran dan isofluran tanpa dan dengan fentanyl. Anesthesiology 1998: 88: 43-49, dengan izin.)













Gambar 3-20. Durasi analgesia ditunjukkan dengan waktu yang pertama diminta untuk analgesia tambahan dengan variasi dosis fentanyl intratekal. Rata-rata ≠ SD * P < 0,05 versus kelompok 15-45 µg, ** P < 0,05 versus kelompok 25 sampai 45 µg. (Dari Palmer CM, Hays Remifentanil, dkk. Hubungan dosis-respon pada fentanyl intratekal untuk analgesia persalinan. Anesthesiology 1998; 88: 355-361; dengan izin.)

Fentanyl dapat diberikan dengan pemberian transmukosa (fentanyl oral transmukosa) yang didesain untuk dialirkan 5 sampai µg/kg fentanyl. Tujuannya untuk menurunkan kecemasan preoperative dan memudahkan induksi anestesi, khususnya pada anak-anak (Macaluso dkk,1996; Stanley dkk,1989). Pada anak-anak 2 sampai 8 tahun, pemberian fentanyl transmukosa oral preoperatif, 15 sampai µg/kg 45 menit sebelum induksi anestesi, yang memungkinkan induksi sedasi preoperative dan memfasilitasi induksi anestesi inhalan (Friesen dan Lockhart,1992). Pasien yang sama, kemungkinan untuk mengalami penurunan pada frekuensi pernapasan dan oksigenasi arterial dan suatu peningkatan kejadian mual dan muntah postoperatif yang tidak dipengaruhi oleh pemberian droperidol sebagai proflaksis. Pada anak-anak dengan usia yang lebih muda dari 6 tahun, pemberian fentanyl transmukosa oral sebelum operasi, 15 µg/kg, berhubungan dengan suatu insidens yang tinggi pada terjadinya muntah postoperataif yang tidak diinginkan (Epstein dkk,1996). Berbeda halnya dengan laporan lain yang tidak menemukan peningkatan insidens terjadinya muntah atau desaturasi oksigen arteri setelah premedikasi dengan fentanyl transmukosa oral (Osida dkk,1998). Untuk pengobatan nyeri setelah pembedahan ortopedi, 1 mg fentanyl transmukosa oral sama dengan 5 mg morfin IV (Ashburn dkk,1993). Pasien yang mengalami nyeri karena kanker dapat diberikan opioid ini untuk memperpanjang kebutuhan untuk menimbulkan suatu tingkat analgesia yang diinginkan.
Fentanyl transdermal dengan dosis 75 sampai 100 µg/jam mengakibatkan pada konsentrasi fentanyl puncak pada plasma sekitar 18 jam yang masih stabil selama ditempelkan, terjadi melalui suatu penurunan konsentrasi dalam plasma pada beberapa jam setelah dibuang dari system pengangkutan, menunjukkan absorpsi kontinyu dari cadangan di kulit. Fentanyl transdermal digunakan sebelum induksi anestesi dan tetap di tempatnya selama 24 jam yang menurunkan jumlah opioid parenteral yang dibutuhkan sebagai analgesia postoperative (Caplan dkk,1989). Delirium akut toksik telah diamati pada pasien dengan nyeri kronik karena kanker yang ditangani dengan fentanyl transdermal dengan periode waktu yang memanjang (Kuzma dkk,1995). Terdapat kemungkinan bahwa gagal ginjal dan akumulasi norfentanyl berperan pada efek toksik pada penggunaan jangka panjang pada fentanyl transdermal.
Pada anjing, analgesic maksimal, efek pernapasan, dan efek akrdiovaskuler yang muncul jika konsentrasi plasma sekitar 30 ng/mL (Arndt dkk,1984). Hal ini menunjukkan bahwa kerja analgesic pada fentanyl tidak dapat dipisahkan dari efeknya pada pernapasan dan denyut jantung. Pada faktanya bahwa semua efek yang dimediasi oleh reseptor sama pada konsentrasi fentanyl dalam pasma yang menunjukkan saturasi pada reseptor opioid. Bukti pada overdosis opioid telah diamati ketika dipasangkan selimut yang menghangatkan tubuh bagian atas pada saat operasi dan dengan kontak pada fentanyl yang ditempelkan (Frolich dkk,2001).

Efek Samping
Efek samping pada fentanyl mirip dengan yang ditunjukkan pada morfin. Depresi pernapasan rekuren atau menetap pada fentanyl merupakan masalah postoperative yang potensial (Gambar 3-21) (Becker dkk,1976). Puncak kedua pada konsentrasi fentanyl dan morfin dalam plasma telah berperan pada cairan lambung yang asam akibat fentanyl (ion trapping). Sequesterasi fentanyl kemudian akan diabsorpsi dari usus halus yang lebih alkalis kemudian akan masuk kedalam sirkulasi untuk meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dapat menybabkan depresi pernapasan timbul kembali. Hal ini mungkin tidak menjadi ekanisme pada puncak kedua dari fentanyl, karena absorpsi ulang opioid pada traktus gastrointestinal atau otot sklet, yang dibangkitkan melalui pergerakan yang berkaitan dengan pemindahan dari ruang operasi, akan menjasi subyek pada lintasan pertama pada merabolisme hepar. Suatu penjelasan alternative pada puncak kedua pada fentanyl adalah pembuangan opioid dari paru melalui pernapasan menjadi hubungan perfusi yang dibangkitkan kembali pada periode postoperatif.













Gambar 3-21. Depresi pernapasan yang diinduksi oleh fentanyl rekuren dibuktikan oleh perubahan pada kemiringan kurva respon pernapasan karbon dioksida (Rata-rata ± SE) (Dari Becker LD, Paulson BA, Miller RD, dkk. Depresi pernapasan bifasik setelah penggunaan fentanyl-droperidol atau fentanyl sendiri untuk cadangan anesthesia nitrat oksida. Anesthesiology 176; 44:291-296; dengan izin.)

Efek Kardiovaskuler
Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl dalam dosis besar (50 µg/kg IV) tidak membangkitkan pelepasan histamine (lihat gambar 3-12) (Rosow dkk,1982). Sebagai hasilnya, dilatasi pada vena menyebabkan hipotensi adalah suatu hal yang tidak mungkin. Refleks baroreseptor sinus karotis mengontrol denyut jantung yang akan diturunkan oleh fentanyl, 10 µg/kg IV, yang diberikan pada neonatus (Gambar 3-22) (Murat dkk,1988). Oleh karena itu, perubahan pada tekanan darah sistemik terjadi selama anestesi fentanyl harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena cardiac output utamanya bergantung pada kecepatannya pada neonatus. Bradikardia lebih menonjol bengan fentanyl dibandingkan morfin dan nungkin menyebabkan penurunan pada tekanan darah dan cardiac output. Rekasi alergi jarang terjadi pada respon dengan pemberian fentanyl (Bennet dkk,1986). Dalam hal ini, syok anafilaksis terhadap getah (latex) telah dikelirukan dengan alergi terhadap fentanyl (Zucker-Pinchoff dan Chandler,1993).








Gambar 3-22. Fentanyl menimbulkan depresi pada refleks sinus karotis yang memediasi respon denyut jantung pada perubahan tekanan darah pada neonatus. (*P <0,02) (Dari Murat I, Levron JB, Berg Opioid agonis, dkk. Efek fentanyl pada refleks baroreseptor yang mengontrol denyut jantung pada bayi baru lahir. Anesthesiology 1988; 68: 717-722; dengan izin.)

Bangkitan Kejang
Bangkitan kejang telah ditunjukkan terjadi setelah pemberian fentanyl, sufentanil, dan alfentanil yang diberikan secara IV dengan cepat (Manninen,1997). Tidak ada bukti pada EEG terhadap bangkitan kejang, namun, hal ini sulit dibedakan rigiditas otot skelet atau mioklonus yang diinduksi oleh opioid dari bangkitan kejang. Sebenarnya, pencatatan pada EEG selama periode rigiditas otot sklelet yang diinduksi oleh opioid gagal menunjukkan bukti bangkitan kejang di otak (Smith dkk,1989). Jika konsentrasi plasma setinggi 1,750 ng/mL setelah pemberian fentanyl secara cepat, 150 µg/kg IV, tidak menimbulkan bangkitan kejang pada EEG (Murkin dkk, 1984). Secara berlawanan, opioid mungkin menghasilkan suatu bentuk miklonus akibat depersi pada pusat inhibisi yang akan menimbulkan suatu gambaran klinik berupa bangkitan kejang yang tidak menimbulkan perubahan EEG.

Potensial bangkitan somatosensoris dan elektroencefalogram
Fentanyl pada dosis melebihi 30 µg/kg IV menghasilkan perubahan pada potensial bangkitan somatosensoris, meskipun terdeteksi, tidak mengganggu dengan penggunaannya dan interpretasi pada monitor ini selama anesthesia (Schubert dkk, 1987). Opioid, termasuk fentanyl, melemahkan pergerakan otot skelet pada dosis dengan efek yang kurang pada EEG. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan pada respon pada pembedahan insisi kulit (digunakan untuk mengukur MAC) utamanya menunjukkan kemampuan suatu obat untuk mendapatkan refleks terhadap nyeri dan tidak mungkin menjadi pengukuran yang paling sesuai untuk menilai kesadaran atau kehilangan kesadaran (Glass dkk, 1997). Efek opioid ini mengacaukan penggunaan analisis bispektral sebagai suatu pengukuran obat anestesi yang sesuai ketika kurangnya pergerakan dengan pembedahan insisi kulit yang digunakan untuk mengartikan efektivitasnya (Sebel dkk,1997).


Tekanan Intrakranial
Pemberian fentanyl dan sufentanil pada pasien cedera kepala telah berkaitan dengan peningkatan pada TIK sedang (6 sampai 9 mmHg) meskipun mempertahankan PaCO2 (Albenese dkk, 1993; Sperry dkk,1992). Peningkatan pada TIK ini umumnya disertai dengan penurunan pada tekanan arteri rata-rata dan tekanan perfusi otak. Pada kenyataannya, peningkatan TIK tidak menyertai pemberian sufentanil jika perubahan pada tekanan arteri rata-rata dihindari (Gambar 3-23) (Warner dkk, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pada TIK dibangkitkan oleh sufentanil (dan mungkin juga fentanyl ) mungkin akibat suatu penurunan autoregulasi pada resistensi pembuluh darah otak karena penurunan tekanan darah sistemik akibat vasodilatasi, peningkatan volume darah, dan peningkatan TIK. Walaupun demikian, peningkatan TIK yang diinduksi oleh opioid sama yang terjadi pada utuhnya atau gangguan aoutoregulasi yang menunjukkan bahwa mekanisme lain yang dibandingkan dengan aktivasi pada kaskade vasodilatasi perlu dipertimbangkan (de Nadal dkk, 2000).

Interaksi Obat
Konsentrasi analgesik pada fentanyl secara luas berpotensial pada efek midazolam dan menurunkan kebutuhan dosis propofol. Kombinasi opioid-benzodiazepin bersifat sinergis yang berkenaan dengan hypnosis dan depresi pernapasan (Bailey dkk, 1990a). pada praktek klinik, keuntungan efek sinergis antara opioid dan benzodiazepine untuk mempertahankan pasien merasa nyaman secara hati-hati dipertahankan melawan kerugian potensial yang berlawanan dengan efek depresan pada kombinasi ini. Pemberian pre induksi pada fentanyl IV (juga sufentanil dan alfentanil ) mungkin berkaitan dengan refleks batuk (Tweed dan Dakin,2001).















Gambar 3-23. Perubahan pada tekanan arteri rata-rata atau tekanan intracranial sebelum dan sesudah pemberian sufentanil, 3 µg/kg IV, kepada 30 pasien dengan hipertensi intracranial setelah trauma kepala berat. Tekanan intrakranial meningkat hanya pada pasien yang mengalami suatu penurunan pada tekanan arteri rata-rata setelah pemberian sufentanil (Rata-rata ± SD, * P < 0,05 vs kelompok I) (Dari Werner C, Kochs E, dkk. Efek sufentanil pada hemodinamik otak dan tekanan intracranial pada pasien dengan cedera kepala. Anesthesiology 1995; 83:721-726; dengan izin.)
SUFENTANIL
Sufentanil adalah suatu analog thienyl dari fentanyl (lihat gambar 3-15). Potensi analgesik pada sufentanil adalah lima sampai sepuluh kali dari fentanyl, yang sesuai dengan afinitas yang lebih besar dari sufentanil pada reseptor opioid dibandingkan dengan yang terjadi pada fentanyl. Berdasarkan konsentrasi plasma yang dibutuhkan untuk menyebabkan 50 % dari perlambatan maksimum pada EEG (EC50), sufentanil lebih kuat 12 kali dibandingkan dengan fentanyl (Scott dkk, 1991). Suatu perbedaan penting dari fentanyl adalah 1000 kali lipat berbeda antara dosis analgesik sufentanil dan dosis yang menimbulkan kejang pada binatang. Perbedaan ini 160 kali lipat pada fentanyl dan mungkin menjadi penting ketika dosis besar opioid agonis yang digunakan untuk menimbulkan anesthesia. Spasme otot skelet sementara telah ditunjukkan setelah injeksi intratekal pada dosis besar sufentanil (40 µg), menunjukkan suatu efek iritatif yang ditimbulkan oleh opioid (Malinovsky dkk, 1996).

Farmakokinetik
Waktu paruh pembuangan pada sufentanil adalah berada diantara fentanyl dan alfentanil (lihat Tabel 3-5) (Bovill dkk, 1984). Suatu dosis tunggal IV sufentanil memiliki suatu waktu paruh pembuangan pada pasien dengan atau tanpa sirosis hati (Chauvin dkk, 1989). Suatu waktu paruh pembuangan yang memanjang telah diamati pada pasien usia tua yang mendapatkan sufentanil pada pembedahan aorta abdominal (Hudson dkk, 1989). Vd dan waktu paruh pembuangan pada sufentanil meningkat pada pasien obese, yang kemungkinan paling banyak menunjukkan kelarutan lemak yang tinggi pada opioid ini (Schwartz dkk, 1991).
Suatu afinitas jaringan yang tinggi menetap dengan keadaan lipofilik pada sufentanil, yang memungkinkan penetrasi yang cepat pada sawar darah otak dan onset pada efek SSP (waktu efek keseimbangan yang sama pada 6,2 menit sama halnya dengan 6,8 menit untuk fentanyl) (Scott dkk, 1991). Suatu redistribusi cepat untuk tempat jaringan yang tidak aktif yang mengakhiri efek pada dosis kecil, tetapi suatu kumpulan efek obat dapat menyertai dosis besar sufentanil dan berulang. Sufentanil menjalani uptake pertama yang melintasi paru (sekitar 60 %) setelah injeksi IV secara cepat (Boer dkk, 1996). Uptake pertama yang melintasi paru sama pada fentanyl dan lebih besar dibandingkan pada morfin (sekitar 7 %) dan alfentanil (sekitar 10 %).
Ikatan protein yang luas dengan sufentanil (92,5 %) dibandingkan dengan pada fentanyl (79 % sampai 87 %) yang berperan pada suatu Vd yang lebih kecil, yang ditandai pada sufentanil. Ikatan pada alfa1-asam glikoprotein yang menyususn suatu proporsi utama pada protein plasma total yang berikatan dengan sufentanil. Tingkat pada alfa1-asam glikoprotein bervariasi sekitar tiga kali lipat pada sukarelawan yang sehat dan meningkat setelah pembedahan, yang akan mengakibatkan penurunan pada konsentrasi dalam plasma secara farmakologi aktif yang tidak berikatan dengan sufentanil. Konsentrasi alfa1-asam glikoprotein yang lebih rendah pada neonatus dan bayi mungkin diperhitungkan mengalami penurunan pada ikatan protein terhadap sufentanil pada kelompok umur ini yang dibandingkan pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa (Meistelman dkk, 1990). Sebagai akibatnya terjadi peningkatan fraksi bebas dari sufentanil pada neonatus yang mungkin berperan untuk menambah efek opioid ini. Sebenarnya, fentanyl dan derivatnya menibulkan anesthesia dan depresi pernapasan pada dosis yeng lebih rendah pada neonatus dibandingkan pada orang dewasa (Greeley dkk, 1987; Yaster, 1987).


Metabolisme
Sufentanil dimetabolisme lebih cepat oleh N-dealkylation pada nitrogen piperidine dan oleh Opioid-demethylation. Produk dari N-dealkylation secara farmakologi tidak aktif, sedangkan desmethyl sufentanil memiliki sekitar 10 % aktivitas sufentanil. Kurang dari 1 % dari dosis sufentanil yang diberikan mengakibatkan reabsorpsi obat bebas di tbulus ginjal secara maksimal seperti halnya obat ini dapat menambah akses ke enzim mikrosomal hepar. Ekstraksi hepar yang luas berarti bahwa bersihan sufentanil akan menjadi sensitif pada perubahan aliran darah hepatik tetapi tidak mengubah kapasitas metabolisme obat di hepar. Hasil metabolisme sufentanil dieksresi hampir dalam jumlah yang sama di urine dan feses, sekitar 30 % muncul sebagai konjugat.produksi pada suatu metabolisme aktif yang lemah dan jumlah zat pada pembentukan hasil metabolisme konjugasi menyatakan secara tidak langsung pentingnya fungsi ginjal normal untuk bersihan sufentanil. Sebenarnya, depresi pernapasan yang memanjang dalam hubungannya dengan suatu peningkatan konsentrasi sufentanil plasma yang tidak normal telah diamati pada seorang pasien dengan gagal ginjal kronik (Waggum dkk, 1985).

Keadaan yang sensitive dengan waktu paruh
Keadaan yang sensitive dengan waktu paruh pada sufentanil jarang dibandingkan pada alfentanil untuk infuse kontinyu dalam durasi sampai 8 jam (lihat Gambar 3-18) (Egan dkk, 1993; Hughes dkk, 1992). Keadaan yang sensitive pada waktu paruh yang lebih pendek ini dapat dijelaskan sebagai bagian oleh Vd sufentanil yang lebih luas dibandingkan pada alfentanil. Setelah penghentian infuse sufentanil, penurunan pada konsentrasi obat dalam plasma dipercepat tidak hanya pada metabolisme tetapi juga pada redistibusi kontinyu pada sufentanil ke jaringan perifer. Dibandingkan dengan alfentanil, sufentanil mungkin memiliki suatu efek pemulihan yang lebih baik jika digunakan pada periode waktu yang lebih lama. Berbeda halnya pada alfentanil yang memiliki suatu keuntungan farmakokinetik untuk penanganan stimulus nyeri sementara karena waktu keseimbangan efek yang lebih singkat memungkinkan akses yang cepat pada obat ini pada otak dan memudahkan titrasi.

Penggunaan klinik
Pada sukarelawan, sufentanil dosis tunggal 0,1 sampai 0,4 µg/kg IV, menimbulkan suatu periode analgesia yang lebih panjang dan depresi pernapasan yang jarang dibandingkan pada dosis fentanyl yang sebanding (1 sampai 4 µg/kg IV) (Bailey dkk, 1990b). dibandingkan dengan dosis morfin atau fentanyl yang lebih besar, sufentanil 18,9 µg/kg IV, menimbulkan induksi anesthesia yang lebih cepat, muculnya anestesi yang lebih awal, dan ekstubasi yang lebih awal (Gambar 3-24 (Sanford dkk,1986). Seperti yang diamati dengan opioid lain, sufentanil menyebabkan penurunan pada kebutuhan metabolisme oksigen di otak dan aliran darah otak juga menurun atau tidak berubah (Mayer dkk,1990). Bradikardia yang terjadi akibat sufentanil mungkin cukup morfin untuk menurunkan cardiac output. Seperti yang diamati pada fentanyl, depresi pernapasan yang terlambat juga telah digambarkan setelah pemberian sufentanil (Chang dan Fish, 1985).
Meskipun dosis besar sufentanil (10 sampai 30 µg/kg IV) atau fentanyl (50 sampai 150 µg/kg IV) menghasilkan efek hemodinamik minimal pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri baik, respon tekanan darah sistemik dan hormonal (katekolamin) pada stimulasi nyeri seperti strenotomi median tidak diperkirakan dapat dicegah (Philbin dkk, 1990). Terdapat hal yang tidak mungkin bahwa beberapa penggunaan dosis yang berguna pada sufentanil atau fentanyl akan mengakhiri respon tersebut pada semua pasien. Penggunaan dosis besar dari opioid, termasuk sufentanil atau fentanyl, untuk menghasilkan induksi anaestesia IV akan menimbulkan kekakuan otot dada dan otot abdomen. Kekauan otot skelet mambuat ventilasi pada paru pasien dengan tekanan posistif menjadi sulit. Kesulitan bernapas selama kekakuan otot skelet yang diinduksi oleh sufentanil dapat menunjukkan obstruksi pada tingkat glottis ataupun diatasnya,yang dapat diatasi dengan intubasi endotrakeal (Abrams dkk,1996).









Gambar 3-24. Waktu antara permulaan pemberian opioid dan kemampuan pasien untuk merespon pada perintah verbal yang didefenisikan sebagai waktu induksi. Sufentanil mengakibatkan induksi anesthesia yang lebih cepat secara signifikan dibandingkan pada morfin atau fentanyl. (Rata-rata ± SE) (Dari Sanford TJ, Smith NT, Dee-Silver H, dkk. Suatu perbandingan anesthesia morfin, fentanyl, dan sufentanil untuk pembedahan jantung; induksi, kemunculan, dan ekstubas Anesth Analg 1986; 65: 259-266; dengan izin.)

ALFENTANIL
Alfentanil adalah analog dari fentanyl yang kurang kuat (seperlima atau sepersepuluh) dan memiliki sepertiga durasi dari durasi kerja fentanyl (lihat Gambar 3-15). Suatu keuntungan unik pada alfentanil dibandingkan dengan fentanyl dan sufentanil adalah onset kerja yang lebih cepat (penyeimbangan efekyang cepat setelah pemberian alfentanil IV). sebagai contoh bahwa waktu penyeimbangan efek untuk alfentanil adalah 1,4 menit dibandingkan dengan 6,8 dan 6,2 menit pada fentanyl dan sufentanil, secara berturut-turut (lihat tabel 3-5) (Scot dkk, 1985; Scoot dan Stanski, 1987; Shafer dan Varvel, 1991).

Farmakokinetik
Alfentanil memiliki waktu paruh pembuangan yang singkat dibandingkan dengan fentanyl dan sufentanil (lihat tabel 3-5). Sirosis hati, tetapi bukan penyakit cholestatik, memperpanjang waktu paruh pembuanagn pada alfentanil (Davis dkk, 1989). Gagal ginjal tidak mengubah bersihan waktu paruh pembuangan pada alfentanil (Chauvin dkk, 1987a). Waktu paruh pembuangan pada alfentanil lebih pendek pada anak-anak (4 sampai 8 tahun) dibandingkan pada orang dewasa, menunjukkan Vd yang lebih kecil pada pasien usia muda ini (Meistelman dkk, 1987).
Karakteristik penyeimbangan efek yang cepat pada alfentanil adalah terjadi pada pK opioid yang rendah hampir mencapai 0 % pada obat yang ada pada bentuk non ionic dalam pH fisiologis. Fraksi non ionic ini dapat melintasi sawar darah otak. Efek puncak alfentanil yang cepat pada otak bermanfaat jika suatu opioid dibutuhkan untuk menimbulkan respon tunggal, stimulus singkat seperti intubasi trakea atau timbulnya blok retrobulbar.
Vd pada alfentanil adalah empat sampai enam kali lebih kecil dibandingkan fentanyl (lihat tabel 3-5) (Carnu dkk, 1982; Stanski dan Hg, 1982). Vd yang lebi kecil ini dibandingkan dengan fentanyl menunjukkan kelarutan lemak yang lebih rendah, menembus sawar darah otak oleh alfentanil lebih cepat karena efek non ionic dengan tingkat tinggi pada pH fisiologis. Alfentanil utamanya berikatan dengan dengan alfa1-asam glikoprotein, suatu protein yang konsentrasi plasmanya tidak diubah oleh penyakit pada hepar. Karena ikatan protein sama, terdapat kemungkinan bahw asuatu penurunan persentasi jaringan adipose pada anak-anak bertanggung jawab pada waktu paruh pembuangan yang singkat.

Metabolisme
Alfentanil dimetabolisme lebih dominan melalui dua jalur independen, piperidine N-dealkylation menjadi noralfentanil dan amide N-dealkylation menjadi N-phenylpropionamide. Noralfentanil adalah metabolit utama yang dibuang di urin, dengan < 0,5 % pada suatu dosis alfentanil yang diberikan mengalami ekskresi yang tidak berubah. Efektivitas pada metabolisme hepar ditekankan oleh bersihan pada sekitar 96 % pada alfentanil dari plasma dalam 60 menit pemberiannya.
Faktor yang mengacaukan pada perkembangan rejimen infus yang dapat dipercaya untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi plasma spesifik pada alfentanil adalah variablitas interindividual pada farmakokinetik alfentanil. Factor yang paling bertanggung jawab pada kecenderungan alfentanil yang tidak diperkirakan adalah sepuluh kali lipat dari variablilitas interindividual pada bersihan sistemik alfentanil, kiranya menunjukkan variablilitas pada bersihan intrinsic pada hepar. Dalam hal ini, terdapat kemungkinan bahwa variablitias populasi pada aktivitas P-450 3A4 (CYP3A) (paling banyak pada enzim hepar P-450 yang berlebihan) dan isoform utama pada P-450 bertanggung jawab pada metabolisme alfentanil dan bersihannya) adalah penjelasan mekanisme pada variabilitas interyndividual pada disposisi alfentanil (Kharasch dkk, 1997). Bersihan alfentanil dipengaruhi secara nyata oleh aktivitas CYP3A dan alfentanil adalah suatu probe yang sensitive dan tervalidasi untuk aktivitas CYP3A (Ibrahim dkk, 2003). Perubahan pada kativitas P-450 mungkin bertanggung jawab pada kemampuan erithromisin untuk menghambat metabolisme alfentanil dan mengakibatkan efek opioid yang lebih lama (Bartkowski dan McDonnel, 1990).

Keadaan yang sensitive dengan Waktu Paruh
Keadaan yang sensitive dengan waktu paruh pada alfentanil biasanya lebih lama dibandingkan pada sufentanil untuk infuse sampai 8 jam dalam durasinya (lihat gambar 3-18) (Egan dkk, 1993; Hughes dkk, 1992). Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai bagian Vd sufentanil yang luas. Setelah penghentian infuse kontinyu sufentanil, penurunan konsentrasi dalam plasma dipercepat tidak hanya melalui metabolisme tetapi juga oleh redistribusi sufentanil kontinyu kedalam jaringan perifer. Berbeda halnya pada Vd alfentanil yang menjadi seimbang dengan cepat; oleh karena itu redistribusi obat pada obat yang menjauhi dari plasma adalah tidak berperan secara signifikan pada penurunan konsentrasi plasma setelah penghentian infuse alfentanil. Kemudian,meskipun waktu paruh pembuangan alfentanil yang singkat, hal ini mungkin tidak dibutuhkan menjadi pilihan utama pada sufentanil untuk teknik sedasi pembedahan rawat jalan.

Penggunaan klinik
Alfentanil memiliki suatu onset yang cepat dan penyeimbangan analgesia yang kuat menunjukkan obat ini memiliki keseimbangan efek yang sangat cepat. Karakteristik pada alfentanil ini digunakan untuk menimbulkan analgesia jika stimulus nyeri berlangsnug akut tetapi sementara yang berkaitan dengan laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta blok retrobulbar. Sebagai contoh, pemberian alfentanil, 15 µg/kg IV, sekitar 90 derik sebelum memulai laringoskopi direct efektif dalam menyamarkan respon tekanan darah sistemik dan denyut jantung pada intubasi endotrakeal (gambar 3-5) (Miller dkk, 1993). Respon katekolamin pada stimulus nyeri ini juga disamarkan oleh alfentanil, 30 µg/kg IV (Gambar 3-26) (Miller dkk, 1993). Alfentanil pada dosis 10 sampai 20 µg/kg IV samar dalam sirkulasi tetapi tidak pada respon pelepasan katekolamin terhadap pemberian secara tiba-tiba desfluran inhalan dengan konsentrasi tinggi (Yonker-Sell dkk, 1996). Alfentanil, 150 sampai 300 µg/kg IV, diberikan secara cepat, menghasilkan penurunan kesadaran dalam sekitar 45 detik. Setelah induksi ini, pemeliharaan anestesi dapat diperoleh dengan suatu infus kontinyu alfentanil, 25 sampai 150 µg/kg IV, dikombinasikan dengan suatu obat inhalan (Ausems dkk, 1983). Tidak sama dengan opioid lain, dosis cadangan alfentanil yampaknya mungkin lebih menurunkan tekanan darah sistemik yang meningkat setelah stimulasi nyeri. Alfentanil meningkatkan tekanan traktus biliaris sama dengan fentanyl, tetapi durasi peningkatan ini lebih singkat dibandingkan yang dihasilkan oleh fentanyl (Hynyen dkk, 1986). Alfentanil, dibandingkan dengan dosis yang sama kuat pada fentanyl dan sufentanil, berhubungan dengan kejadian mual dan muntah setelah operasi yang lebih rendah pada peasien pembedahan rawat jalan (Gambar 3-27) (Langevin dkk, 1999). Distonia akut telah terjadi setelah pemberian alfentanil pada seorang pasien dengan penyakit Parkinson yang tidak diobati (Mets, 1991). Hal ini mungkin menunjukkan suatu kemampuan opioid untuk menurunkan transmisi dopaminergik sentral dan perlu berhati-hati pada pemberian opioid ini pada pasien dengan penyakit Parkinson yang tidak diobati.














Gambar 3-25. Kurva respon pada perubahan maksimum (%) pada denyut jantung dan tekanan darah sistolik pada respon induksi anesthesia dan intubasi trakeal. (A15,15 µg/kg IV alfentanil, A30, 30 µg/kg IV alfentanil, A45, 45 µg/kg IV alfentanil, Cont, control; * dibedakan dari A30; ** dibedakan dari A30, A45; *** dibedakan dari A15,A30,A45; P < 0,05, dengan ANOVA.) (Dari Miller DR, Martineau RJ, Opioid Brien H, dkk. Efek alfentanil pada hemodinamik dan respon katekolamin pada intubasi trakeal, Anesth Anal 1993; 76:1040-1046; dengan izin.)











Gambar 3-26. Kurva dosis-perubahan respon maksimum (%) dalam konsentrasi epinefrin dan norepinefrin plasma dalam respon pada induksi anesthesia dan intubasi trakeal. (A15,15 µg/kg IV alfentanil, A30, 30 µg/kg IV alfentanil, A45, 45 µg/kg IV alfentanil, Cont, control; * dibedakan dari A30; ** dibedakan dari A30, A45; *** dibedakan dari A15,A30,A45; P < 0,05, dengan ANOVA.) (Dari Miller DR, Martineau RJ, Opioid Brien H, dkk. Efek alfentanil pada hemodinamik dan respon katekolamin pada intubasi trakeal, Anesth Anal 1993; 76:1040-1046; dengan izin.)

REMIFENTANIL
Remifentanil adalah opioid agonis mu selektif yang memiliki potensi analgetik dengan fentanyl (15 sampai 32 kali lebih kuat dibandingkan alfentanil ) dan `dapat melintasi sawar darah otak dan memiliki waktu penyeimbangan efek yang sama pada alfentanil (Tabel 3-5) (Burkle dkk, 1996; Egan dkk, 1993; Rosow, 1993; Thompson dan Robotham, 1999). Meskipun secara kimia berkaitan dengan fentanyl, derivate phenylpiperidine kerja singkat, remifentanil secara struktur bersifat unik, karena ikatan esternya (lihat Gambar 3-13). Ester remifentanil dihidrolisis oleh plasma dan jaringan non spesifik dan meningkatkan metabolit inaktif (Gambar 3-28) (Egan dkk, 1993). Jalur unik pada metabolisme memberi peranan pada (a) kerja yang cepat, (b) titrasi yang tepat dan cepat (c)efek mulai pada onset yang cepat (sama pada alfentanil) dan (d) waktu pemulihan yang cepat setelah penghentian pemberian obat ini.

Ventilasi
Setelah pemberian remifentanil 0,5 µg/kg IV terjadi penurunan pada puncak dan dan pergesean yang cenderung menurun pada kurva respon pernapasan terhadap karbon dioksida yang mencapai titik terendah setelah sekitar 150 detik setelah injeksi (Gambar 3-29) (Babenco dkk, 2000). Pemulihan setelah dosis kecil remifentanil ini sempurna dalam 15 menit. Kombinasi antara remifentanil dan propofol bersifat sinergis dalam mengakibatkan depresi pernapasan (Gambar 3-30) (Nieuwenhuijs dkk, 2003).











Gambar 3-28. Remifentanil mengalami hidrolisis melalui plasma non spesifik dan jaringan esterase (jalur utama) menjadi metabolit asam karboksilat (GI90291) yang secara klinik yang bekerja agonis secara signifikan pada reseptor opioid. N-dealkylation remifentanil menjadi GI94219 adalah jalur minor metabolisme. (Dari Egan TD, Lemmens HJM, Fiset P dkk. Farmakokinetik pada remifentanil opioid kerja singkat baru (GI87084B) pada sukarelawan wanita dewasa sehat. Anesthesiology 1993; 79: 881-892; dengan izin.)














Gambar 3-29. Kurva respon karbon dioksida sebelum (waktu=0) dan pada waktu pilih setelah pemberian 0,5 µg/kg IV remifentanil. (Dari Babenco HD, Conard PF, Gross JB. Efek farmakodinamik pada bolus remifentanil pada kontrol pernapasan. Anesthesiology 2000; 92:393-398; dengan izin.)
















Gambar 3-30. Kurva respon ventilasi dari seorang individu. Kombinasi pemberian remifentanil dan propofol yang menurunkan kemiringan kurva respon karbon dioksida dan menyebabkan suatu pergeseran ke kanan. (Dari Niewenhuijs DJF, Olofsen E, Romberd RR, dkk. Respon permukaan modeling interaksi remifentanil-propofol pada control kardiorespiratory dan indeks bispektral. Anesthesiology 2003; 98: 312-322; dengan izin.)

Farmakokinetik
Farmakokinetik remifentanil ditandai oleh Vd yang kecil, bersihan yang cepat, dan variabilitas interindividual yang rendah dibandingkan dengan obat anastesi IV lain. Metabolisme ramifentanil yang cepat dan Vd yang kecil berarti bahwa ramifentanil akan berakumulasi kurang dibandingkan opioid lain. Karena bersihan sistemik yang cepat, ramifentanil menunjukkan keuntungan farmakokinetik pada kebutuhan situasi klinikyang diperkirakan akan mengakihiri efek obat ini. Farmakokinetik ramifentanil sama pada pasien obese dan pasien kurus yang mengkonfirmasi rejimen dosis klinik sebaiknya didasarkan pada massa tubuh idela dibandingkan berat badan total (Egan dkk, 1998).
Gambaran farmakokinetik yang paling menonjol pada remifentanil adalah bersihan yang luar biasa hampir 3 liter/menit, yang sekitar delapan kali lebih cepat dibandingkan pada alfentanil. Remifentanil memiliki Vd yang lebih kecil dibandingkan dibandingkan alfentanil. Komninasi bersihan yang cepat dan Vd yang lebih kecil meninbulkan suatu obat dengan efek unik yang lenyap. Pada kenyataannya, kecepatan penurunan (keadaan yang sensitive dengan waktu paruh) pada konsentrasi plasma remifentanil yang hampir tidak bergantung pada durasi infus (lihat Gambar 3-18) (Burkle dkk, 1996; Egan dkk, 1993). Penyeimbangan efek samping yang cepat berarti bahwa suatu kecepatan infuse remifentanil akan mempercepat pendekatan posisi mantap pada plasma dan efek sampingnya. Diperkirakan bahwa konsentrasi remifentanil plasma akan mencapai suatu posisi mantap dalam 10 menit permulaan suatu infuse. Hubungan antara kecepatan infus dan konsentrasi opioid akan kurang bervariasi untuk remifentanil dibandingkan pada opioid lain. Walaupun demikian, bersihan remifentanil yang cepat, dikombinasi dengan penyeimbangan darah-otak yang cepat, menyebabkan perubahan pada kecepatan infuse akan sesuai dengan perubahan yang cepat pada efek obat.
Berdasarkan pada analisis pada respon EEG, dapat disimpulkan bahwa remifentanil sekitar 19 kali lebih kuat dibandingkan alfentanil (EC50 untuk depresi EEG 20 ng/mL versus 376 ng/mL ) (Egan dkk, 1993). Waktu penyeimbangan efek, bagaimanapun, sama untuk kedua opioid, menunjukkan bahwa remifentanil akan memiliki suatu onset yang mirip dengan alfentanil (lihat Tabel 3-5). Sebagai contoh, setelah suatu injeksi IV dengan cepat, konsentrasi puncak pada efek remifentanil akan muncul dalam 1,1 menit, dibandingkan dengan 1,4 menit untuk alfentanil. Efek ini, akan lebih muncul setelah pemberian remifentanil dibandingkan alfentanil.
Metabolisme
Remifentanil bersifat unik diantara opioid yang mengalami metabolisme melalui plasma uyang non spesifik dan esterase jaringan menjadi metablit yang inaktif (lihat Gambar 3-26) (Egan dkk, 1993). Metabloit utama, asam remifentanil, sekitar 300 sampai 4.600 kali lipat kurang poten dibandingkan remifentanil sebagai suatu agonist mu dan utamanya dieksesi melalui ginjal. Obat ini dan metabolit inaktif yang lain menjalani ekskresi melalui ginjal. N-dealkylation remifentanil adalah suatu jalur metabolik minor pada manusia. Remifentanil tidak muncul menjadi suatu zat untuk butyrylcholinesterase (pseudocholinesterase), dan kemudian bersihan sebaiknya tidak dipengaruhi oleh defisiensi kolinesterasi atau antikolinergik (Burkle dkk, 1996). Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa farmakokinetik remifentanil tidak akan diubah pada gagal ginjal atau gagal hepar karena metabolisme esterase biasanya dipertahankan pada keadaan ini (Hoke dkk, 1997). Dalam hal ini, bersihan remifentanil tidak berubah selama fase anhepatik pada transplantasi hati. Hipotermik kardiopulmonary bypass menurunkan bersihan remifentanil melalui dengan rata-rata 20 %, kiranya menunjukkan efek temperature pada aktivitas esterase darah dan jaringan. Metabolisme esterase tampaknya menjadi suatu sistem metabolik yang dipersiapkan dengan baik dengan sedikit variabilitas antara tiap individu, yang berperan pada efek obat yang diperkirakan yang berkaitan dengan infus remifentanil (Rosow, 1993).


Waktu paruh pembuangan
Suatu perkiraan 99,8 % remifentanil dibuang selama distribusi (0,9 menit) dan pembuangan waktu paruh (6,3 menit). Secara klinik, remifentanil berjalan seperti suatu obat dengan suatu waktu paruh pembuangan 6 menit atau kurangnya.

Keadaan yang sensitive dengan waktu paruh
Keadaan yang sensitive dengan waktu paruh pada remifentanil tidak tergantung pada durasi infuse dan diperkirakan menjadi sekitar 4 manit (lihat Gambar 3-18) (Burkle dkk, 1996; Egan dkk, 1993; Kapila dkk, 1995). Bersihan obat yang cepat bertanggung jawab untuk kekurangan akumulasi selama periode infuse yang memanjang. Berbeda halnya dengan keadaan yang sensitive dengan waktu paruh pada sufentanil, alfentanil, dan fentanyl lebih lama dan bergantung pada durasi infus (lihat tabel 3-5) (lihat Gambar 3-18) (Burkle dkk, 1996; Egan dkk, 1993).

Penggunaan klinik
Penggunaan klinik remifentanil menggambarkan profil farmakokinetik unik pada opioid ini, yang , memungkinkan onset efek obat yang cepat, titrasi yang tepat untuk efek yang diinginkan, kemampuan untuk mempertahankan suatu konsentrasi opioid plasma yang cukup untuk menekan respon stress, dan pemulihan yang cepat dari efek obat ini. Pada kasus dimana suatu efek analgesic yang sangat dalam diinginkan sementara (terdapat pada blok retrobulbar), remifentanil mungkin betmanfaat. Onset yang cepat dan durasi kerja yang singkat pada responsistem saraf simpatis sementara pada laringoskopi direct dan intubasi trakeal pada pasien yang beresiko (Thompson dkk,1998).Pemberian remifentanil intermitten sebagai analgesia pada pasien bersifat efektif dan sebagai analgesia yang paling disukai selama persalinan(Efron dkk,2005). Remifentanil akan digunakan untuk pembedahan yang lamaran,ketika waktu pemulihan yang cepat dibutuhkan (penilaian neurologis,pemeriksaan kesadaran). Teknik anastesi remifentanil dosis tinggi akan berkaitan dengan suatu pemulihan yang lebih cepat dan kurangnya resiko depresi pernapasan postopratif dibandingkan teknik yang sama dengan opioid lain.Onset yang cepat dan kerja remifentanil membuatnya mungkin menjadi lebih cepat pada tingkat sedasi yang diperlukan pada pentilasi mekanik pasien dengan penyakit kritis (Dahaba dkk,2004)
Anestesi dapat diinduksi dengan remifentanil, 1 µg/kg IV yang diberikan selama 60 sampai 90 detik atau dengan imfus awal pada 0,5 sampai 1,0 µg/kg IV selama 10 menit,sebelum pemberian suatu obat hipnotis standar terlebih dahulu sebelum intubasi tarakeal (Hogue dkk,1996).Dosis obat hipnotis mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kompensasi pada efek sinergis dengan remifentanil. Remifentanil dapat digunakan sebagai komponen analgesik pada anestesi umum (0,25 sampai 1,00 µg/kg IV atau 0,05 sampai 2,00 µg/kg / menit IV) atau teknik sedasi dengan kemampuan pemulihan yang ceopat dari efek yang tidak diinginkan seperti depresi pernapasan yang diinduksi oleh opioid atau sedasi yang berlebihan (Burkle dkk,1996). Remifentanil,0,05 sampai 0,10 µg/kg/ menit IV yang dikombinasikan dengan midazolam,2 mg IV,menunjukan sedasi dan analgesia yang efektif selama dimonitor dengan anastesi pada pasien dewasa sehat (Avramov dkk,1996). Midazolam juga menghasilkan suatu potensiasi efek depresi pernapasan yang diperkirakan mengikuti perubahan pda kecepatan infus, membuatnya mungkin untuk dititrasi dengan baik pada respon yang diiinginkan dibandingkan dengan opioid lain. Sebelum penghentian infus remifentanil, suatu opioid kerjalama mungkin diberikan untuk menjamin suatu analgesia ketika pasien sadar. Pemberian remifentanil lewat jalur spinal atau epidural tidak direkomendasikan, pada media yang aman (glycine, yang bekerja sebagai suatu neurotransmitter inhibitosry) atau opioid yang tidak dibatasi (Burkle dkk, 1996). Remifentanil, 100 µg IV, mengurangi respon hemodinamik akut pada terapi elektrokonvulsif dan tidak mengubah durasi bangkitan kejang yang diinduksi oleh elektrokonvulsif (Recart dkk, 2003).


Efek samping
Keuntungan remifentanil menunjukkan suatu periode pemulihan yang singkat mungkin dipertimbangkan suatu kerugian jika infuse di hentikan dengan tiba-tiba, apakah obat ini dihentikan dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Hal ini penting dalam pemberian opioid kerja panjang untuk analgesia postoperatif ketika remifentanil diberikan untuk tujuan ini intraoperatif. Semua analog fentanyl, termasuk remifentanil, telah dilaporkan menginduksi bangkitan yang “mirip kejang” (Haber dan LIman, 2001).
Mual dan muntah, depresi pernapasan dan peningkatan sedang pada tekanan darah dan denyut jantung mungkin terjadi setelah pemberian remifentanil. Depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh remifentanil tidak berubah pada kelainan ginjal ataupun kelainan hepar. Pelepasan histamine tidak terjadi setelah pemberian remifentanil. Tekanan intracranial dan tekanan intraokuler tidak berubah oleh remifentanil (Guy dkk, 1997; Warner dkk, 1996). Remifentanil dosis tinggi menurunkan aliran darah otak dan kebutuhan oksigen metabolic otaktana mengganggu reaktivitas karbon dioksida serebrovaskuler (Klimscha dkk, 2003). Remifentanil menunda drainase dari asam empedu dari kandung empedu kedalam duodenum tetpai perlambatan lebih singkat dibandingkan opioid lain (Fragen dkk,1999). Aliran plasenta dari remifentanil cepat tetapi efek pada neonatus tampakya tidak terjadi (Kan dkk, 1998).

Toleransi opioid akut
Kebutuhan analgesik postoperatif pada pasien yang mendapatkan dosis remifentanil yang relative besar intraoperatif anehnya sering menunjukkan remifentanil berkaitan dengan toleransi opioid akut (Gambar 3-31) Guinard dkk, 2000). Selain itu, keterlambatan hiperalgesia mungkin dihasilkan oleh pemberian opioid dosis besar secara akut. Toleransi terhadap opioid bersifat farmakodinamik dan toleransinya bergantung dosis. Mekanisme yang mungkin untuk toleransi termasuk perubahan pada resptor NMDA dan system second messenger intraselulernya. Dalam hal ini, reseptor NMDA antagonis seperti ketamin dan magnesium yang memblok toleransi opioid. Tidak semua data mendukung perkembangan toleransi opioid akut yang terjadi setelah anesthesia yang menggunakan remifentanil (Cortinez dkk, 2001; Gustorff dkk, 2002).







Gambar 3-31. Kurva kumulatif pada pasien yang tidak memerlukan suatu injeksi morfin tambahan setelah penghentian remifentanil (tanda pisah) atau desfluran (tanda padat). (Dari Guinard B, Bossard AE, Coste C, dkk.Toleransi opioid akut. Remifentanil intraoperatif meningkatkan nyeri postoperative dan kebutuhan morfin. Anesthesiology 2000; 93: 409-417; dengan izin.)

KODEIN
Kodein adalah hasil dari susbtitusi dari kelompok metil untuk kelompok hidroksil pada karbon nomor 3 pada morfin (lihat gambar 3-1). Hadirnya kelompok metil ini membatasi metabolisme yang pertamakali melewati hepar dan perhitungan pada efektivitas kodein ketika diberikan secara oral. Waktu paruh pembuangan pada kodein setelah pemeberian oral atau IV adalah 3,0 sampai 3,5 jam. Sekitar 10 % pada pemberian kodein adalah demetilasi di hepar pada morfin, yang mungkin bertanggung jawab untuk efek analgesia pada kodein. Beberapa sisa kodein dimetilasi menjadi norkodein yang tidak aktif, yang dikonjugasi atau ekskresinya tidak berubah oleh ginjal.
Kodein merupakan obat yang efektif sebagai obat batuk pada dosis oral 15 mg. Analgesia maksimal, sama pada yang dihasilkan oleh 650 mg dari aspirin, terjadi dengan 60 mg kodein. Jika diberikan secara IV, 120 mg kodein sama pada efek analgesik sampai 10 mg morfin. Paling sering, kodein dimasukkan pada pengobatan sebagai suatu antitusif atau dkombinasikan dengan analgesic non opioid untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang. Kerentanan terhadap depresi pernapasan pada kodein tempaknya jarang dibandingkan pada morfin dan jarang terjadi setelah penggunaan analgesik oral. Kodein menimbulkan sedasi minimal, mual, muntah dan konstipasi. Pusing mungkin terjadi pada pasien pembedahan rawat jalan. Pada dosis besar, kodein tidak mungkin menimbulkan apnue. Pemberian kodein IV tidak direkomendasikan, karena terdapat kemungkinan terjadi hipotensi yang diinduksi oleh histamine.

HYDROMORPHONE
Hydromorphone adalah suatu derivate dari morfin yang sekitar lima kali lebih kuat dibandingkan morfin tetapi memiliki durasi kerja yang agak singkat. Opioid ini menghasilkan efek sedasi dan membangkitkan sedikit euphoria dibandingkan pada morfin. Karena pembuangan yang cepat dan redistribusi, dosis oral setiap 4 jam dibutuhkan untuk mempertahankan konsentrasi plasma yang adekuat untuk analgesia. Hydromorphone adalah suatu alternative dari morfin yang efektif dalam penanganan nyeri sedang sampai berat yang berespon dengan opioid (Angst dkk, 2001). Durasi kerja sedang obat ini dan kelarutan air yang tinggi membuatnya mungkin untuk menggunakan suatu system pengangkutan transmukosal nasal (Coda dkk, 2003). Penggunaan dan efek samping dari hydromorphone sama dengan morfin.

OXOMOPHONE
Oxymorphone adal hasil penambahan pada suatu kelompok hidroxil menjadi hidromorphone. Sekitar 10 kali kekuatan morfin dan tampaknya menyebabkan mual dan mutah yang lebih sering. Ketergantungan fisik lebih rentan. Suatu preparat oral dari oxymorphone (pelepasan awal) menimbulkan konsentrasi maksimal plasma pada 0,5 jam yang berhubungan dengan onset analgesia yang cepat (Gimbel dan Ahdieh, 2004).

OXYCODONE
Preparat oral oxycodone (Oxycontin, Percocet, Percodan) menunjukkan konsentrasi plasma yang stabil untuk penanganan nyeri sedang hingga berat. Potensi penyalahgunaan termasuk tampering (penghancuran dan powdering) untuk injeksi intravena atau intranasal untuk mendapatkan suatu efek opioid yang cepat dan dan kuat.



HYDROCODONE
Hydrocodone tersedia sebagai preparat oral (Vicodan) untuk pengobatan nyeri kronik. Potensi penyalahgunaan tinggi untuk pasien yang dioabti dengan hydrocodone.

METHADONE
Methadone adalah suatu opioid agonis sintetik yang menimbulkan analagesia pada perlangsungan sindrom nyeri kronik dan sangat efektif dengan pemberian secara oral (Gambar 3-32). Absorpsi oral yang efisien, onset kerja yang cepat, dan durasi kerja yang lama pada methadone membuatnya sebagai obat yang menarik untuk menekan gejala withdrawal pada seseorang yang ketergantungan fisik misalnya pada ketergantungan heroin.

Withdrawal opioid
Methadone dapat mengganti morfin pada ketergantungan pada sekitar seperempat dosis. Withdrawal yang terkontrol dari opioid menggunakan methadone yang sedang dan jarang akut dibandingkan pada morfin. Methadone, 20 mg IV, menghasilkan analgesia postoperative yang berakhir > 24 jam, yang menunjukkan waktu paruh pembuangan yang memanjang (35 jam). Obat ini dimetabolisme di hepar menjadi zat yang tidak aktif yang diekskresi di urine dan empedu dengan sejumlah kecil obat yang tidak berubah.







Gambar 3-32. Methadone
Efek samping methadone (depresi pernapasan, miosis, konstipasi, spasme traktus biliaris) mirip dengan morfin. Kerja sedative dan euphoria jarang dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh morfin. Methadone menginduksi miosis kurang menonjol dibandingkan dengan yang disebabkan oleh morfin, dan toleransi ketergantungan berkembang sempurna pada kerja obat ini.

Pengobatan terhadap nyeri kronik
Methadone telah diusulkan sebagai suatu alternative untuk memperlambat pelepasaa formula untuk pengobatan nyeri kronik karena potensi penyalagunaannya yang rendah. Selain itu, aktivitas reseptor NMDA antagonis mungkin bermanfaat dalam pengobatan nyeri neuropatik dan meminimalkan potensi pada perkembangan toleransinya. Kerugian utama pada penggunaan methadone untuk mengobati nyeri kronik adalah waktu paruh yang memanjang dan tidak diperkirakan. Ketika methadone diberikan lebih dari satu kali dalam sehari, seperti yang biasa diberikan dalam pengobatan sindrom nyeri kronik, obat ini akan berakumulasi dan terjadi dalam konsentrasi plasma yang tinggi dan berkaitan dengan depresi pernapasan (Fishman dkk, 2002). Untuk alasan ini, formulasi yang lambat dilepaskan (oxycodone) mungkin lebih dipilih pada methadone untuk pengobatan nyeri postopertaif pasien pembedahan rawat jalan (Wilson, 2002).\

PROPOXYPHENE
Propoxiphene secara struktur sama dengan methadone dan terikat pada reseptor opioid yang ditunjukkan oleh antagonis dari efek farmakologis naloxone (Gambar 3-33). Dosis oral 90 mg sampai 120 mg propoxyphene menghasilkan analgesia dan efek SSP yang sama dengan yang dihasilkan dengan 60 mg kodein dan 650 mg aspirin. Satu-satunya penggunaan klinik propoxyphene adalah untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang yang tidak berkurang dengan aspirin. Dosis propoxyphene tidak memiliki efek antipiretik atau efek antiinflamasi, sementara kerja sebagai antitusif tidak signifikan.
Propoxyphene diabsorpsi secara sempurna setelah pemberian oral, tetapi karena luasnya metabolisme yang pertama melintasi hepar (demetilasi menjadi norpropoxyphene); tersedianya system yang sangat menurunkannya. Waktu paruh pembuangan setelha pemberian secara oral adalah sekitar 14,5 jam. Efek samping propoxyphene yang paling sering adalah vertigo, sedasi, mual dan muntah. Propoxiphene sekitar sepertiga dari potensi kodein dalam menimbulkan depresi pernapasan. Dalam keadaan overdosis, dapat terjadi kejang dan depresi pernapasan.
Penghentian secara tiba-tiba pada pemberian propoxyphene mengakibatkan suatu sindrom withdrawal sedang. Insiden penyalahgunaan propoxyphene sama dengan kodein. Pemberian obat IV ini menimbulkan kerusakan pada vena yang berat dan membatasi penyalahgunaan obat ini melalui jalur IV. alkohol dan depresi SSP mungkin mengakibatkan depresi pernapasan berat yang diinduksi oleh obat ini.







Gambar 3-33. Propoxyphene

TRAMADOL
Tramadol adalah analgesic kerja sentral yang memiliki afinitas sedang pada reseptor mu dan kappa lemah serta reseptor delta opioid, tetapi 5 sampai 10 kali kurang poten dibandingkan morfin sebagai suatu analgesic (Budd dan Landlord, 1999). Selain itu pada efek agonis opioid mu, tramadol menambah fungsi pada jalur inhibisi descending spinal melalui inhibisi reuptake norepinefrin neuronal dan 5-hydroxytryptamine (serotonin) seperti halnya pada stimulasi pelepasan 5-hydroxytryptamine presinaps. Pada sukarelawan, naloxone antagonis hanya diperkirakan 30 % dari efek tramadol (Collart dkk, 1993).
Tramadol adalah suatu percampuran racemic pada dua enantiomer, satu diantaranya bertanggung jawab untuk inhibisi reuptake norepinefrin sedangkan yang lain bertanggung jawab untuk inhibisi reuptake 5-hydroxytryptamine dan fasilitasi pelepasannya, ditambah keja dari reseptor mu obat ini. Dalam hal ini, tramadol mungkin menjadi suatu pengecualian pada alasan bahwa persenyawaan chiral sebaiknya dihindari jika teknologi yang ada dipersiapkan oleh obat tunggal, isomer murni (Calvey, 1992). Sebagai contoh, analgesia yang dihasilkan oleh tramadol tanpa efek depresi pernapasan dan suatu perkembangan toleransi, ketergantungan, dan penyalahgunaan dengan potensial rendah,mungkin menjadi suatu hasil dari kelengkapan dan interaksi antinosiseptor pada dua enantiomer yang sinergis. Tramadol dimetabolisme oleh system enzim P-450 hepar menjadi metabolit utama berupa O-desmethyltramadol, yang juga menggunakan efek analgesic stereoselektif sedang.
Tramadol 3 mg/kg yang diberikan secara oral, IM atau IV efektif untuk pengobatan nyeri sedang sampai berat. Suatu penurunan keadaan menggigil setelah operasi tidak dicatat pada pasien yang ditangani dengan obat ini dan efek depresi pernapasan minimal merupakan keuntungan obat ini (Nieuwenhujs dkk, 2001). Tramadol memperlambat pengososngan lambung meskipun efeknya kecil dibandingkan opioid lain (Crighton dkk, 1998). Tramadol bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat ini tidak menyebabkan tolernai atau addiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas organ utama atau efek sedative yang signifikan. Obat ini bermanfaat pada pasien yang tidak mentoleransi pada obat anti inflamasi non steroid. Kerugian pada tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan Coumadin (tidak semua laporan mendapatkan interaksi ini) dan kejadian kejang yang berkaitan dengan obat ini (hindari pada pasien dengan epilepsy atau yang diobati dengan obat yang merendahkan ambang kejang seperti antidepresan) (Budd dan Langford, 1999; Kahn dkk, 1997). Suatu kekurangan selanjutnya pada penggunaan perioperatif pada obat ini sebagai suatu analgesik dengan insidens tinggi yang berkaitan dengan mual dan muntah. Ondansentron mungkin mengganggu komponen analgesic pada tramadol karena efek pada reuptake dan pelepasan 5-hydroxytryptamine.


HEROIN
Heroin (diacetylmorphin) adalah opioid sintetik yang dihasilkan oleh asetilasi pada morfin. Jika diberikan secara parenteral, heroin bekerja pada jalan yang berbeda dibandingkan morfin. Sebagai contoh, terdapat penetrasi heroin yang cepat kedalam otak, dimana obat ini dihidrolisis menjadi metabolit aktif monoasetilmorfin dan morfin. Pemasukan kedalam SSP yang cepat paling mungkin disebabkan oleh kelarutan dalam lemak dan struktur kimia dari heroin. Dibandingkan dengan morfin, heroin perenteral memiliki (a) onset yang lebih cepat, (b) kurangnya efek mual, dan (c) potensi ketergantungan fisik yang lebih besar. Kerentanan mengalami ketergantungan fisik yang lebih besar adalah alas an bahwa heroin tidak tersedia secara legal di Amerika Serikat (Angell, 1984; Mondzac, 1984).